NovelToon NovelToon
WOTU

WOTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Kutukan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:462
Nilai: 5
Nama Author: GLADIOL MARIS

Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.

Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.

Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut

Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan

Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RUMAH YANG BERBISIK

Udara di dalam rumah Bu Redfield jauh lebih dingin daripada kabut di luar. Begitu pintu kayu tua itu menutup di belakang mereka dengan suara duk berat, Lisa merasa seolah seluruh kota Eldridge terputus dari dunia mereka. Kabut, jalanan, bahkan suara burung gagak yang tadi masih terdengar—semua lenyap, tersisa hanya keheningan rapat dan aroma lembap yang menusuk hidung.

Ruangan pertama yang mereka masuki adalah ruang tamu besar dengan langit-langit rendah, terasa menekan kepala. Lampu gantung tua tergantung miring di tengah ruangan, rantainya berkarat, kaca-kacanya retak. Anehnya, lampu itu bergoyang pelan padahal tidak ada angin. Tirai tebal warna hijau tua menutup rapat semua jendela, menyisakan hanya celah tipis yang membiarkan cahaya pagi menyelinap masuk.

Cahaya pucat itu mengenai partikel debu di udara, membuatnya berkilau samar seperti kabut kecil yang terperangkap di dalam rumah.

Perabotan di ruangan itu semuanya besar dan berat, peninggalan zaman yang sudah lama lewat. Kursi berlengan dilapisi kain lusuh yang warnanya entah merah tua atau cokelat kotor, dipenuhi tambalan dan lubang bekas gigitan tikus. Sebuah lemari kayu berdiri di sisi ruangan, retak-retak di permukaannya seakan akan roboh bila disentuh. Meja kopi bundar berada di tengah ruangan, taplak kainnya sudah menguning penuh noda, baunya apek bercampur debu.

Di sudut ruangan berdiri sebuah jam kakek besar. Tubuhnya menjulang, ukirannya tertutup lapisan debu tebal, dan kacanya buram. Jarumnya macet—bukan di angka dua belas seperti jam rusak pada umumnya, tapi di angka tiga belas. Lisa menatapnya lebih lama daripada yang ia inginkan, merasa angka itu berdenyut seperti nadi.

Sara berdiri kaku, memeluk dirinya sendiri, matanya berkeliling cepat seperti hewan terjebak. “Aku nggak suka ini… sama sekali,” bisiknya, suaranya pecah karena gugup.

Lisa mengangguk kecil, meski berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ada sesuatu di ruangan ini—sesuatu yang bukan sekadar debu atau dingin. Udara terasa berat, bergetar halus di kulitnya, membuat rambut di tengkuknya berdiri. Telapak tangannya berdenyut sakit, simbol itu merespons rumah ini, seolah menyambutnya.

Bu Redfield melangkah melewati mereka. Tubuhnya bungkuk, gaun hitam panjangnya menyentuh lantai. Aneh, langkahnya nyaris tidak menimbulkan suara, padahal lantai kayu di bawah mereka berderit keras setiap kali dipijak. Wanita tua itu mengambil kotak korek api kecil dari rak, menyalakan satu per satu lilin di atas meja. Api kuning-oranye muncul, menyebarkan cahaya temaram ke seluruh ruangan. Bayangan di dinding menari pelan, panjang dan tipis, seakan bergerak sendiri bukan karena nyala lilin.

“Rumah ini menyimpan banyak cerita,” kata Bu Redfield, suaranya serak tapi tegas, tanpa menoleh pada mereka. “Kebanyakan orang tidak tahan mendengarnya.”

Sara menahan napas, jelas semakin gelisah. Lisa menunduk, tak berani bertanya.

Ethan justru tampak bersemangat. Matanya berbinar saat menyapu rak buku tinggi di sisi ruangan. Rak itu penuh dengan jilid-jilid tua bersampul kulit, beberapa terlihat rapuh, tapi di antaranya ada yang lebih bersih—seperti baru saja diambil dari rak. Nafasnya nyaris terengah saat ia melangkah maju, jarinya terulur ke sebuah buku bersampul hitam pekat yang diletakkan agak menonjol ke luar.

“Jangan.” Suara Bu Redfield mendadak keras, menggema aneh di ruangan yang sepi. Ethan langsung terhenti, tubuhnya kaku.

Wanita tua itu perlahan menoleh, mata birunya berkilat dingin. “Buku-buku itu tidak untuk tangan sembarangan.” Ia berjalan sedikit mendekat, lalu melanjutkan dengan nada lebih tenang, “Mereka hanya akan bicara pada orang yang dipilih.”

Ethan menelan ludah, tangannya gemetar, lalu perlahan mundur.

Lisa menunduk. Kata-kata itu menembus dirinya seperti anak panah. Ia menekan telapak tangannya ke saku jaket, tapi simbol di sana justru berdenyut makin kencang, seakan ingin keluar, seakan ia sudah dipanggil.

****************

[LORONG PANJANG]

Bu Redfield berjalan pelan, tongkat kayu tuanya mengetuk lantai setiap langkah, memimpin mereka masuk ke lorong sempit yang memanjang ke belakang rumah. Lorong itu gelap, hanya diterangi dua lampu minyak kecil yang berkelip di dinding.

Udara di sana lebih pengap. Bau debu tua bercampur dengan aroma kapur barus yang terlalu lama, menusuk hidung. Lantai kayu berderit di bawah kaki mereka, ritme bunyinya seperti bisikan pelan yang mengikuti.

Lisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, beradu dengan derit papan lantai. Tangannya bergerak resah, mencoba menyentuh saku jaket seolah ingin memastikan simbol di telapaknya tetap tersembunyi.

Di kedua sisi lorong, dindingnya dipenuhi foto-foto hitam putih dalam bingkai kayu tebal. Mereka berderet rapat, seolah mengawasi siapa saja yang lewat.

Wajah-wajah asing dari masa lalu menatap lurus ke depan, ekspresi mereka kaku—tidak tersenyum, tidak marah, hanya dingin.

Mata mereka hitam, kosong, seakan cahaya tak pernah menyentuh. Beberapa foto mulai menguning, pinggirannya retak, namun tatapan itu tetap jelas, kuat, dan menusuk.

Sara melambatkan langkah, tubuhnya merapat ke Lisa. “Kenapa semua orang di foto itu kelihatan kayak… nggak bahagia?” bisiknya, suaranya hampir hilang di udara berat lorong itu.

Lisa menelan ludah, menatap foto terdekat—seorang perempuan muda dengan gaun panjang, rambutnya tersisir rapi, tapi matanya kosong seperti sumur dalam. “Mungkin mereka memang nggak pernah bahagia di Eldridge,” jawabnya pelan. Kata-kata itu terdengar hampa bahkan di telinganya sendiri.

Ethan justru tampak terpaku. Ia mendekat ke dinding, memperhatikan satu per satu foto dengan penuh minat, seolah mencari sesuatu yang hilang. Jemarinya sempat melayang di udara, hampir menyentuh kaca bingkai, tapi ia menariknya kembali ketika Bu Redfield melirik sekilas.

“Jangan terlalu lama menatap,” suara Bu Redfield berat, seraknya memecah hening. “Beberapa mata itu masih ingat.”

Sara langsung berpaling, wajahnya pucat. Lisa menggigil, tapi Ethan justru semakin penasaran.

Mata Ethan berhenti pada sebuah foto besar di ujung lorong. Gambar itu lebih jelas daripada yang lain, seolah waktu tidak berani mengusiknya. Seorang pria berdiri tegap dengan jas gelap, topi di tangan, dan wajah yang keras. Matanya tajam, sorotnya menusuk, seakan tahu siapa yang sedang melihat.

Di belakang pria itu tampak bangunan megah yang familiar: perpustakaan kota Eldridge, masih baru, berdiri tanpa lumut atau kaca pecah.

Tulisan kecil di bawah foto itu terbaca jelas: Cormac Elwyn, 1892.

Ethan mendekat, bibirnya bergerak nyaris tanpa suara. “Itu dia,” gumamnya, separuh pada dirinya sendiri.

Seolah nama itu membawa hawa lain ke lorong. Lampu minyak berkelip lebih keras, api bergoyang, dan udara tiba-tiba lebih dingin. Lisa merasakan tusukan es merambat ke tulang belakangnya.

Simbol di telapak tangannya mendadak panas. Sangat panas, seperti bara menyentuh kulit. Ia menahan erangan, buru-buru menyelipkan tangannya lebih dalam ke saku jaket, menyembunyikan cahaya samar yang hampir muncul.

Bayangan di lantai lorong bergeser samar. Seolah mata-mata dari foto-foto itu benar-benar mengikuti setiap langkah mereka.

1
~abril(。・ω・。)ノ♡
Saya merasa seperti berada di dalam cerita itu sendiri. 🤯
GLADIOL MARIS: Semoga betah nemenin Lisa di Wotu dalam perjalannya 🤗
total 2 replies
Không có tên
Kocak abis
GLADIOL MARIS: Waduh, susah nih bikin kakak takut pas baca kayaknya⚠️
total 1 replies
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!