Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.
Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.
Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan perasaan
Keesokan harinya.
Langit pagi tampak kelabu. Kabut tipis menyelimuti jalanan saat mobil hitam berlapis baja melaju menuju sebuah area pinggiran kota yang sepi..
Di dalam mobil, Kael duduk di kursi belakang, mengenakan jas hitam sederhana. Wajahnya kaku, matanya menatap kosong ke luar jendela. Martez menyetir di depan, sesekali melirik lewat kaca spion.
Tak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara mesin yang terdengar.
Mobil berhenti di depan sebuah gudang tua dengan pagar besi tinggi yang dilapisi kawat berduri. Dua pria bersenjata berjaga di depan gerbang. Begitu melihat mobil Kael, mereka segera membuka pagar tanpa kata.
Martez turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Kael. Gudang inu, adalah salah satu tempat paling tersembunyi milik Kael—tempat ia menyimpan senjata-senjata kelas berat, dokumen, hingga alat penyamaran untuk operasi besar.
Namun kali ini, tak ada diskusi strategi. Tak ada pemeriksaan logistik yang serius. Mereka hanya berjalan dalam diam.
Hingga akhirnya, Martez memecah keheningan.
“Tuan… Anda baik-baik saja?”
Kael tidak langsung menjawab. Ia berhenti di depan salah satu rak besi, menatap kotak hitam yang terkunci ganda. Wajahnya terlihat gelisah, namun ditutupi dengan raut datar seperti biasa.
Lalu ia berkata pelan, “Kalau aku mengatakan padamu… bahwa aku akan menjadi seorang ayah… apa yang akan kau pikirkan?”
Martez tertegun. Tubuhnya menegang sesaat. “Saya… saya tidak menyangka, Tuan.”
Kael menatapnya lurus, suaranya tenang tapi tajam, seperti ingin menembus pemikiran Martez.
“Menurutmu, apakah pria sepertiku pantas menjadi ayah?”
Martez terdiam lama. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
“Saya rasa... semua orang berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah, Tuan. Bahkan Anda.”
Kael menatapnya beberapa detik, seolah mencerna setiap kata itu. Namun tidak mengatakan apa pun.
Beberapa menit berlalu dalam diam sebelum Kael akhirnya berbalik.
“Ayo kembali. Aku sudah cukup melihat untuk hari ini.”
Martez hanya mengangguk, lalu berjalan mengikuti tuannya keluar dari gudang.
Di waktu yang bersamaan…
Di sebuah ruangan remang dengan dinding baja dan aroma cerutu yang kuat, seorang pria bertubuh besar sedang duduk santai di balik meja kayu tua. Jas hitamnya rapi, namun senyumnya—tajam dan beracun.
Dia Ia adalah Moreno Valdarez, bos mafia internasional yang dikenal karena kekejaman dan kelicikannya. Di tangannya tergenggam beberapa lembar foto yang baru saja dikirim oleh anak buahnya.
Salah satu foto memperlihatkan Kael bersama seorang gadis muda—Izara.
Moreno menyeringai sinis.
"Bodoh…” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Bukannya belajar dari masa lalu, dia malah mengulang cerita yang sama.”
Ia melempar salah satu foto ke atas meja. Kertas itu melayang pelan sebelum mendarat tepat di bawah lampu meja yang menyala temaram.
“Rasa cinta itu... tidak ada gunanya dalam dunia seperti ini. Terutama untuk seseorang mafia...”.
Moreno mencibir, lalu menyebut nama itu dengan nada penuh ejekan.
“Kael Atreus Valmer...”
“Pangeran bayangan dari Black Vortex… dan tetap saja, jatuh karena perasaan.”
Ia terkekeh pelan, penuh penghinaan. Namun matanya tak main-main. Ia tidak melihat Kael sebagai ancaman… melainkan sebagai celah yang bisa dihancurkan.
Lalu, suara pelan namun tajam meluncur dari bibirnya.
“Kalau begitu... kita akan mulai dari gadis itu.”
• • •
Sore itu.
Sebuah mobil hitam berhenti di seberang rumah Izara. Di dalamnya, dua pria duduk diam. Salah satunya adalah Raul, anak buah Moreno.
Ia menatap layar kamera. Di dalam rumah, Izara tampak sedang menyusun bunga. Tak sadar bahwa dirinya sedang dipantau.
Ia menatap layar kamera. Di dalam rumah, Izara tampak sedang menyusun bunga. Tak sadar bahwa dirinya sedang dipantau.
“Sekarang,” ujar Raul singkat.
Pria di sampingnya turun, mengenakan hoodie dan masker. Ia membawa kotak kecil berwarna coklat, lalu meletakkannya tepat di depan pintu rumah Izara. Setelah itu, ia segera kembali ke mobil.
Mereka menunggu.
Beberapa menit kemudian, Kai membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada kotak itu. Ia membukanya perlahan.
Wajah Kai menegang.
Di dalamnya ada foto Izara, boneka kecil rusak, dan secarik kertas bertuliskan:
Bersiaplah ini giliranmu.
Izara muncul di belakang Kai, lalu menatap isi kotak itu. Wajahnya langsung pucat. Tangannya gemetar.
"Itu baru permulaan." Moreno, terduduk di kursi kerja memperhatikan dari kejauhan— Izara dan Kai yang terkejut.