NovelToon NovelToon
Di Jual Untuk Sang CEO

Di Jual Untuk Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: RaHida

Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 # Dihukum

Aliza mengantarkan tuan muda Nadeo berangkat kerja. Setelah mobil yang ditumpangi Nadeo menghilang dari pandangan, Aliza melangkah masuk ke kamar dan duduk di sofa. Ia menghela napas panjang, membayangkan betapa membosankannya hari yang akan ia jalani.

Dengan malas, ia meraih ponsel di meja lalu menekan nomor sahabatnya. Setelah beberapa detik, suara akrab terdengar dari seberang.

“Halo, Kay!” sapa Aliza.

“Ya, Liz. Ada apa?” jawab Kayla.

“Aku nggak bisa datang ke butik hari ini,” ucap Aliza lirih. “Tuan muda Nadeo menghukumku karena masalah semalam.”

Berapa lama tuan muda Nadeo menghukummu, Liz? Kamu… tidak dipukul, kan?” tanya Kayla hati-hati.

“Tidak, Kay,” jawab Aliza pelan. “Aku tidak mendapat kekerasan fisik. Hanya saja, tuan muda Nadeo melarangku keluar rumah selama seminggu. Rasanya pasti sangat membosankan.”

Kayla menarik napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Aku sempat khawatir, Liz. Tapi tetap saja, hukuman itu berat buatmu.”

“Iya…” Aliza menghela napas panjang. “Untuk seminggu ke depan, kamu yang urus butik, ya. Aku nggak bisa ke mana-mana.”

“Tenang saja, Liz,” sahut Kayla menenangkan. “Kamu nggak usah khawatir. Butik biar aku yang handle. Kamu istirahat aja di rumah, jangan terlalu dipikirin.”

Aliza tersenyum tipis meski hatinya terasa hampa. “Terima kasih, Kay. Hanya kamu yang selalu bisa aku andalkan.”

Jangan-jangan tuan muda Nadeo mulai menyukaimu, Liz,” kata Kayla pelan. “Dia jadi cemburu dan melarangmu keluar karena takut kamu ketemu lagi sama Pak Adrian.”

Aliza terdiam beberapa detik. Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ah, Kay… jangan ngomong gitu. Mana mungkin. Dia nggak pernah menunjukkan tanda-tanda suka sama aku.”

“Tapi kan kamu sendiri yang bilang, dia marah setelah tahu kamu ketemu Pak Adrian,” balas Kayla. “Bisa jadi dia takut kehilanganmu, Liz.”

Aliza menarik napas panjang sebelum menjawab. “Bukan, Kay. Tuan muda Nadeo marah bukan karena dia suka atau cemburu… tapi karena dia merasa malu. Semua wartawan dan media menyorotnya setelah kejadian itu. Namanya jadi bahan perbincangan.”

Kayla terdiam sejenak, lalu bergumam, “Oh… jadi lebih karena harga diri ya, Liz?”

“Iya,” ucap Aliza lirih. “Dia bilang aku mempermalukannya. Makanya aku dihukum nggak boleh keluar rumah seminggu. Supaya nggak ada lagi berita yang bisa memperkeruh keadaan.”

Kayla mendesah pelan. “Aku mengerti sekarang. Memang orang sekelas tuan muda Nadeo pasti sangat menjaga nama baik. Tapi, Liz… kamu jangan merasa bersalah terus. Itu bukan sepenuhnya salahmu.”

Aliza menunduk, menggenggam ponselnya erat-erat. “Tetap saja, Kay. Rasanya aku selalu jadi beban di hidupnya.”

“Jangan ngomong begitu,” sahut Kayla menenangkan. “Aku yakin suatu saat dia akan sadar siapa kamu sebenarnya.”

“Sudah dulu ya, Liz. Aku mau lihat barang-barang di butik dulu,” ujar Kayla lembut.

Aliza tersenyum tipis meski hatinya masih berat. “Iya, Kay. Hati-hati, ya. Jangan terlalu capek.”

“Tentu. Kamu juga jaga diri di rumah. Kalau bosan atau butuh teman cerita, langsung hubungi aku.”

“Iya… terima kasih, Kay.”

Sambungan telepon pun terputus. Aliza menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Suasana kamar terasa semakin sepi, hanya ada dirinya dan pikiran yang berputar-putar tentang hukuman seminggu yang harus dijalaninya.

Aliza menghela napas panjang setelah menutup telepon. Sunyi kembali menyelimuti kamar, membuatnya merasa semakin terkurung dalam kesendirian. Namun tiba-tiba pikirannya teringat pada sebuah tempat di rumah itu—ruang baca.

Ruang itu jarang dipakai, sepi, dan sunyi. Di sana ia bisa sedikit menenangkan diri, jauh dari rasa sesak yang menghimpit dadanya. Perlahan ia bangkit dari sofa, lalu melangkah menuju ruang baca dengan hati-hati.

Begitu pintu dibuka, aroma buku lama menyambutnya. Cahaya matahari menembus jendela besar, menimpa rak-rak kayu yang penuh dengan buku. Tempat itu terasa damai, jauh berbeda dari hiruk pikuk perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.

Aliza duduk di kursi kayu di dekat meja panjang. Ia menatap kosong sejenak, lalu mengambil buku catatan kecil dari tasnya. “Mungkin… aku bisa meluangkan pikiranku untuk sesuatu yang lebih berguna,” gumamnya.

Dengan pensil di tangan, ia mulai mencoret-coret halaman kosong, menggambar bentuk-bentuk sederhana yang lama-lama menyerupai rancangan perhiasan. Desain itu ia bayangkan untuk butiknya bersama Kayla. Setiap garis yang ia torehkan seolah menjadi cara untuk melupakan luka hatinya, sekaligus menyalurkan kerinduan pada kebebasan yang dirampas darinya.

Senyum tipis muncul di bibirnya. “Setidaknya… aku masih bisa menciptakan sesuatu,” bisiknya pada diri sendiri.

Tak terasa, Aliza sudah menghabiskan hampir seharian di ruang baca. Coretan-coretan desain perhiasannya memenuhi beberapa lembar kertas. Ia menatapnya dengan puas, merasa sedikit lega karena waktunya tidak terbuang percuma.

Saat menutup buku catatannya, pandangannya tertuju pada jam dinding. Jarumnya menunjukkan pukul 4 sore. Ia segera merapikan meja, lalu meraih ponselnya. Di layar terlihat sebuah pesan masuk dari Sekretaris Mark:

“Nyonya, tuan muda Nadeo akan pulang sekitar pukul 5 sore.”

Jantung Aliza berdegup lebih cepat. Ada perasaan cemas sekaligus gugup setiap kali mengetahui kepulangan suaminya. Ia pun meninggalkan ruang baca dengan langkah hati-hati.

Namun, begitu melewati koridor menuju kamarnya, ia mendengar suara lirih dari ruang tamu. Ia menghentikan langkah. Dari kejauhan, terlihat mama mertuanya tengah duduk anggun di sofa, ponsel menempel di telinganya.

Raut wajah wanita itu serius, suaranya terdengar jelas meski berbisik pelan.

Aliza sempat ragu. Ia tahu betul, menguping adalah sebuah dosa. Tapi hatinya dikuasai rasa penasaran. Perlahan, ia mendekat, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.

Aliza tertegun, jantungnya serasa berhenti berdetak. Kata-kata yang baru saja ia dengar bagaikan pisau tajam menembus hatinya.

Suara mama mertuanya terdengar jelas dari ruang tamu, penuh kebencian dan penghinaan.

“Tenang, sayang,” ucapnya lembut di telepon, nada suaranya berbeda jauh dari biasanya saat berbicara dengan Aliza. “Mama akan menjemput kamu saat kamu sampai di kota ini. Mama harap kepulanganmu bisa merebut kembali hati Nadeo. Hingga Nadeo menghempaskan wanita kampungan itu.”

Aliza merasakan tubuhnya bergetar, dadanya sesak seolah sulit bernapas. Wanita kampungan… siapa lagi kalau bukan dirinya?

Mama mertuanya melanjutkan, suaranya semakin tajam.

“Mama tidak pernah sudi memiliki menantu yang kampungan dan rendahan seperti dia. Nadeo pantas mendapatkan wanita sekelas kamu, bukan perempuan tak tahu diri yang hanya mempermalukan keluarga kita.”

Aliza berdiri terpaku di balik dinding, pikirannya kacau. Siapa sebenarnya orang yang ditelepon Nyonya Claudia? Apakah itu Clara, mantan kekasih tuan muda Nadeo? Atau mungkin wanita lain, pilihan Nyonya Claudia sendiri?

Hatinya terasa perih, tapi di sela rasa sakit itu, ada secercah kelegaan yang aneh. Mungkin… aku harus bersyukur. Jika benar wanita itu berhasil merebut hati Nadeo, berarti aku akan bebas dari cengkeraman keluarga ini, gumam Aliza dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri meski air matanya masih menggenang.

Namun tiba-tiba, sebuah suara dari belakang membuatnya tersentak.

“Nona, anda sedang apa?” suara itu tegas tapi sopan.

Aliza berbalik cepat. Ternyata Bu Nur, kepala pelayan yang sudah lama mengabdi di keluarga itu, berdiri tak jauh darinya. Wajah Bu Nur penuh rasa ingin tahu, matanya menatap tajam seolah menyadari Aliza sedang melakukan sesuatu yang tak pantas.

Aliza terdiam, jantungnya berdetak kencang. “A-aku…” suaranya tercekat, sulit merangkai kata.

Bu Nur menyipitkan mata, menatap Aliza lekat-lekat. “Anda menguping, ya, Nona?”

Aliza memucat, tangannya gemetar. Ia tahu, jika ketahuan, Nyonya Claudia bisa saja menjadikan ini alasan baru untuk semakin membencinya.

"Tidak, Bu Nur,” jawab Aliza cepat, wajahnya memucat. “Saya hanya kebetulan lewat saja. Mana berani saya menguping pembicaraan Nyonya Claudia.”

Bu Nur menyilangkan tangan di dada, menatap Aliza dengan sorot tajam penuh kewaspadaan. “Nona, saya ingatkan sekali lagi… jangan pernah mencoba menguping pembicaraan siapa pun di rumah ini. Apalagi Nyonya Claudia. Kalau beliau sampai tahu, beliau tidak akan segan-segan memberi anda hukuman.”

Aliza menunduk, kedua tangannya meremas ujung bajunya. Jantungnya masih berdetak kencang.

Bu Nur melanjutkan dengan nada serius, “Memang, semua kekuasaan utama ada di tangan Tuan Muda Nadeo. Tapi jangan lupa, Nyonya Claudia juga memiliki hak penuh di rumah ini. Kalau beliau berkehendak, posisi anda bisa jadi lebih sulit lagi.”

Aliza hanya bisa mengangguk pelan, menahan perasaan takut yang menyelimuti hatinya. “Baik, Bu Nur. Saya mengerti…”

Bukan Nur pergi meninggalkan Aliza

1
partini
baca jadi ingat novel tahun 2019 daniah sama tuan saga ,, good story Thor 👍👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!