Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 22 Nyaris Jatuh, Nyaris Jujur
Pagi itu, suasana di kosan masih terasa hening ketika Galuh membuka matanya. Kepalanya terasa berat, entah karena mimpi semalam yang membuat dadanya sesak atau karena kenyataan yang mulai terasa terlalu dekat. Ia mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, memikirkan Saras. Gadis itu semalam pulang terlambat dan hanya menyapa singkat sebelum mengunci diri di kamar.
Galuh turun dari tempat tidur, mencuci muka, dan langsung menuju dapur. Ia memutuskan untuk membuatkan sarapan, semacam alasan agar bisa mengajak Saras bicara tanpa terlihat terlalu peduli. Paling tidak, itu alasan yang masuk akal untuk sekadar mencairkan suasana.
Beberapa menit kemudian, aroma telur dadar dan kopi hitam memenuhi ruangan. Saat itulah Saras muncul dari kamarnya, rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa. Tapi mata itu... seperti menyimpan beban yang tidak bisa diucapkan.
"Sarapan?" tanya Galuh pelan, tidak menatap langsung.
Saras hanya mengangguk, mengambil duduk di meja makan. "Makasih."
Keheningan itu kembali hadir, seperti tamu yang tak pernah diminta tapi selalu datang. Galuh menarik kursinya dan duduk di seberang Saras. Ia ingin bicara, ingin bertanya kenapa Saras tampak murung, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua sikap dinginnya. Tapi lidahnya seperti terikat.
"Kamu... baik-baik aja?" akhirnya ia bertanya.
Saras mengunyah perlahan sebelum menjawab, "Aku capek."
Galuh mengangguk pelan. "Kuliah?"
"Bukan itu," sahut Saras cepat. "Capek berusaha jadi baik buat semua orang."
Kalimat itu menggantung di udara, menyentak kesadaran Galuh. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi satu hal yang pasti, Saras sedang membuka sedikit demi sedikit benteng yang selama ini ia jaga rapat.
"Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa," ujar Galuh pelan. "Tapi kalau kamu butuh teman, aku di sini."
Saras menatapnya, mata itu kini mulai lembap. Tapi ia segera mengalihkan pandangan. "Kamu terlalu baik, Galuh. Nanti kamu nyesel."
Galuh hanya tersenyum kecil. "Belum tentu."
Hari itu mereka berangkat ke kampus bersama, namun suasananya berbeda. Saras tampak lebih tenang, meski tidak banyak bicara. Sementara Galuh, diam-diam mulai khawatir pada rasa yang tumbuh dalam diamnya.
Di kampus, suasana lebih ramai dari biasanya. Ada acara kecil yang diadakan di pelataran fakultas semacam bazar dan pentas seni kolaborasi antarjurusan. Dan di sinilah masalah baru muncul.
Saras tiba-tiba dipanggil oleh seorang cowok berjaket hitam. Galuh mengenalnya. Rangga. Senior satu angkatan dengan Saras, dan kabarnya pernah dekat.
"Saras! Lo masih ngelupain gue?" suara Rangga cukup keras hingga menarik perhatian beberapa mahasiswa di sekitar.
Saras tampak tegang. Galuh segera berdiri di sampingnya. "Ada apa, Rangga?"
Rangga menatap Galuh, menahan tawa sinis. "Siapa lo? Cowok barunya ya? Cepet amat ganti orang."
"Jaga omongan lo," Galuh berkata dengan tenang tapi tegas.
Saras menarik lengan Galuh. "Udah, Galuh. Nggak usah."
Tapi Galuh tetap berdiri di sana, menatap Rangga tanpa gentar. Dalam hatinya, ia tidak tahu apakah yang ia lakukan ini demi Saras atau demi dirinya sendiri. Yang jelas, melihat Saras dipermalukan seperti itu membuatnya marah.
Rangga mendekat, menatap Galuh tajam. "Jangan sok jagoan. Lo baru tau Saras sebentar. Lo nggak tahu siapa dia sebenarnya."
"Gue nggak perlu tahu masa lalu dia buat tetap di samping dia sekarang," ujar Galuh mantap.
Kata-katanya seperti tamparan bagi Rangga. Dan Saras, yang berdiri di tengah-tengah, hanya bisa menunduk. Namun dalam diamnya, ada sesuatu yang bergerak di hatinya.
Rangga akhirnya pergi, meninggalkan suasana yang kacau. Saras langsung menarik Galuh menjauh.
"Kenapa kamu lakuin itu?" tanyanya begitu mereka sampai di taman belakang kampus.
"Karena kamu nggak pantas diperlakukan kayak tadi."
Saras menatap Galuh lama, lalu duduk di bangku kayu. Galuh mengikutinya.
"Rangga bukan cuma masa lalu. Dia juga alasan kenapa aku jadi kayak gini."
Galuh menoleh. "Maksudnya?"
Saras menarik napas dalam-dalam. "Aku pernah hampir kehilangan arah karena dia. Dia yang bikin aku menutup diri dari semuanya. Aku nggak mau jatuh dua kali."
Galuh diam. Ia paham sekarang, kenapa Saras selalu jaga jarak. Kenapa ia begitu takut membuka hati.
"Aku nggak akan maksa kamu cerita semuanya. Tapi mulai sekarang, kamu nggak sendiri, Sar. Oke?"
Saras menatapnya. "Kamu aneh, Galuh."
"Aneh gimana?"
"Aneh karena... kamu tetap di sini."
Galuh tersenyum. "Mungkin aku cuma anak kos yang susah nyari tempat tinggal lain."
Saras tertawa kecil. Tawa yang jarang terdengar. Dan untuk pertama kalinya, Galuh merasa usahanya tidak sia-sia.
Saat matahari mulai condong ke barat, keduanya kembali ke kelas. Tapi hubungan mereka tak lagi sama. Ada kehangatan baru, ada kepercayaan yang perlahan tumbuh. Meski tidak diucapkan, mereka tahu… perasaan itu sedang berjalan ke arah yang lebih dalam.
Dan dari kejauhan, Rangga mengamati. Dengan sorot mata yang belum selesai. Dengan dendam yang belum tuntas.