Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11 “Sialan! Anjr*t beneran!!”
“Sialan! Anjr*t beneran!!”
Tinju Asa menghantam boxing sand bag di ruang gym apartemennya. Setiap pukulannya disertai umpatan yang bisa bikin karung pasir itu minta Ampun.
“Baru kali ini gue harus nahan emosi cuma gara-gara diflirting sama mahasiswa songong," Bug! Tinjunya, "Yang nggak jelas pada serius kuliah atau sekadar nurutin gengsi!" Bug! Lagi, "Dasar ampas!!”
“Asaaa! Astaga!" teriak Sifa. "Lo kenapa sih, kayak mau adu tinju di final UFC aja!” ia berdiri di ambang pintu gym sambil memeluk botol isotonic drink.
“Dia lagi overheat.” Fani berbisik, muncul dari belakang dengan ekspresi santai tapi penasaran. “Udah dari tadi maki-maki sendirian. Kalo kita deket-deket bisa ikut kena geprek kek karung itu.”
Asa tidak menggubris. Tinju berikutnya mendarat keras di perut karung, thump! “Cantik pala lo! Ramah pala lo! Kalau gue masih setara sama mahasiswa, udah gue tonjokin satu-satu! Biar hidungnya pada bengkok!!”
“Waduh, kalau karungnya bisa ngomong, pasti udah minta cuti seminggu,” celetuk Fani.
Sifa malah ngakak.
“Serius banget, sampe eyeliner lo ikut bergetar tuh,” ujar Fani, bisa juga itu sahabat kalem ngelawak.
“Hah!” Asa terengah, keringat menetes deras di tubuhnya yang berbalut sport bra dan celana pendek hitam. Tapi bahkan peluh pun nggak mampu meredam panas di dadanya.
Asa merebut botol minum Sifa lalu membanting tubuhnya ke sofa. Wajahnya tampak berbeda malam itu. Ia baru belajar merias diri bersama kedua sahabatnya itu dan begitu mencoba, hasilnya langsung badas maksimal.
Eyeliner tipis tapi tajam, bibir dengan sedikit warna merah, dan telinganya kini penuh tindikan kecil. “Awas aja ya, gue siap nendang pantat siapapun yang nyebelin!"
Lalu,
Terdengar suara pintu apartemen terbuka. Asa yang masih diliputi amarah langsung waspada. “Hah? Siapa itu? Pencuri?!” serunya refleks, matanya melotot penuh curiga.
Fani nyeletuk, “Bukannya itu si suami yang pulang?! Jangan ditonjok dulu dong--” Tapi Sifa langsung membungkam mulutnya, menariknya bersembunyi. Tanpa pikir panjang, Asa langsung maju dengan langkah besar dan...
Buk! meluncurkan tinjunya lurus ke arah bayangan yang baru masuk. “Apa yang mau lo lakuin, pencuriii?! Rasain nih--!” Dua sahabatnya kaget sambil sembunyi dibalik pintu.
Tinju itu tertangkap dengan cepat, tepat di depan wajah pria itu. “ASTAGA, YANK!!” suara beratnya terdengar kaget. “Suami pulang bukannya disambut malah hampir ditonjok.”
“SUAMIIII! Maaf! Refleks!” Asa langsung menarik tangannya dan menggosok-gosokkan telapak tangannya kayak anak kecil yang minta ampun.
Sementara di balik pintu, Sifa menepuk jidat, “Astaga, ini drama rumah tangga apa tinju profesional sih?”
Fani menahan tawa, “Tapi romantis juga ya, suaminya ditonjok malah dapet cium di kening.” Mereka berdua melihat adegan romantis itu.
Yuki menyenderkan tripod dan light stand, menurunkan tas kameranya yang penuh lensa dan baterai cadangan ke lantai. Sebuah kamera DSLR menggantung di lehernya, masih berdebu sedikit karena seharian liputan di luar. Setelah itu, ia menatap sekeliling ruangan yang temaram.
“Kenapa gelap banget, sih? Kamu lagi ritual apa?” ujarnya sambil menyalakan lampu utama. Cahaya putih terang langsung mengungkapkan keadaan ruang gym mini dan badan istrinya yang berpeluh.
Asa mengembuskan napas panjang, “Gue lagi lampiasin emosi, Kak.” Bibirnya menye-menye mengulang kekesalan.
Yuki tertawa kecil. Ia tahu betul tabiat istrinya itu. Sejak dulu sebagai guru di sekolah, ia melihat Asa memang siswi nggak bisa pura-pura jadi lembut. Ia mendekat, “Kalau kamu bisa sabar di depan pelanggan, berarti kamu udah level dewa, Sayang.”
Asa menoleh menyeringai "Apa gue santet aja ya mereka satu-satu."Senyumnya semanis devil.
“Hei!” Yuki membantah.
"Serius, kak! Bahkan kakek gue tuh dukun lho. Kali aja spiritualnya nurun ke gue. Biar gue jadi punya ilmu santet juga, hahaha..."
"Jangan mistis gitu ah!" Yuki tergelak dibuatnya, "Udah, nggak usah bicara kek gitu," ia melingkarkan lengan kurusnya di perut sang istri sambil menatap tengkuk leher wanita yang memiliki gaya rambut pria itu lebih lama.
Asa menoleh ke suaminya. “Bagaimana? Apa gue udah kelihatan menyeramkan?” katanya sambil menaikkan satu alis, menunjukkan hasil riasannya.
Sifa berbisik, “Eh itu make up yang kita buat dia tunjukin ke suami?! Haha... Padahal itu gaya pelakor, bukan gaya badas!” Fani langsung mencubitnya pelan, “SHHHHH!!! jangan ketahuan!”
Yuki sejenak tersentak.
Sebagai seorang fotografer, ia sangat paham soal tone wajah dan permainan riasan. Dia tahu persis bedanya aura tegas dengan aura penggoda. Begitu lipstik merah glossy bukan matte itu menempel di bibir istrinya, bukan badas yang tampak melainkan pesona sensual yang bisa bikin siapa pun salah fokus.
Yuki menatapnya lekat-lekat, “Hmm... bukan menyeramkan sih. Lebih kayak... wanita penggoda yang penuh tipu daya yang baru keluar dari film noir.”
“Hah? Kok bisa?” Asa protes.
Sifa hampir teriak tapi nahan napas. “Dia ngomong ‘penggoda’ tuh! Oh my God ini fix film romantis dewasa live!” Fani mencubitnya lagi, “Diam bego, dengerin dulu, gue deg-degan sumpah.”
Yuki mencondongkan tubuhnya, “Lipstikmu terlalu glossy, Sayang. Bukan badas. Tapi… menggoda banget.”
“Fani," Sifa menutup mata sambil mengintip. "Gue ngerasa berdosa tapi kok pengin lanjut nonton, ya.” Fani menimpali, “Iya, AC-nya jadi Panas banget nih… soalnya, uh, mereka berdua juga panas banget sih.”
“Yah! Salah gaya dong gue,” Asa mencibir merasa gagal. Dalam hati ia mengutuk dua sahabatnya yang menjadikannya produk gagal.
Yuki mendekatkan nafasnya di telinga sang istri. “Sekarang aku pengen ngerasa tergoda langsung, boleh kan?”
“Ja-- jangan macem-macem lo ya!” Asa buru-buru menepis dada suaminya, tidak siap dengan kondisi dirinya yang berpeluh dan beraroma keringat.
Sifa menahan jeritan, “Gue nggak kuat nonton. Ini lebih panas dari drakor jam sebelas malam.” Fani mengangguk cepat, “Kita keluar aja, sebelum adegannya lanjut ke rating 21+.”
“Sayang,” bisik Yuki di telinganya, nada suaranya merendah, “sampai kapan aku harus keluarin di luar? Kamu belum pingin punya momongan?”
Asa tersedak dan terbatuk pelan, “E-- ehm! Ya... Enggak-- Gue cuma… Cuma nggak mau hamil duluan aja dari yang lain. Kalo Nuha duluan, baru deh gue siap ikut.” Dia menyengir.
“Oh gitu ya…” Yuki tersenyum nakal, jemarinya menelusuri bahu Asa sampai melewati lengkungan padat. “Kalau gitu, kita pemanasan dulu gimana? Aromamu itu kayak parfum yang enggak dijual dimana pun tapi bisa bikin langsung melayang ke negeri bidadari...”
“Yukiiii!!” Asa menjerit.
"UWAAAA!!!" Dua sahabat itu tak kalah menjerit saat Yuki berhasil menarik sport bra istrinya ke atas dengan satu gerakan. Boing~ Dua bola kembar itu memantul dengan sempurna.
Di kediaman Rudi Hartono.
Bunda Maya mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya masam. “Sudah sebulan berlalu, Rui Naru! Gimana kalian bisa punya anak kalau pisah terus begitu?” suaranya meninggi. “Bunda perintahkan kamu, segera bikin anak dan beri Bunda cucu!”
Naru menarik napas berat, mengembuskan pasrah. “Bunda kan tahu sendiri situasinya…” ujarnya pelan. “Nuha belum sepenuhnya ingat aku. Setiap kali aku mencoba mendekat, dia malah menjauh. Penolakannya makin keras.”
“Terserah!” potong Bunda dengan nada tinggi. “Bunda nggak mau tahu! Bikin anak! Bunda cuma mau cucu! Lihat putri Muha itu, cantik dan manis. Kalau kalian punya anak, Bunda yakin akan lahir keturunan luar biasa. Dengar, kalau kalian berhasil punya anak, Bunda akan kasih setengah dari aset Bunda untuk kalian!”
Naru terdiam.
“Kenapa semuanya jadi begini…,” gumamnya lirih. “Hari kian berlalu, tapi aku belum juga bisa menyentuh hatinya. Aku bukan cuma ingin dekat secara fisik, aku cuma ingin dia percaya lagi… kalau aku ini suaminya.”
Ia mendesah panjang, "Aku nggak sanggup terus diabaikan begini.” ILalu berjalan menuju pintu, menatap langit malam yang muram.
Jarum jam sudah hampir menyentuh angka sebelas. “Jam segini… biasanya Nuha sudah tidur,” gumamnya pelan.
Ia mengembuskan napas panjang, menyandarkan diri di kursi mobil. “Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang… pulang ke rumahnya, lalu memandangi wajah tidurnya tanpa sepengetahuannya.”
Sejak masa kuliah, Nuha menolak untuk diantar-jemput. Ia juga jarang membalas pesan, bahkan tak ingin sering bertemu.
Wanita yang seharusnya menjadi istri, tempat pulangnya hati, kini sibuk dengan dunia barunya. Kuliah, tugas, dan kesibukannya. Sementara Naru hanya bisa mengawasi dari jauh, menahan diri untuk tidak menuntut apa pun.
Ia tersenyum miris. “Lucu ya, seorang suami yang cuma bisa mencintai dari balik pagar.”
Ketika tiba di depan rumah, lampu tidur redup memantulkan bayangan Nuha yang terlelap tanpa selimut. Dalam diam, ia mendekat. Jemarinya menyingkirkan helaian rambut yang menutupi pipi istrinya.
“Masih sama,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Wangi sabun favoritmu, cara bernapasmu yang tenang. Pakaian terbuka yang hanya kamu pakai di rumah. Kuharap hanya akulah satu-satunya yang memilikimu sampai akhir.”
Ia menunduk, mengecup lembut Nuha. Senyum tipis terbit di bibirnya. "Kesempatan ini bisa aku pakai untuk terus menjaganya, memeluknya bahkan... Mencelupinya..."
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊