Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22—Wu Ling
"Aku tidak percaya, dia berubah secepat ini."
"Qi Awekening 18 dalam satu tahun? Aku pikir dia itu monster."
"Tapi... dia terlihat lebih tampan saat ini."
"Aku bersedia kultivasi ganda dengannya...."
Xu Yin berdiri dengan tenang di atas punggung naga, jubah biru mudanya berkibar ditiup angin, mata hitamnya memandang tajam ke arah bangunan sekte yang kini kembali akrab di matanya. Satu tahun bertapa dalam keheningan goa terpencil, dan kini ia telah mencapai Qi Awakening tahap 18.
Di sebelah Xu Yin, berdiri tegak Tetua Qian, dengan jubahnya yang megah dan janggut peraknya yang bergoyang halus diterpa angin. Mereka berdua terbang ke tanah, turun dari punggung Yinglong. Kemudian, Xu Yin segera menangkupkan tangannya dengan hormat. "Murid Xu Yin memberi hormat kepada Guru Qian."
Pandangan mata Tetua Qian tajam, namun bibirnya menyungging senyum hangat saat Xu Yin menunduk memberikan hormat padanya.
Tetua Qian tertawa ringan. "Satu tahun adalah waktu yang sangat singkat. Lain kali, kau harus berlatih selama sepuluh tahun!"
"Terima kasih atas bimbingan dan perlindungan, Guru Qian," sahut Xu Yin.
"Mulai hari ini, kau tak lagi tinggal di asrama Murid Luar." Tetua Qian menatap ke arah paviliun tinggi di sisi barat gunung. "Kau akan pindah ke asrama Murid Inti."
Mendengar kepindahannya ke asrama yang mungkin lebih megah, Xu Yin merasakan perasaan gembira. Lalu, ia menunduk hormat sekali lagi. "Xu Yin mengerti."
Tetua Qian melompat ringan ke atas punggung Yinglong dan mendarat di sana, berdiri seperti tak tergoyahkan oleh angin atau ketinggian. "Aku akan pergi untuk sementara waktu. Jaga dirimu baik-baik," ucapnya pelan, sebelum Yinglong kembali membubung ke langit.
Xu Yin menatap punggung sosok gurunya yang perlahan menjauh di balik awan. Rasa hangat mengalir di dadanya. Sekalipun dunia ini keras dan penuh bahaya, ada satu tangan yang akan menolong dan membimbingnya.
Xu Yin kembali menapaki jalanan batu menuju asrama lamanya, tempat di mana ia dulu dianggap sebagai manusia buangan, bahkan lebih hina dari kotoran burung. Di sana, aroma kayu lembap dan angin gunung membangkitkan kenangan pahit, penghinaan, dan kesakitan.
Saat Xu Yin membuka pintu, beberapa pasang mata langsung menoleh.
Entah mengapa Murid Dalam seperti Wu Ling berada di asrama Murid Luar. Tetapi, yang jelas, kedatangan bukanlah pertanda baik. Pemuda gemuk itu bersama beberapa komplotannya sedang tertawa-tawa, minum teh pahit sembari membicarakan rumor tentang murid baru dari paviliun barat.
Wu Ling menyipitkan mata begitu mengenali Xu Yin. Bibirnya melengkung sinis. "Lihat siapa yang kembali dari liang kubur, si pecundang yang dulu tak bisa mengangkat batu dengan kekuatannya sendiri."
Salah satu temannya ikut menimpali, "Dengar-dengar, sampah itu dijadikan Murid Inti karena belas kasih Tetua Qian. Mungkin dia akan menjadi budaknya para Murid Inti."
Seketika itu juga, mereka semua tertawa. Suara tawa mereka menggema menyebar ke seluruh sudut asrama.
Xu Yin tak mengucap sepatah kata pun. Ia hanya menunduk, mengambil beberapa barang yang tersisa di kamarnya, dan memasukkan ke dalam tas yang terbuat dari sutra surgawi, pemberian Xu Liang.
Setelah selesai memungut barang-barangnya, Xu Yin segera melangkah untuk pergi. Gerakannya tenang, seolah para murid yang mengejeknya itu, tidak pernah ada.
Wu Ling mendekat, menahan pundak Xu Yin menggunakan pundaknya. "Kau pikir, pindah ke asrama murid inti berarti kau setara dengan mereka?" Lalu ia melanjutkan, "Pecundang sepertimu bahkan tidak setara dengan kami."
Ekspresinya dingin, selama bertahun-tahun, Xu Yin selalu menganggap Wu Ling sebagai hembusan angin. Bahkan, sejak pertemuan pertama mereka di asrama Murid Luar ini, Xu Yin tak sekalipun pernah menganggap Wu Ling. Ia pun menjawab dengan nada datar. "Aku tak butuh pengakuan dari siapa pun. Aku hanya butuh jalanku sendiri."
Wu Ling yang merasa sedang diremehkan, segera membalas ucapan itu dengan seringai yang semakin lebar, lalu berbisik di telinganya. "Hati-hati di atas sana, Xu Yin. Semakin tinggi kau melompat, semakin sakit saat kau terjatuh."
Xu Yin sejak awal memang meremehkan Wu Ling, bahkan hingga saat inipun masih sama. Lalu, senyuman terlihat dipinggir bibirnya. Tapi bukan senyum hangat, melainkan senyum dingin, kering, dan tajam seperti silet.
"Dan kau, Wu Ling..." ucapnya perlahan. "Kau bahkan tidak pernah tahu rasanya berada di atas sana." Lalu Xu Yin memberikan tatapan tajam menusuk pada mereka semua, para murid yang selama ini mengganggu dan menganiayanya.
Seketika, tekanan spiritual yang kuat merambat dari tubuh Xu Yin. Tidak ada ledakan, tidak ada cahaya mencolok yang menyelimuti tekanan ini. Hanya ada keheningan yang tiba-tiba menindas udara. Ruangan asrama seperti kehilangan suara. Angin di luar berhenti bertiup. Api lentera yang sedang bergoyang pelan tiba-tiba diam seperti membeku di tengah udara.
Tanah berderak pelan. Lantai kayu di bawah kaki Wu Ling mengeluarkan bunyi retak halus. Energi tak kasat mata merambat turun perlahan seperti kabut hitam tipis, menekan ke arah Wu Ling dan teman-temannya.
Mereka langsung terdiam.
Otot-otot mereka mengencang dan napas tersendat-sendat. Punggung terasa seperti dipukul palu logam tak terlihat. Lutut mereka melemah. Salah satu dari mereka terdorong mundur dan wajahnya memucat seketika. Yang lain menggigit bibir karena mencoba menahan guncangan di dalam dada.
Mata Wu Ling membelalak, bukan karena ketakutan pada Xu Yin, tapi karena merasakan aura mengerikan yang murni. Punggungnya dingin. Ada sesuatu dari Xu Yin yang tak bisa dijelaskan.
Xu Yin melangkah pelan. Suara langkahnya nyaris tak terdengar, tapi setiap tapaknya membuat tekanan itu bertambah satu tingkat. Wu Ling memberanikan diri berbicara, suaranya sedikit serak.
"Xu Yin... kita dulu…”
"Kau pikir aku lupa?" Xu Yin memotong cepat. Suaranya rendah, datar, namun menusuk.
Xu Yin berhenti lima kaki dari mereka.
Angin seakan berhenti bergerak di sekitarnya. Mata Xu Yin tajam dan tak bergeming, seperti menatap masa lalu yang akan ia bunuh suatu saat nanti.
"Kalian akan membayar semuanya, tapi tidak sekarang. Sebaiknya, kalian mencari seseorang yang kuat. Agar, saat aku menagih hutang, kalian bisa bersembunyi dibelakang orang kuat itu." Xu Yin mengangkat tangannya perlahan, menunjuk menggunakan jari telunjuk ke arah mereka. Gerakan itu sederhana, tapi membuat Wu Ling dan komplotannya berdebar-debar.
Lalu, Xu Yin berjalan melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun.
Begitu Xu Yin menjauh, tekanan itu menghilang. Tapi udara masih terasa berat, dan tak satu pun dari mereka berani membuka suara.
Wu Ling berdiri terpaku, napasnya berat. Untuk pertama kalinya, ia tidak sanggup menatap mata Xu Yin.
Setelah meninggalkan Asrama sayap kiri, Xu Yin berjalan melalui beberapa lorong menuju paviliun sayap barat. Ia sangat bersemangat, hatinya berdebar-debar karena gembira. Akhirnya, ia pindah ke lingkungan baru yang lebih elit.
"Pasti sikap mereka jauh lebih baik dan lebih beradab daripada Murid Luar." gumam Xu Yin dalam batin, sesekali ia tersenyum membayangkan akan mendapatkan teman baru yang lebih berkualitas.
"Aku mungkin akan menemukan teman baru yang satu frekuensi denganku. Lalu, aku akan menceritakan asal usulku padanya. Sepertinya, itu menyenangkan!" gumamnya lagi di dalam hati.
Sementara itu, aula utama asrama sayap barat dipenuhi dengan aroma teh melati yang berpendar lembut di dinding batu. Dua murid duduk bersebelahan di kursi yang terbuat dari giok putih, sebagai singgasana Murid Inti. Mereka saling berbincang dan tertawa, tampak seperti bangsawan muda yang tengah membicarakan opera drama murahan.
Xu Yin bisa mendengar suara mereka bertiga dari luar. Ia pun segera masuk dengan senyuman gembira. Begitu Xu Yin melangkah masuk, suara tawa perlahan mereda. Keheningan mendadak turun seolah seekor binatang najis telah memasuki kuil suci.
Walaupun suasana berubah menjadi hening, Xu Yin tetap menangkupkan tangannya dan memberi hormat. “Hormat Junior kepada Senior.”
Seorang pemuda dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang dan mata tajam bak bilah logam, mendongak dengan malas. Senyum sinisnya terukir begitu alami. Ia Hao Xin, murid langsung Tetua Jiang Xiong.
“Kakak, apakah kau mencium bau itu?” gumamnya, menyipitkan mata ke arah Xu Yin. “Seperti… abu kayu bakar murahan yang dibawa dari perkampungan bawah.”
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.