NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Pengawal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading 🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HANYA INGIN BERGUNA

Di dalam kamar kecilnya, Daren berdiri terpaku. Pandangannya tertumbuk pada meja kayu reyot yang biasanya kosong, kini tampak berubah. Di atasnya tergeletak beberapa buku tipis dan pena tulis, terikat rapi dengan pita tua yang masih utuh warnanya. Di sampingnya, selembar kertas dengan tulisan tangan rapi tergelatak.

"Belajarlah menulis dan membaca, aku yakin kau bisa." Kanel.

Daren mendekat perlahan. Jari-jarinya yang masih memar menyentuh ujung kertas itu seakan tak percaya. Ia mengambil buku-buku itu dan memeluknya. Tubuhnya bergetar. Air mata turun satu per satu membasahi pipinya yang kotor oleh debu pelatihan dan bekas darah. Ia menangis, diam-diam, memeluk buku-buku itu seperti memeluk harapan baru yang rapuh namun nyata.

"Terima kasih… terima kasih…" bisiknya lirih. Suaranya tenggelam dalam pelukan pada benda-benda paling berharga dalam hidupnya sejauh ini.

★★★★

Keesokan paginya, ketukan pelan membangunkannya. Saat pintu terbuka, Daren mendapati sosok Kanel berdiri di ambang pintu, membawa semangkuk makanan hangat.

"Selamat pagi," ucap Kanel singkat, tapi nadanya lembut. "Hari ini, kau latihan sore saja. Pagi ini gunakan untuk belajar. Bawalah buku-bukumu ke taman, biarkan udara yang baik membantu dan menenangkan pikiranmu."

Daren menunduk dalam. "Terima kasih…" katanya nyaris berbisik.

Kanel tiba-tiba berlutut, menyamakan tinggi tubuhnya dengan gadis itu. Wajahnya menegang, matanya suram namun jujur.

"Andai dunia ini lebih adil… aku akan membawamu pergi dari barak ini. Aku ingin kau tumbuh seperti anak-anak lain, memiliki rumah, memiliki keluarga dan juga memiliki nama."

Daren menggeleng cepat. "Tidak, saya tidak ingin pergi dari sini. Saya ingin menjadi kuat… s-saya ingin melindungi,"

Saya ingin menjadi orang yang bisa diandalkan.

Senyum tipis muncul di wajah Kanel. Ia berdiri dan mengusap kepala gadis itu sebentar sebelum pergi.

Daren berganti pakaian dengan pakaian bersih pemberian Kanel. Ia merapikan rambutnya sekenanya, lalu membawa buku dan pena keluar pergi menuju taman kecil di samping barak. Ia duduk di bawah pohon besar, mencoba mengeja tulisan, menyalin huruf demi huruf, walau jemarinya kadang gemetar menahan perih.

Daren sangat cerdas, ia memiliki kecepatan dalam menghapal dan belajar hal baru.

Suara krmah berargumen terdengar, ia mendengar percakapan dari balik semak.

"Aku akan pergi mencarinya sendiri,"

Daren menoleh, mengendap ke semak rumput dan mengintip. Ia melihat Putra Mahkota Gerald, bersama Jaden dan Benson tengah berlatih pedang.

"Aku ikut. Kalau kau celaka, aku juga yang kena marah," kata Benson.

"Benar. Kita pergi bersama," timpal Jaden, mengayun pedangnya ringan.

Putra Mahkota mengangkat pedang tinggi. "Baik, kita pergi malam ini. Tanpa sepengetahuan siapa pun."

Daren menahan napas. Mereka akan pergi mencari burung itu… lagi? Itu sangat berbahaya…

Mereka bisa terancam.

Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan melangkah keluar dari persembunyiannya.

"Saya ikut!" katanya lantang.

Mereka bertiga langsung menoleh. Benson mengangkat alis. "Halo, gadis kecil."

"Saya dengar semuanya… saya ingin ikut. saya tidak akan merepotkan."

Gerald memandangnya dingin. "Kau menguping? Kau tahu kalau ini ketahuan, kau bisa dihukum berat?"

Daren menunduk, tapi tetap teguh. "Maaf… Tapi saya sungguh ingin ikut,"

Putra Mahkota menatap buku yang dibawa Daren. "Kau seharusnya belajar, bukan ikut bermain pedang,"

Mendengar perkataan Gerald, Daren sangat malu, ia buru-buru menyembunyikan bukunya.

Jaden menyela, tenang. "Pangeran, kapan kita akan pergi?"

"Nanti malam, tepat tengah malam. Pastikan semua sudah tidur. Tulis surat untuk siapa pun yang mungkin khawatir, tapi jangan beri kode kita mencari burung."

"Saya akan ikut. Tunggu aku malam nanti," kata Daren tegas, ia lalu pergi berlari meninggalkan mereka.

Gerald menatap punggungnya. "Biarkan saja. Kalau dia kenapa-kenapa, pamanku akan memotong lidahku."

Di kamar, Daren menyiapkan semua. Pedang, baju cadangan, dan buku. Mungkin karena itu adalah buku pertama yang ia miliki, membuatnya tidak ingin melewatkan pelajaran walau dalam perjalanan berbahaya.

Saat hendak pergi, ia melihat Kanel sedang berbincang dengan seorang pria berumur. Suaranya terdengar keras, tajam.

Komandan Senior, Tuan Zachel.

"Kau buang waktumu untuk gadis itu. Dia bukan siapa-siapa."

Daren langsung berhenti, menyelinap di balik tiang batu, menyimak.

"Kau sendiri diselamatkan oleh ayahnya tanpa diketahui siapa pun!" bentak Kanel, suaranya gemetar oleh emosi.

"Tidak usah bahas itu! lihat kau sekarang! Gelarmu lenyap, masa depanmu dikubur karena mengurus bocah itu!"

"Aku tidak peduli! Dunia ini busuk dan pengecut! Kalau harus memilih lagi, aku akan tetap melindunginya!"

"Kaisar adalah kakakmu, dan kau hanya seorang komandan rendahan! Apa kau tidak malu?"

Kanel menatap pria paruh baya itu tajam, tatapannya dingin tapi sarat dengan bara yang terpendam bertahun-tahun.

"Kenapa harus malu?" suaranya pelan, tapi tajam bak bilah baja. "Lebih memalukan jika kau mati-matian mempertahankan gelar... tapi jiwamu busuk."

Ucapannya menggema di lorong batu itu. Hening. Hanya napas berat keduanya yang tersisa.

"Aku lebih memilih kehilangan pangkatku… dari pada hidup sebagai pengecut yang bersembunyi di balik nama besar dan pura-pura suci."

Mata Kanel berkaca-kaca, tapi tak satu pun jatuh. Ia menatap lawannya seperti menatap bayangannya sendiri, bagian dari masa lalu yang ingin ia kubur.

"Kau bisa hina aku sepuasmu… tapi aku tahu siapa diriku. Dan aku tahu siapa yang pantas kulindungi."

Kanel berbalik dan pergi, ia tak menyadari bahwa Daren mendengar segalanya.

Daren tak menangis. Tidak kali ini.

Ia hanya diam, menguatkan diri. Jadi itulah dunia ini…

Daren berlari meninggalkan lorong batu itu, menembus udara dingin malam yang mulai merayap ke sela-sela istana. Nafasnya memburu, dadanya sesak bukan karena lelah, tapi karena apa yang baru saja ia dengar. Setiap langkahnya seperti bergema di antara dinding batu yang dingin dan sunyi, membawa serta beban yang berat di pundaknya yang kecil.

Kakinya menjejak keras ke tanah saat sampai di halaman luar. Ia terus berlari, melewati penjaga yang tak mempedulikannya, melewati barak kosong yang sudah tertidur, sampai akhirnya ia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Pintu ditutup pelan. Daren bersandar di baliknya, membiarkan tubuhnya meluncur ke lantai dingin.

Hening.

Ia memeluk lututnya, menunduk. Tapi air mata tetap tak jatuh.

Jadi begini rasanya... ketika orang yang melindungimu juga dihina karena dirimu.

Aku harus lebih kuat. Aku harus... lebih berguna.

Pandangan matanya tertuju pada meja kosongk. Di situ, di antara kata-kata yang belum ia pahami sepenuhnya, ia menemukan makna: seseorang percaya padanya. Dan itu cukup.

Ia bangkit.

Perlahan, ia mengambil ransel kecilnya. Pedang yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya ia ikat di punggung.

Daren duduk di pinggir ranjang, menatap ke luar jendela kecil yang menghadap ke langit malam.

Aku tak tahu apa yang akan terjadi malam ini. Tapi aku tidak... aku tidak akan hanya duduk diam saat orang-orang yang telah menerimaku di hina dan dalam bahaya.

Langit gelap. Bulan menggantung setengah. Malam belum selesai. Tapi tekad Daren sudah penuh.

Ia berdiri, siap untuk misi rahasia malam ini.

Sebelum melangkah keluar, Daren terdiam sejenak. Pandangannya jatuh ke atas meja, pada pena kayu dan kertas kosong yang tergeletak di sana. Ia ragu. Tapi kemudian ia menarik napas pelan, lalu duduk kembali.

Tangan kecilnya, mencengkeram pena dengan canggung. Gerakannya lambat, bergoyang sedikit, seperti seorang anak yang baru belajar menulis. Namun matanya serius, dan pikirannya bulat.

Satu demi satu huruf ia tulis dengan penuh kehati-hatian. Tulisannya tidak rapi, terkadang miring, kadang terlalu renggang, namun setiap goresan mencerminkan tekadnya.

Di ujung kertas, hanya ada satu kalimat:

       "Aku akan segera kembali."

               —Daren—

Ia meletakkan pena. Menatap tulisannya dengan Mata lesu. Ia menarik napas pelan kalau menajamkan matanya kembali.

Kertas itu ia lipat dengan hati-hati, lalu ia selipkan di atas meja, di sudut meja tempat Kanel pertama kali meletakkannya. Ia berdiri lagi, menyandang ranselnya, lalu menatap ke arah pintu.

             Tunggu aku.

1
Hatus
Kasihan banget Daren, masih bayi tapi cobaan hidupnya berat banget😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!