Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Pasar Budak dan Pembeli Tak Terduga
Udara kering dan berdebu menempel di tenggorokan Noir saat ia terbanting ke tanah yang keras. Gerbong kereta kargo yang dingin dan gelap kini hanya menjadi bayangan di belakangnya. Di sekelilingnya, tubuh-tubuh lain juga terlempar, sebagian meringkuk, sebagian mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga.
Gerbang hitam raksasa, dengan ukiran tengkorak dan rantai tebal, berdiri menjulang, merenggut setiap harapan yang tersisa. Bau besi, keringat, dan busuk menyelimuti udara, seolah-olah tempat ini adalah kuburan bagi jiwa-jiwa yang hidup.
"Bangun, sampah!"
Sebuah suara yang menggelegar mengoyak keheningan, diikuti oleh suara cambukan yang memecah udara. Noir melihat salah satu tahanan di dekatnya menjerit dan ambruk ke tanah. Nyeri yang menjalar di tubuhnya terasa tumpul dibandingkan ketakutan yang menguasai.
Dengan gemetar, ia berhasil menopang dirinya sendiri, mengetahui bahwa berdiri adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari siksaan.
Di depan mereka, seorang pria bertubuh besar berdiri di atas panggung kayu yang reyot. Pedagang budak. Matanya yang tajam seperti belati, wajahnya dihiasi bekas luka yang tak terhitung, dan jubah merah gelapnya seolah meneteskan darah. Di tangannya, sebuah tongkat kayu berukir, yang ujungnya terpoles oleh sentuhan ribuan nyawa.
"Hari ini, aku punya banyak 'barang' baru," suaranya berat, berbicara pada kerumunan pria berpakaian mewah. "Beberapa kuat, beberapa cerdas, beberapa hanya sampah tak berguna."
Matanya yang tajam mendarat pada Noir, dan ia terkekeh.
"Tapi siapa yang tahu? Bahkan sampah pun punya kegunaan... jika kau tahu cara menggunakannya."
Perdagangan itu berlangsung cepat dan kejam. Para tahanan diseret maju satu per satu, dinilai seperti barang, lalu ditarik pergi. Suara tawar-menawar dan jeritan bercampur menjadi simfoni yang mengerikan. Setiap budak yang dibeli menghilang ke dalam gerbang, menuju nasib yang tidak diketahui.
Dalam waktu singkat, hanya Noir yang tersisa. Ia berdiri di tengah lapangan yang berdebu, gemetar, merasa seperti sebuah kesalahan yang terabaikan.
"Tak ada yang mau bocah ringkih sepertimu, ya?"
Pedagang itu melompat turun dari panggung, mendekati Noir dengan ekspresi jijik. Ia menilai tubuh Noir yang kurus kering, mendengus tidak puas, dan akhirnya menjentikkan jari.
"Bawa dia ke kandang belakang. Setidaknya dia bisa jadi makanan untuk anjing penjaga."
Noir tidak melawan saat sepasang tangan kasar menarik lengannya. Ia terlalu lelah, terlalu kosong. Pikirannya mati rasa, dan ia merasa sudah mencapai dasar jurang. Tidak ada lagi tempat yang lebih rendah dari ini. Namun, ia salah.
"Apa masih ada yang tersisa?"
Sebuah suara yang tenang dan mendesak terdengar dari belakang. Pedagang budak itu berbalik, menunjuk ke arah Noir dengan malas.
"Hanya bocah ringkih ini. Jangan berharap banyak. Dia tidak punya tenaga, dan aku ragu dia akan bertahan lama."
Seorang pria muda melangkah mendekat, matanya tajam dan tidak bisa ditebak. Di balik tubuh Noir yang kurus dan penuh luka, pria itu melihat sesuatu yang lain. Ada wajah yang rupawan, dan mata yang tidak mencerminkan keputusasaan, melainkan percikan api yang redup namun membara.
"Aku akan membawanya," kata pria itu.
Pedagang budak itu terkekeh, terkejut.
"Kau yakin? Aku bisa memberinya secara cuma-cuma."
"Sangat yakin," jawab pria itu tanpa ragu.
Dengan beberapa keping perak, Noir resmi berpindah tangan. Ia tidak lagi menjadi milik dirinya sendiri, namun milik seorang pria muda yang misterius. Ia tidak tahu siapa pria ini, atau apa yang menunggunya. Ia hanya tahu satu hal: ia tidak mati, dan untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup.