Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Siapa di Hatimu, Laura?
Noah menghentikan mobilnya di tepi jalan. Kepalanya terasa seakan meledak. Dia benar-benar tidak bisa memahami hatinya.
Lelaki tersebut merasa hatinya sangat sakit karena melepaskan Laura. Namun, ada rasa tak rela jika harus membayangkan Laura kembali kepada Jordan. Noah memukul roda kemudinya berulang kali.
"Sialan! Aaaargh!" teriak Noah diakhiri dengan menenggelamkan wajah di antara punggung tangan yang masih memegang roda kemudi.
"Aku harus menemui Jordan!" teriak Noah.
Lelaki tersebut kembali melajukan mobilnya. Dia pun bergegas mempercepat laju kendaraan, sehingga kurang dari satu jam sudah sampai di kediaman sang atasan.
Sesampainya di tempat parkir Jordan, Noah langsung naik menggunakan elevator. Dia sudah tahu unit apartemen tempat tinggal Jordan dari asistennya. Sesampainya di depan pintu unit apartemen, Noah terdiam.
Noah menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan melalui mulut. Jemarinya mulai melayang ke udara dan mendarat tepat di permukaan bel. Tak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka.
"Ada keperluan apa malam-malam datang?" tanya Jordan dengan tatapan tajam.
Noah tersenyum simpul dan langsung masuk tanpa persetujuan Jordan. Ketika berada di ruang tamu, lelaki tersebut mendapati beberapa kaleng kosong bekas bir yang berantakan di atas meja. Di atas meja ada sebuah buku kecil dengan sampul karikatur wajah Laura.
"Kenapa tidak merayakan hari patah hati bersama?" Noah terkekeh kemudian melangkah mendekati sofa.
Lelaki tersebut mendaratkan bokong ke atasnya dan meraih sebuah kaleng bir yang masih belum dibuka. Noah membuka kaleng minuman itu dan mulai meneguknya perlahan. Setelah itu dia mengembuskan napas kasar melalui mulut.
Jordan yang masih belum memahami maksud Noah datang secara mendadak pun hanya mengerutkan dahi. Dia melangkah mendekati lelaki tersebut, lalu duduk di sampingnya.
"Kenapa kamu ke sini?"
"Aku datang untuk ikut bergabung denganmu. Kita akan merayakan patah hati bersama." Noah terkekeh, lalu kembali meneguk minuman dalam genggamannya itu.
Jordan tersenyum simpul. Lelaki tersebut mengira bahwa kalimat yang diucapkan oleh Noah adalah sebuah sarkasme. Dia akhirnya ikut mengosongkan kaleng bir, lalu kembali membuka yang baru.
"Kamu datang ke sini untuk mengejekku?" Jordan tersenyum tipis.
"Mana ada? Aku datang untuk melihatmu menertawakan nasibku yang malang ini."
"Apa maksudmu? Apakah pernikahan dengan Laura adalah sebuah kemalangan bagimu? Kamu adalah orang paling beruntung di dunia karena bisa menikahi perempuan hebat seperti Laura!" Jordan kini mencengkeram kerah kemeja milik Noah.
"Untuk apa menikah dan memiliki raga Laura, jika hatinya tidak sepenuhnya untukku?" Noah tertawa geli karena menyadari nadib cintanya yang kurang bagus.
"Dia memilihmu untuk melabuhkan hati, mana mungkin tak ada kamu di hatinya?" Jordan mengempaskan tubuh Noah kembali ke sofa, lantas meneguk lagi minuman beralkohol dalam kaleng tersebut.
Noah kini berusaha menegakkan punggung, tetapi tidak bisa. Akhirnya dia duduk dengan posisi tubuh melengkung ke depan dengan siku sebagai tumpuan di atas paha. Dia tertawa kecil sehingga membuat bahunya bergetar.
"Dia hanya mengungkapkan sebuah omong kosong. Mungkin dia hanya tak enak hati karena aku banyak membantunya selama ini. Pada kenyataannya, hanya kamu yang ada di hati Laura, Jordan. Kejarlah dia sebelum aku berubah pikiran."
Noah kini beranjak dari atas sofa. Jordan terdiam karena berusaha memahami ucapan yang keluar dari bibir lelaki tersebut. Noah menangkap amplop biru tua yang sangat familier baginya.
Lelaki tersebut mengambil amplop itu dari atas meja, lalu mengeluarkan isinya. Sebuah senyum miring penuh kepahitan kini menghiasi wajah lelaki tersebut. Noah tiba-tiba merobek undangan menjadi dua bagian.
"Kamu bukan lagi tamu undangan bagi acara ini. Lebih tepatnya acara resepsi ini sudah aku batalkan. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mempersiapkan kado pernikahan kami." Noah terkekeh, lalu membuang undangan itu ke udara.
Detik itu juga barulah Jordan memahami apa yang terjadi. Dia bisa menarik satu kesimpulan. Ya, pernikahan antara Laura dan Noah tidak jadi terlaksana alias batal.
Ada kelegaan yang kini dirasakan oleh Jordan sehingga membuatnya tersenyum tipis. Namun, ada sedikit rasa iba terhadap Noah kali ini. Sebagai lelaki dia bisa memahami seperti apa perasaan Noah sekarang.
Pada akhirnya Jordan hanya menatap Noah yang melangkah gontai ke arah pintu. Dia membuka pintu dan keluar dari ruangan tersebut tanpa meninggalkan kalimat lainnya. Jordan akhirnya menyandarkan punggung pada sandaran sofa dengan banyak rencana yang mulai berputar di kepalanya.
"Panggil Laura ke ruanganku."
Suara Jordan kini menggema pada interkom sang asisten. Perempuan berpenampilan rapi itu pun langsung meneruskan perintah Jordan kepada Laura melalui chat grup perusahaan. Laura bergegas menemui Jordan karena mengira ada hal penting mengenai pekerjaan.
Pikiran Laura sampai sejauh itu karena Jordan memang sudah sangat jarang memanggilnya secara pribadi jika ada di kantor. Begitu membuka pintu kantor, Laura langsung mendekati meja kerja Jordan.
"Duduklah!" perintah Jordan sambil melirik kursi kosong di depannya.
Laura pun langsung menarik kursi itu dan duduk di atasnya. Perempuan tersebut menatap Jordan dan sedikit meremas celananya karena tegang. Sebuah embusan napas yang keluar dari bibir Jordan membuat Laura menelan ludah kasar.
"Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Laura dengan suara yang sedikit bergetar.
"Tidak. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu kepadamu." Jordan kini menegakkan punggungnya.
"Apa?"
"Sebelum bertanya, aku akan menceritakan sebuah kejadian yang aku sendiri tak pernah mengiranya." Jordan tersenyum miring sehingga membuat Laura semakin mengerutkan dahi.
"Bisa langsung pada intinya. Aku ada banyak pekerjaan di mejaku."
"Semalam Noah menemuiku. Aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya denganmu atau tidak. Tapi, mengingat ini adalah hal yang menyangkut pernikahan kalian, pasti sangat erat kaitannya denganmu." Senyuman Jordan mendadak sirna, berganti dengan tatapan penuh selidik.
Laura menelan ludah kasar. Dia semakin meremas celananya. Tatapannya terhalang oleh lensa kacamata, tetapi perempuan tersebut bisa melihat dengan jelas kalau Jordan sedang dipenuhi oleh rasa penasaran.
"Dia mengatakan kalau dia tidak ada di hatimu. Lalu, siapa orang yang ada di hatimu? Apa itu ...." Jordan menggantung ucapannya di udara, kemudian mencondongkan tubuh ke arah Laura.
"Aku?" tanya Jordan sambil tersenyum miring.
Laura menelan ludah kasar. Matanya terbelalak sehingga Jordan bisa mengetahui dengan jelas kalau lawan bicaranya itu tengah terkejut. Namun, tiba-tiba Laura berdiri.
Kursi yang awalnya diduduki oleh Laura kini tergeser sehingga menimbulkan suara bising. Perempuan tersebut berusaha menatap tajam Jordan. Namun, ada keraguan di dalamnya.
"Jangan terlalu percaya diri, Jordan! Rasa sukaku padamu sudah menguap ke udara sejak melihat pengkhianatan itu!" ujar Laura kemudian balik kanan dan bersiap keluar dari ruangan Jordan.
"Memang kenyataannya begitu! Noah bilang begitu! Dia menceritakan semuanya kepadaku!"