Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Hari Minggu datang dengan tenang. Tidak ada pekerjaan, tidak ada jadwal mendesak. Hanya matahari yang hangat dan suara burung yang sesekali terdengar dari balik jendela. Nina baru saja bangun, rambutnya berantakan, piyama kusut, dan mata masih sembab karena tidur terlalu nyenyak.
Tapi sesuatu membuatnya terkejut.
Di meja makan, telah tertata sarapan dengan sangat rapi—pancake buatan tangan, irisan buah segar, secangkir teh melati, dan... seikat bunga kecil dengan catatan mungil bertuliskan:
“Selamat pagi, cinta. Hari ini kamu cantik bahkan sebelum cuci muka.” – Devan
Nina mematung sejenak, lalu tertawa kecil. “Gila. Dia bisa aja.”
Dan tanpa sadar, pipinya memerah sendiri.
Siangnya, Devan mengajak Nina keluar. Tapi kali ini bukan ke mall, bukan ke restoran mewah. Ia mengajaknya ke tempat yang sangat sederhana—taman tempat mereka dulu sering nongkrong sepulang sekolah.
Taman itu tidak banyak berubah. Ayunan tua masih berdiri, meskipun catnya sudah pudar. Bangku kayu tempat mereka dulu makan cilok masih ada di bawah pohon besar.
“Ngapain ke sini?” tanya Nina sambil tersenyum.
“Aku pengin ngajak kamu kencan pertama kita di tempat pertama kita jadi sahabat,” jawab Devan.
Mereka duduk di bangku kayu yang sama, makan es krim kacang ijo dari pedagang keliling. Di hadapan mereka, anak-anak berlarian. Dan di sela-sela itu, Devan menyelipkan tangan Nina ke dalam genggamannya.
“Dulu, aku sering duduk di sini nungguin kamu selesai curhat soal cowok. Kadang aku pengin bilang, ‘lihat aku, Nin. Aku bisa sayang kamu lebih dari mereka.’ Tapi waktu itu aku takut.”
Nina menoleh. “Sekarang?”
“Sekarang aku nggak takut lagi. Karena kamu udah jadi milikku.”
Nina hanya tersenyum, menggenggam tangan Devan lebih erat.
Beberapa hari kemudian, Nina sedang bersih-bersih kamar ketika ia menemukan sebuah bingkisan kecil di dalam lemari. Tidak dibungkus rapi, hanya dibalut dengan kertas coklat dan pita merah.
Saat dibuka, di dalamnya ada dua benda:
Buku agenda yang sudah dicatat penuh dengan tanggal-tanggal penting—dari ulang tahun Alya, sampai hari pertama mereka nonton film bareng, bahkan tanggal pertama Alya pulang kerja telat tapi tetap membawakannya bakso kesukaan Raka.
Sebuah kalung sederhana berbentuk daun kecil.
Di balik daun itu, terukir huruf kecil, D, N
Nina menyentuh kalung itu dengan jari gemetar.
Ia tak menyangka Devan sedetail itu memperhatikan hal-hal kecil.
Dan di dalam buku agenda itu, di satu halaman yang sudah ditandai dengan spidol merah muda, tertulis satu kalimat:
“Hari ketika aku yakin kamu mulai jatuh cinta padaku, meski kamu belum sadar.”
Sore itu, hujan turun lagi. Mereka berdua duduk di teras, berbagi selimut dan coklat panas. Devan menyenderkan kepalanya ke dinding, sementara Nina menyandarkan tubuhnya ke bahu Devan, diam-diam menyukai kehangatan yang diberikan lelaki itu.
“Van…” panggil Nina pelan.
“Hmm?”
“Kamu tuh romantis ya.”
Devan tertawa. “Romantis? Kata siapa?”
“Kata aku. Tapi nggak lebay. Romantis kamu tuh... adem. Nggak bikin ilfeel, malah bikin nyaman.”
Devan tersenyum kecil, lalu menoleh, menatap mata Nina langsung. “Kalau kamu nyaman, berarti aku berhasil.”
“Kenapa sih kamu segitu tulusnya?”
Devan diam sejenak. Lalu menjawab, “Karena aku tahu rasanya jadi orang yang nggak dipilih. Dan sekarang, ketika kamu pilih aku—meski awalnya karena keadaan—aku nggak akan sia-siakan. Aku nggak akan berhenti jadi rumah yang kamu bisa pulang kapan pun kamu lelah.”
Nina menatap Devan. Lalu, untuk pertama kalinya, dia yang mencium kening Devan lebih dulu.
“Ssst… aku belum bisa bilang aku cinta kamu, ya. Tapi aku tahu, hatiku udah nggak bisa tenang kalau nggak ada kamu.”
Devan menggenggam tangan Nina, menautkan jemari mereka.
“Aku akan tunggu, Nin. Tapi rasanya... kamu sudah separuh jalan.”
Malam itu, mereka tidur dalam satu ranjang. Tidak ada sofa lagi untuk Devan. Tidak ada jarak.
Nina memeluk lengan Devan, menyandarkan kepalanya di dada pria itu, mendengarkan degup jantungnya yang tenang.
“Van?”
“Hmm?”
“Aku... mulai jatuh cinta sama kamu.”
Deg
Detik itu juga jantung Devan berdegup dengan kencang, Devan tertegun ia memejamkan matanya.
Dan saat ia membalas pelukan Nina, perlahan dan penuh syukur, ia tahu—ia tak perlu menunggu lagi. Karena perempuan yang ia jaga, kini menjaganya juga.
*
Sudah lama Nina tidak pergi ke mall hanya untuk bersenang-senang. Sejak menikah, hari-harinya lebih banyak diisi rutinitas rumah dan pekerjaan. Tapi hari Minggu ini, setelah sarapan pancake buatan Deva, Nina tiba-tiba berkata, “Devan, temenin aku ke mall, yuk. Aku pengin belanja baju.”
Devan yang sedang menyuap potongan terakhir sarapannya langsung terdiam. “Belanja… baju?”
“Iya. Tapi kamu jangan ngeluh ya. Bisa aja keliling seharian.”
Devan tersenyum kecut. “Aku rela keliling dunia asal sama kamu. Tapi tolong, jangan bagian fitting room lima kali bolak-balik, ya.”
Nina tertawa. “Itu bagian dari ritual. Siap, Pak Suami?”
Devan menghela napas dramatis. “Oke. Demi cinta.”
Mall ramai. Suasana akhir pekan membuat setiap sudut dipenuhi pengunjung. Mereka masuk ke salah satu butik pakaian wanita yang penuh dengan plang SALE 50% dan suara pengumuman “diskon terbatas hari ini!”
“Van, tolong pegangin ini ya,” kata Nina sambil melemparkan lima potong dress ke tangan Devan.
Devan langsung tertimpa baju panjang-panjang yang bahkan warnanya tak pernah ia pahami.
“Ini... ini semua kamu coba?” Devan heran.
“Belum. Masih ada batch kedua,” kata Nina polos sambil memilih baju lain.
Devan melirik ke sekeliling. Ia berdiri di depan ruang ganti sambil memegang dress-dress warna pastel, dengan wajah datar namun menyerah. Beberapa orang memperhatikannya, dan satu-dua ibu-ibu bahkan tampak tersenyum geli.
Salah satu ibu-ibu tua tiba-tiba mendekatinya dan berkata pelan, “Mas, sabar ya. Namanya juga istri, memang suka begini.”
Devan tertawa kecil. “Saya udah mulai terbiasa, Bu.”
Baru saja ia menjawab begitu, Nina keluar dari ruang ganti mengenakan gaun putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya diikat setengah, wajahnya bersinar meski tanpa make-up berlebihan.
Devan tak bisa berkata-kata.
“Gimana? Bagus nggak?” tanya Nina.
Deva mengangguk, terpana. “Kamu... cantik banget, Nin.”
Nina tertegun. Jarang sekali Devan melontarkan pujian gamblang seperti itu.
“Yakin?” tanyanya sambil merentangkan tangan ke samping.
“Yakin. Kalau bisa, aku pengin kamu pakai itu tiap hari.”
Setelah dari toko baju, mereka berjalan menuju food court. Tapi di tengah jalan, Deva melihat ada seorang wanita tua tersandung di depan lift. Tanpa pikir panjang, ia lari dan membantu wanita itu berdiri.
Namun, dari arah lain, seorang ibu-ibu—mungkin anaknya—datang sambil panik.
“MA! Siapa ini?!”
Ibu tua itu menunjuk Devan, “Dia bantuin Mama tadi–.”
Tapi sebelum bisa dijelaskan lebih lanjut, ibu itu salah paham karena melihat Deva memegangi tas wanita tua itu.
“MAU NYOPET YA?!” teriaknya sambil mengayunkan tas tangan ke kepala Devan.
Plakkkk!
Pukulan tas rotan mendarat mulus di belakang kepala Devan membuat pria itu meringis.
“BU! BUKAN! Saya... saya nolongin, Bu!” teriak Devan sambil mundur, panik.
Nina yang baru datang dari arah toko tas langsung berlari.
“BU! Itu suami saya! Beneran bukan copet!” teriaknya.
"Iya, wong dia yang nolongin ibu tadi saat ibu mau jatuh." Timpal sang ibu.
Ibu itu langsung menutup mulut, kaget. “Ya ampun! Maaf ya, Mas… Ibu pikir…”
“Gak apa-apa, Bu,” ujar Devan sambil memegang kepalanya yang masih nyut-nyutan.
Nina menahan tawa sekuat mungkin.
Setelah insiden itu, mereka duduk di food court, memesan teh manis dan sepiring makanan ringan. Nina masih cekikikan, sementara Devan hanya bisa memijat pelipis.
“Pasti rasanya kayak ditabok kenangan masa lalu ya?” goda Nina.
Devan melotot manja. “Gara-gara kamu ngajak ke mall, aku dituduh copet dan dipukul tas rotan.”
“Anggap aja itu cobaan cinta,” jawab Nina sambil menyuapkan potongan risoles ke mulut Devan.
Mereka tertawa bersama. Di tengah ramainya mall, di tengah segala drama kecil, mereka seperti menciptakan dunia sendiri—dunia yang penuh tawa, ejekan manja, dan... cinta yang semakin hari semakin nyata.
Saat berjalan menuju parkiran, Nina tiba-tiba berhenti dan menarik lengan Devan. Mereka berdiri di sisi mobil, di bawah sinar lampu kuning parkir yang temaram.
“Van.”
“Hmm?”
“Makasih ya, udah sabar nemenin aku, meski aku cerewet dan suka rewel.”
Devan menatap Nina, matanya hangat.
“Aku nggak pernah sabar. Aku cuma... terlalu sayang untuk ninggalin kamu sendirian.”
Nina tersenyum. Ia lalu berdiri tiptoe, mencium pipi Devan cepat-cepat.
“Hadiah karena kamu udah dipukul ibu-ibu.”
Devan membalas dengan pelukan erat. “Bisa dipukul tiap minggu juga nggak apa-apa kalau ujungnya kayak gini.”
Mereka tertawa bersama.
Dan malam itu, meski hanya ke mall, tanpa kejutan mewah, tanpa pesta romantis... cinta mereka tumbuh lebih kuat dari sebelumnya.
*kasih komentarnya buat bab ini, kalau suka aku bakalan lanjut....🥰