NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

---Flashback On---

Langkah kaki Christopher terdengar berat dan terburu-buru saat menaiki anak tangga menuju lantai dua. Nafasnya terengah, tapi bukan karena lelah, melainkan karena rasa gelisah yang menggerogoti benaknya sejak pagi tadi. Tangannya telah terulur hendak membuka pintu ruang belajarnya, namun seketika gerakannya terhenti.

Dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup, terdengar dentingan lembut dari suara piano. Melodi yang mengalun pelan itu menyusup masuk ke dalam telinganya, menyentuh bagian hatinya yang selama ini ia kunci rapat. Nada-nada itu begitu familiar… sangat familiar.

Matanya menyipit.

Cahaya matahari sore menembus jendela besar di dalam ruangan kamar itu, menyinari punggung seorang wanita yang sedang duduk di depan piano. Jemarinya bergerak pelan di atas tuts. Christopher berdiri mematung, kemudian dadanya berdegup kencang.

Suaranya nyaris seperti bisikan ketika ia memanggil, “…Lusy?”

Nada piano berhenti mendadak. Jemari yang tadi menari diatas tuts kini membeku. Sosok perempuan itu menoleh dengan perlahan, dan saat wajahnya terlihat sepenuhnya, dunia Christopher runtuh dalam sekejap.

Itu bukan Lusy.

Tetapi itu Mia.

“...Christopher?” Mia menyebut namanya dengan gugup, kemudian ia bangkit dari duduknya secara refleks.

Wajah pria itu berubah dalam hitungan detik. Dari kosong dan bingung menjadi penuh dengan kemarahan. Matanya menajam, dan rahangnya mengeras saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan aura yang mencekam.

“Siapa yang mengizinkanmu menyentuh piano ini?!” bentaknya dengan suara yang begitu tajam, menusuk hingga ke tulang.

Mia mundur selangkah dan tubuhnya refleks menegang. “Aku… aku hanya penasaran… Aku tidak tahu ini—”

“—Itu milik Lusy,” potong Christopher dengan tajam.

Pandangannya jatuh pada piano itu, lalu mengembara sejenak ke masa lalu. Ia teringat bagaimana Lusy duduk di sana, jari-jarinya memainkan lagu-lagu lembut dengan senyum yang selalu mampu menenangkan badai di dalam pikirannya. Namun kini, piano itu disentuh oleh tangan orang lain. Sosok lain yang tidak pernah ia izinkan untuk mengisi ruang itu.

Matanya kemudian melirik ke bawah, ia menyadari ada hal lain yang mengusik pikirannya.

“Dan piano yang ada di ruang tamu… apa kau yang membawanya ke rumah ini?” tanyanya, meski nadanya lebih menyerang daripada bertanya.

Mia mengangguk perlahan, kemudian ia menjawab dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. “Iya… aku hanya—”

“Orang sepertimu…” suara Christopher meledak, membuat Mia terlonjak. “Hanya bisa mencuri! Pekerjaan orang lain, kehidupan orang lain, semuanya kau renggut! Kau menjijikkan!”

Mia terdiam. Napasnya terengah, bukan karena takut, melainkan karena hatinya hancur. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada tamparan apa pun. Bibirnya bergetar, ia mencoba mencari kata-kata untuk menjelaskannya… tapi tidak ada yang terdengar benar di telinganya sendiri.

“Aku tidak mencurinya…” suaranya akhirnya keluar dengan lirih namun penuh luka. “Itu piano milikku… Aku tidak pernah mencuri musik siapa pun…”

Christopher melangkah mendekat dengan sorot mata yang begitu gelap. Tanpa aba-aba, tangannya mencengkeram kerah kemeja Mia, lalu menariknya dengan kasar. Jarak mereka kini begitu dekat, dan dalam tatapan pria itu hanya ada kemarahan yang membara, tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk rasa belas kasih.

“Berani-beraninya kau bilang itu milikmu?!” desisnya penuh kebencian.

Matanya menelusuri pakaian yang dikenakan Mia. Ekspresinya semakin mengeras ketika menyadari detail kemeja yang kini membungkus di tubuh perempuan itu.

“Dan kemeja ini… Dari mana kau mendapatkannya?! Siapa yang mengizinkanmu memakainya?!”

Mia terkejut. Matanya membesar, dan lidahnya nyaris kelu saat mencoba menjawab.

“Aku… Aku menemukannya di dalam lemari kamarku. Aku pikir itu memang disiapkan untukku… Aku tidak tahu jika itu milik orang lain…”

Suasana di ruangan itu mendadak menjadi dingin. Mia menundukkan kepala. Tangannya menggenggam bagian bawah kemeja itu, kemeja yang sejak pagi terasa terlalu besar untuknya. Tapi ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Hanya sebuah kemeja putih dengan bordiran kecil di dada…

Huruf-huruf yang samar namun kini begitu jelas di benaknya.

AL.

Ahn Lusy.

Dadanya bergemuruh. Rasanya seperti baru saja menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia dekati. Sesuatu yang sangat suci bagi seseorang… dan kini tercoreng karena ketidaktahuannya.

Tanpa peringatan, Christopher mendorong tubuh Mia hingga ia terhuyung ke belakang, Mia hampir terjatuh.

“Siapa yang bilang kau boleh menyentuh piano ini?!” bentaknya.

“Kalau kau berani menyentuhnya lagi… Aku tidak akan segan menghancurkan tangan sialanmu itu!”

Tubuh Mia menggigil. Ia melangkah mundur ke belakang dan wajahnya seketika memucat. Napasnya pendek dan tertahan, sementara matanya mulai digenangi oleh air mata.

“Aku… aku tidak tahu ini sangat penting bagimu… Aku hanya ingin bermain sebentar… Aku minta maaf…”

“Diam!!” teriak Christopher dengan tajam dan mematikan.

Kemudian ia tersenyum miring.

“Kau tidak pantas menyentuhnya. Tidak pantas… bahkan untuk mendekati kenangan milik Lusy.”

Air mata Mia jatuh satu per satu, mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia merasa begitu hina di depan pria ini. Seolah-olah seluruh keberadaannya tidak berarti apa-apa.

“Aku tidak tahu… Aku sungguh tidak tahu… Aku minta maaf…” bisiknya dengan suara bergetar.

Christopher memandangnya seolah melihat sesuatu yang menjijikkan. Tak ada rasa empati didalam matanya. Hanya kemarahan dan luka lama yang belum sembuh.

“Singkirkan piano yang kau bawa itu!” perintahnya tegas.

“Dan dengarkan aku baik-baik… Mulai sekarang, kau tidak boleh menyentuh piano lagi! Tidak untuk selama kau berada di rumah ini! Paham?!”

Mia tidak sanggup menjawabnya. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Tubuhnya gemetar hebat dan air mata yang tadinya menahan diri kini tumpah begitu saja.

Padahal ia hanya ingin bermain sebentar.

Namun kini, ia sadar… bahkan satu nada pun ternyata bukan miliknya.

---Flashback Off---

“Mia?”

Sebuah suara memanggilnya pelan dan membuyarkan bayangan pahit itu. Mia tersentak dan menyadari bahwa dirinya kini berdiri di depan sebuah piano.

“Hah?” Ia menoleh, matanya bertemu dengan tatapan khawatir milik Daniel. “Ada masalah?”

Daniel tersenyum tipis, ia menyadari tatapan kosong Mia tadi.

“Aku bilang… apakah kau tidak ingin mencobanya?” ujarnya sambil melirik piano yang ada di hadapan Mia.

Mia menatapnya sebentar, lalu menggeleng pelan.

“Tidak perlu,” jawabnya, suara itu terdengar tenang, tapi penuh luka.

Mia berbalik dengan enggan. Kakinya melangkah menjauh meninggalkan ruangan yang tiba-tiba terasa semakin sesak. Namun, sebelum sempat benar-benar pergi, sebuah tangan meraih pergelangan tangannya.

Refleks, Mia tersentak dan cepat-cepat melepaskan diri.

“Jangan sentuh aku…!” serunya, suara itu mengandung campuran panik dan ketakutan yang nyaris tidak bisa disembunyikan.

Daniel terdiam sejenak, lalu segera mengangkat kedua tangannya.

“Maaf! Aku… aku tidak bermaksud begitu,” katanya dengan gugup. “Aku lupa… bahwa kau tidak suka disentuh orang lain.”

Mia menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan dirinya sendiri. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Tidak apa-apa… Kau tidak perlu meminta maaf.”

Hening sejenak menyelimuti mereka berdua.

“Mia,” ucap Daniel kemudian, suaranya lembut dan penuh harap, “maukah kau datang ke studioku? Tempatnya tidak jauh dari sini.”

Mia menunduk sedikit, lalu menggeleng. “Aku harus pulang sekarang…”

Namun Daniel tidak menyerah. Ia melangkah sedikit lebih dekat dan mencoba menatap mata Mia.

“Beberapa hari yang lalu, aku membeli satu set alat musik baru,” ujarnya. “Ada piano… buatan Robert. Pianis favoritmu, bukan?”

Mia terdiam tetapi matanya membelalak sejenak, namun tatapannya tetap kosong. Udara di sekeliling mereka terasa berat, seakan kenangan lama kembali menyesaki ruangan.

“Apakah kau ingin melihatnya?” tanya Daniel sekali lagi, nada suaranya lebih tenang dantidak memaksa.

Butuh waktu beberapa detik sebelum Mia akhirnya menganggukkan kepalanya pelan.

“…Tentu.”

***

Studio musik Daniel jauh dari kata mewah, namun tempat itu terasa hangat dan nyaman. Aroma kayu tua dan lembaran partitur memenuhi udara. Di ujung ruangan, berdiri sebuah piano klasik berwarna hitam mengilap, dan terlihat anggun dalam diamnya. Cahaya sore menimpa permukaannya, menciptakan kilau yang begitu menenangkan.

Daniel menoleh dengan semangat yang begitu tulus terpancar dari wajahnya. “Apakah kau menyukainya?”

Mia tidak langsung menjawab. Ia menatap piano itu seperti sedang melihat hantu dari masa lalunya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan bibirnya bergerak pelan.

“Iya,” ucapnya singkat.

Daniel tertawa kecil. “Hanya ‘iya’? Tidak ada lagi?” godanya dengan senyum seperti anak kecil yang menunggu pujian.

Mia akhirnya tersenyum, meskipun sangat tipis. “Terima kasih, Daniel… Ini sangat indah.”

Daniel memandangnya lekat-lekat, lalu tanpa ragu ia berkata, “Tapi menurutku… kau jauh lebih cantik daripada piano ini.”

Mia terkejut. Senyumnya seketika menghilang dan digantikan oleh ekspresi canggung yang berusaha ia sembunyikan.

“Oke, itu sudah cukup, Daniel. Kau terlalu berlebihan…”

Namun Daniel hanya tertawa ringan. “Aku serius,” ujarnya. “Ayo cobalah! Aku ingin mendengar lagu yang dulu pernah kau mainkan di kelas musik. Bisakah kau memainkannya untukku?”

Mia menoleh ke arah piano itu. Wajahnya kembali muram. Kemudian ia berjalan mendekatinya dengan perlahan. Tubuhnya akhirnya duduk di depan instrumen itu. Tangannya terangkat, tapi terhenti di udara ia sedikit ragu dan gemetar.

Sunyi. Hanya napasnya sendiri yang terdengar.

“Tidak apa-apa,” ucap Daniel, suaranya lembut dan menenangkan. “Aku hanya ingin mendengarnya darimu. Kau jangan merasa tertekan.”

Mia menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Dengan penuh kehati-hatian, jemarinya akhirnya menyentuh tuts piano.

Dan dalam sekejap, suara lembut mulai mengalun.

Nada-nada itu mengisi udara di dalam ruangan. Begitu hangat, menyayat, dan dalam. Seolah membawa mereka kembali ke masa lalu yang tidak ingin dilupakan, atau mungkin, masa yang sebenarnya belum siap untuk dikenang.

Daniel menatap Mia tanpa berkedip.

Dalam hati, ia berkata:

'Sama seperti dulu… Seorang gadis berkemeja putih, duduk sendiri dan tenggelam dalam alunan musik. Dan kali ini… hatiku kembali diambil olehmu, Mia.'

Nada terakhir dari piano perlahan memudar. Mia menutup matanya sesaat dan membiarkan ketenangan menyentuh hatinya yang telah lama membeku. Lalu, perlahan ia membukanya kembali, sorot matanya lebih lembut dari sebelumnya.

“…Sudah lama sekali aku tidak merasakan sebahagia ini,” bisiknya lirih.

Daniel, yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya melangkah pelan mendekat. Wajahnya menunjukkan kebingungan, ia mencoba memahami apa yang sebenarnya tersembunyi di balik nada-nada yang Mia mainkan barusan.

“Aku tidak mengerti,” ucapnya akhirnya. “Kau sangat suka bermain piano… Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu memainkannya lagi?”

Mia menundukkan kepalanya, matanya menatap tuts piano seolah mencari jawabannya di sana.

“Christopher tidak menyukainya,” katanya. “Aku tidak ingin membuatnya marah.”

Daniel terdiam.

“Apa…?” tanyanya, suaranya meninggi. “Kau berhenti bermain hanya karena dia tidak suka?”

Mia mengangguk pelan.

“Iya… Tidak apa-apa jika aku tidak bermain piano lagi,” lanjutnya, ia mencoba tersenyum namun gagal. “Yang penting… dia tidak marah lagi padaku.”

Daniel mengepalkan tangannya.

“Mia…!” serunya. “Dia tidak bisa seenaknya menghentikanmu dari melakukan hal yang kau cintai! Memangnya dia itu siapa?”

Namun Mia tidak menjawabnya. Pandangannya masih tertuju pada piano yang ada di hadapannya, dan meskipun suaranya tetap tenang, sorot matanya tidak mampu untuk menyembunyikan luka yangsudah terlalu dalam.

“Jika dia tidak menyukainya… Maka aku juga tidak akan menyukainya.”

Sebuah kebohongan yang terdengar seperti kejujuran. Hening kembali mengisi ruangan itu, namun tatapan Mia yang tidak pernah lepas dari piano itu berbicara lebih banyak daripada kata-katanya barusan.

Daniel menatapnya lekat-lekat, kemudian menarik napas panjang. Perlahan, ia menghembuskannya sembari mencoba meredam gejolak dalam dirinya.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Selama kau mau bermain piano… kau bisa datang ke sini kapan saja.”

Mia mengangkat wajahnya dengan ekspresi tak percaya. Matanya membulat, suara yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar.

“B-Benarkah…?”

Daniel mengangguk dengan mantap. “Tentu saja. Studio ini selalu terbuka untukmu.”

Air mata nyaris menggenang di pelupuk mata Mia. Kemudian senyumnya merekah. “Terima kasih… terima kasih banyak, Daniel…”

“Tempat ini juga tidak terlalu jauh dari rumahmu, kan?” Daniel menambahkan, mencoba membuatnya merasa nyaman. “Hanya sekitar sepuluh menit. Jadi, kalau suatu hari kau ingin bermain piano… datang saja ke sini, ya?”

Ia menatap Mia dalam diam, menyembunyikan kata-kata yang hanya sanggup ia simpan di dalam hati.

'Karena aku membeli piano ini untukmu.'

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!