Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi penyelamatan
Ceklik.
Gorden bergetar perlahan. Adrian langsung menoleh keningnya mengerut. Ia berjalan pelan belom sempat mengirim pesan dia berjalan ke arah jendela, namun sebelum sempat membuka gorden—gelap.
Seketika tubuhnya lunglai. Sebuah jarum suntik kecil menusuk bagian lehernya, nyaris tak terasa. Seseorang telah menyelinap masuk, nyaris tanpa suara.
> “Target tidak sempat mengirim laporan,” bisik seseorang dalam komunikasi nirkabel. “Bawa dia. Sekarang.”
Dua sosok berpakaian gelap muncul dari bayangan. Gerakan mereka cepat dan senyap. Mereka memindahkan Adrian ke dalam kantong khusus yang dirancang untuk membungkam sinyal elektronik dari tubuhnya—tidak ada pelacakan, tidak ada suara. Seperti bayangan, mereka menghilang ke malam, membawa Adrian melintasi lorong sepi apartemen.
Satu menit kemudian, layar laptop Adrian mati otomatis. Sistem pengaman menutup semua data. Tapi... salinan data telah dikirim lebih awal oleh Raka.
Di Sebuah Lokasi Rahasia
Adrian membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, kepalanya terasa berat.
> “Kau sadar.”
Tiga pria bertopeng berdiri mengelilinginya. Salah satunya mencengkeram kerah bajunya dan membentak.
> “Katakan! Siapa saja yang terlibat di jaringanmu di dalam universitas? Di mana markas besarnya!?”
Adrian mengangkat wajahnya perlahan. Senyum sinis mengembang.
> “Apa kalian kira ini... permainan anak SMA? Kalian pikir aku akan menyebutkan nama-nama hanya karena dipukul?”
Bugh!
Satu tinju menghantam rahangnya. Kursi besi tempatnya diikat berguncang. Tapi Adrian hanya tertawa pelan, berdarah-darah.
> “Kalian terlalu putus asa… terlalu takut… sampai harus menurunkan tiga orang hanya untuk satu orang sepertiku.”
Bugh! Bugh!
Pukulan beruntun mendarat. Salah satu dari mereka menendang kursi Adrian hingga miring ke samping. Tapi meski terjatuh, Adrian tetap tertawa.
> “Lucu sekali. Kalian bahkan belum tahu separuhnya...”
Salah satu pria bertopeng mendekat, lalu dengan suara berat berkata:
> “Kau bisa mati di sini. Takkan ada yang mencarimu.”
Adrian mendesis, matanya menyala tajam.
> “Justru karena itu aku tidak takut. Mati? Kalian pikir itu menghentikan kami?”
Ia meludah ke lantai.
> “Yang kalian lawan bukan aku... tapi sistem. Dan sistem kami... tidak bertumpu pada satu orang saja.”
Mereka bertiga saling pandang, lalu pria paling tinggi mengangguk. Kursi Adrian ditegakkan kembali. Mereka meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata, hanya suara pintu baja berderit yang kemudian dikunci dari luar.
Adrian mendongak. Napasnya tersengal, namun ia tertawa pelan seperti orang gila.
> “Tunggu saja... Bocah yang membobolku itu... akan kalian sesali membiarkannya hidup.”
.
Di sebuah ruangan rapat tersembunyi, layar besar menampilkan wajah buram dari seorang pria paruh baya. Suaranya berat, tenang, namun terdengar jelas ancaman yang tersembunyi di balik kalimatnya.
> “Jadi, sampai sekarang Adrian belum buka mulut?”
Seseorang di ruangan itu berdiri. Seorang agen senior berpakaian serba hitam, wajahnya tegas. Ia menjawab tegas:
> “Benar, Komandan. Kami sudah menggunakan pendekatan keras, tapi dia masih bungkam. Tidak mau menyebut satu nama pun. Dia tahu konsekuensi, tapi tetap menolak bicara.”
Komandan di layar menghela napas panjang. Matanya menyipit.
> “Kalau begitu, jangan buang waktu. Kita sudah punya cukup bukti dari laporan Raka. Fokus kita sekarang bukan interogasi—tapi penyelamatan. Akmal Putra Wijaya masih mungkin hidup.”
Seorang agen lain, perempuan, mengetuk laptopnya dan menampilkan peta tiga dimensi dari lingkungan universitas. Beberapa titik menyala merah — hasil pelacakan data yang dipulihkan oleh Raka dari jaringan Adrian.
> “Kami yakin lokasi penahanannya ada di bangunan tua di belakang gedung teknik lama. Sudah tidak dipakai sejak lima tahun lalu karena kerusakan struktural, tapi tetap diawasi oleh sistem internal kampus.”
> “Tempat itu disamarkan seperti ruang arsip,” gumam salah satu agen muda. “Tidak ada yang curiga.”
Komandan mengangguk.
> “Raka sudah mengirimkan rekaman lalu lintas digital, panggilan luar negeri, serta pergerakan log IP yang tidak wajar. Itu cukup untuk kita bertindak.”
Ia menatap ke arah kamera.
> “Mulai malam ini siapkan tim pengintai. Dan penyelamatan dilakukan besok, jika di lakukan sekarang akan sangat beresiko,
“Kita tidak bisa bergerak malam ini. Karena sistem pertahanan mereka justru aktif penuh saat kampus kosong.
> “Besok pagi, saat kampus mulai penuh mahasiswa, sistem keamanan berubah ke mode ‘normal’. Itulah satu-satunya celah kita. Mereka akan sibuk memantau keramaian, membaur dalam rutinitas. Fokus mereka terpecah. Dan itu... momen emas kita.”
Sekarang mungkin sedang di jaga ketat, saat kampus beroperasi seperti biasa. Kita masuk menyamar sebagai staf. Gunakan izin kerja darurat dari Kementerian.”
> “Tapi... bagaimana jika jebakan?” tanya agen perempuan tadi.
Komandan menjawab singkat.
> “Maka pastikan tidak ada yang pulang dalam peti mayat.”
Hening menyelimuti ruangan.
> “Lakukan ini dengan bersih.
“Hubungi Raka.”
Asisten itu segera membuka saluran komunikasi.
> “Besok pagi, saat universitas mulai aktivitas seperti biasa... Raka akan masuk kampus, dan menciptakan keributan besar di tengah keramaian. Kita butuh pengalihan total perhatian dari sistem dan dari para pengawas yang tersisa.”
> “Buat mereka panik. Buat semua CCTV dan petugas sibuk. Saat mereka fokus ke Raka, tim kita akan menyusup ke gedung belakang fakultas teknik lama.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan tajam:
> “Kalau Akmal masih hidup, kita bawa dia pulang. Kalau tidak... kita minimal hancurkan markas mereka dari dalam.”