NovelToon NovelToon
Cinta Setelah Luka

Cinta Setelah Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Poligami
Popularitas:91.7k
Nilai: 5
Nama Author: Shann29

Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4-Langkah Yang Berat

Fajar belum sepenuhnya datang ketika embun masih menempel di dedaunan, dan kabut tipis menyelimuti halaman rumah keluarga itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar suara jangkrik yang masih bertahan di sisa malam. Di saat seperti itu, Aliya sudah berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, menatap pantulan dirinya dengan mata yang sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur, pikirannya penuh dengan luka, kekecewaan, dan ketakutan akan masa depan. Namun di balik semua itu, tekadnya telah bulat—ia tidak lagi bisa bertahan di rumah yang baginya kini hanya menyimpan kepedihan.

Sebuah koper sudah ia letakkan di tepi ranjang, berisi pakaian seperlunya, beberapa buku, dan tabungan hasil kerja paruh waktu yang selama ini ia kumpulkan. Tabungan itu sebenarnya disiapkan untuk kebutuhan pernikahannya dengan Haris—pernikahan yang kini tinggal kenangan pahit. Aliya menghela napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya.

Tangan mungilnya meraih gagang pintu, berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan bunyi. Namun tetap saja suara pintu yang terbuka membuat seseorang di ruang tamu terbangun.

“Al…” suara serak itu terdengar.

Aliya menoleh. Di sana, Bimo—kakaknya—duduk setengah sadar di sofa dengan rambut acak-acakan. Ia rupanya tertidur di ruang tamu semalaman, menunggu sesuatu yang ia sendiri sadar mungkin akan terjadi. Matanya langsung terbuka penuh ketika melihat Aliya menggaret sebuah koper di tangan.

“Kamu benar-benar mau pergi?” suara Bimo berat, hampir bergetar.

Aliya tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan kepedihan yang dipaksakan. Ia berjalan pelan mendekati Bimo. “Aku pergi, Kak. Tolong sampaikan pada Ayah dan Ibu…”

Bimo berdiri, menatap adiknya dengan perasaan campur aduk. “Kamu tidak ingin berpamitan langsung pada mereka?”

Aliya menggeleng dengan mantap. “Untuk apa? Mereka lebih takut kehilangan Lisa daripada aku. Jadi… apa gunanya aku berpamitan dengan mereka? Aku hanya akan membuat diriku semakin sakit.”

Perkataan itu seperti menampar Bimo. Sebagai anak sulung, ia tahu kedua orang tuanya memang sering memanjakan Lisa, si bungsu. Aliya yang berada di tengah sering kali dituntut untuk mengalah, sementara dirinya pun kadang sibuk dengan urusannya sendiri. Seketika, rasa bersalah menelusup ke hatinya.

Ia melangkah lebih dekat, menatap Aliya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ayo, biar aku antar. Setidaknya aku harus tahu kamu pergi ke mana.”

Aliya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Antar aku ke stasiun. Aku sudah membeli tiket kereta. Aku akan ke Jakarta, Kak. Aku ingin mulai hidup di sana, mencari pekerjaan, mencoba bertahan dengan caraku sendiri.”

Bimo menatap Aliya lama sekali. “Kamu ada uang?” tanyanya lirih, penuh kekhawatiran.

Aliya mengangguk. “Ada, Kak. Tabungan yang seharusnya aku pakai untuk melunasi vendor pernikahan. Aku akan gunakan itu untuk hidup sementara di Jakarta. Nanti kalau aku sudah sampai, aku akan kabari Kakak.”

Bimo ingin sekali menghentikan langkah itu. Ia ingin memeluk adiknya erat, mengatakan agar jangan pergi, agar tetap tinggal bersama keluarga. Namun, ia tahu luka Aliya terlalu dalam. Jika ia menahannya, itu hanya akan menambah derita. Jadi, ia hanya bisa menghela napas berat, lalu menepuk pundak Aliya.

“Hubungi aku kalau kamu butuh apa pun, Al. Jangan ragu. Kalau kamu belum dapat kerja, kalau kamu kesulitan uang, atau apa pun… bilang ke aku. Jangan menanggung semuanya sendirian.”

Aliya menunduk, menahan air mata. “Terima kasih, Kak. Sungguh, aku tidak akan lupa kebaikan Kakak.”

Udara pagi itu dingin menusuk tulang ketika mereka berdua keluar dari rumah. Aliya menoleh sebentar ke arah rumah yang selama ini ia huni. Rumah itu terlihat damai dari luar, padahal di dalamnya menyimpan luka mendalam yang ia rasakan. Ia menatap dalam-dalam, seolah ingin merekam semuanya untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya membuang pandangan dan melangkah ke mobil kakaknya.

Perjalanan menuju stasiun terasa begitu panjang, meski sebenarnya jaraknya tidak jauh. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Hanya sesekali Bimo melirik Aliya yang duduk di sampingnya dengan tatapan kosong, seakan sedang membangun benteng kuat agar tidak lagi menangis.

Sesampainya di stasiun, suasana mulai ramai. Suara peluit, pengumuman dari pengeras suara, dan langkah orang-orang yang tergesa membuat suasana semakin terasa nyata. Aliya menggaret kopernya, sementara Bimo berjalan di sebelahnya.

Di peron, Aliya berhenti. Ia menoleh pada Bimo, tersenyum getir. “Sampai di sini saja, Kak. Aku bisa sendiri.”

Bimo menggenggam pundak adiknya erat. “Aku bangga sama kamu, Al. Kamu kuat sekali. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu. Ingat, kamu selalu punya rumah kalau suatu hari kamu ingin kembali.”

Aliya menahan tangisnya. “Terima kasih, Kak. Doakan aku bisa bertahan.”

Bimo mengangguk, lalu akhirnya melepaskan pelukan singkat itu. Ia berdiri di peron, menyaksikan Aliya menaiki kereta dengan langkah tegar. Saat pintu kereta menutup dan gerbong mulai bergerak, air mata Bimo jatuh begitu saja.

Di sisi lain, rumah keluarga itu diliputi keheningan. Ibu Dini terbangun dan baru menyadari suasana rumah yang aneh. Ia tidak menemukan Aliya di kamar. Ketika Bimo pulang dengan wajah muram, barulah kenyataan menghantam.

“Apa… Aliya sudah pergi?” suara Ibu Dini parau, tangannya gemetar memegang kursi.

Bimo hanya mengangguk pelan.

Sekejap saja, tubuh Ibu Dini limbung. “Ya Tuhan…” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis sejadi-jadinya.

Ayah Rudi yang mendengar tangisan itu segera menghampiri. “Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.

“Aliya… Aliya pergi. Dia benar-benar pergi.” suara Ibu Dini pecah di antara tangisnya.

Ayah Rudi terdiam. Dada tuanya sesak, seolah dihantam kenyataan pahit. Ia duduk lemas di kursi, menatap kosong. “Kita terlalu keras padanya…” katanya lirih.

Tangisan Ibu Dini semakin menjadi. Penyesalan datang terlambat. Ia teringat setiap kata yang pernah ia ucapkan pada Aliya, tentang takdir, tentang legowo, tentang restu untuk Lisa. Kini, semua itu menghantam balik seperti pisau yang menusuk jantungnya sendiri.

“Seharusnya aku menahannya… seharusnya aku bicara baik-baik. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan pada anakku…”

Sementara itu, Bimo hanya bisa berdiri di dekat mereka, menahan amarah dan rasa bersalahnya sendiri. Ia tahu Aliya butuh dukungan, tapi selama ini ia pun tidak banyak bicara. Kini, adiknya benar-benar sudah pergi, membawa luka yang tak seorang pun bisa mengobati.

Dan di suatu tempat, jauh dari desa kecil itu, kereta yang membawa Aliya melaju kencang menuju ibu kota. Gadis itu duduk di kursinya, menatap jendela dengan air mata yang mengalir pelan. Ia tahu, hidup baru akan segera dimulai. Pahit, getir, dan penuh tantangan. Tapi baginya, lebih baik menghadapi ketidakpastian di kota besar daripada terus bertahan dalam rumah yang hanya memberinya luka.

Di sanalah, awal dari perjalanan panjang Aliya dimulai.

1
Cicih Sophiana
Aliya sangat beruntung mendapat kan suami seperti Angkasa dan keluarga nya sangat baik....
Cicih Sophiana
tapi Aliya harus bersyukur krn putus nya dgn Haris dan orang tua nya merestui mereka... klo nggak Aliya yg bernasib seperti Lisa..
Cicih Sophiana
yg jadi badai nya itu si Lisa dan Haris di rumah itu... di awali dgn perselikungan mereka...
Cicih Sophiana
ibu keras kepala dan pilih kasih liat tuh kelakuan anak dan menantu yg ibu bela...
Cicih Sophiana
Angkasa izinkan Aliya membawa orang tua nya pulang kasian kan mereka... tinggalkan Lisa dgn suami nya biar tau rasa mereka...
Cicih Sophiana
lihat lah anak yg di pilih kasih sekarang dia bahagia mendapatkan suami yg luar biasa... dia baik dia kaya raya dan sangat mencintai Aliya...
Cicih Sophiana
menantu tersayang yg di bela belain sampai anak kandung nya yg pergi... ternyata maling
Cicih Sophiana
🤭😪😭😭😭😭😭
Cicih Sophiana
hari ini pas malam minggu jg thor...
selamat malam minggu.. sehat dan bahagia sll thor
Cicih Sophiana
panggil daddy dan mommy nak..
Cicih Sophiana
tenang Angkasa Aliya mu dan calon anak mu sedang di lindungi daddy Samudra...
Cicih Sophiana
Aliya mungkin di lindungi daddy Samudra... semoga aja itu betul
Cicih Sophiana
siapa itu yg membawa Aliya... apa daddy Samudra..???
Cicih Sophiana
bagus Aliya pergi dulu untuk melindungi kandungan mu... Angkasa itu orang yg uang nya melimpah pasti akan dgn mudah menemukan mu suatu saat nanti...
Cicih Sophiana
ya udah sana Tania pergi yg jauh biar Angkasa tambah bucin sama bumil nya...
Cicih Sophiana
menurut aq sih lebih pergi dulu dari situ... cari tempat lain dulu untuk menghindari mak lampir Tania... kamu pasti di temukan kembali sama Angkasa Aliya... tenang aja krn Angkasa sdh mencintaimu
Cicih Sophiana
istri kontrak yg di cintai itu lah Aliya... wanita yg tersakiti tp sabar semoga kebahagiaan selalu bersama mu Aliya..
Dian Fitriana
update
Miss. Shann (IG: miss.shann29): Maaf kak, aku baru senin bisa update nya. Aku mendadak harus ke luar kota dan lumayan jauh, Nenekku meninggal dunia.
total 1 replies
Cicih Sophiana
Tania bilang klo dia mandul Sa... itu kesempatan kamu untuk melepaskan Tania... krn dia pasti bohong
Cicih Sophiana
keren👍Aliya tdk boleh pergi sama Angkasa... berarti Aliya sdh menjadi istri sesungguh nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!