NovelToon NovelToon
In The Shadow Of Goodbye

In The Shadow Of Goodbye

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Cerai / Angst
Popularitas:598
Nilai: 5
Nama Author: Cataleya Chrisantary

Salma dan Rafa terjebak dalam sebuah pernikahan yang bermula dari ide gila Rafa. Keduanya sekarang menikah akan tetapi Salma tidak pernah menginginkan Rafa.
"Kenapa harus gue sih, Fa?" kata Salma penuh kesedihan di pelaminan yang nampak dihiasi bunga-bunga.
Di sisi lain Salma memiliki pacar bernama Narendra yang ia cintai. Satu-satunya yang Salma cintai adalah Rendra. Bahkan saking cintanya dengan Rendra, Salma nekat membawa Rendra ke rumah yang ia dan Rafa tinggali.
"Pernikahan kita cuma pura-pura. Sejak awal kita punya perjanjian kita hidup masing-masing. Jadi, aku bebas bawa siapapun ke sini, ke rumah ini," kata Salma ketika Rafa baru saja pulang bekerja.
"Tapi ini rumah aku, Salma!" jawab Rafa.
Keduanya berencana bercerai setelah pernikahannya satu tahun. Tapi, alasan seperti apa yang akan mereka katakan pada orang tuanya ketika keduanya memilih bercerai nanti.
Ikuti petualangan si keras kepala Salma dan si padang savana Rafa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cataleya Chrisantary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7. Prahara kakak ipar

7

              Salma kaget karena ternyata mama Nanda jatuh ketika ia akan ke kamar mandi. Ketika Salma sampai, mama Nanda baru saja di gendong oleh suaminya, Effendi ke kasur.

“Kamu ini kan saya udah bilang jangan dulu kerja jagain mama gimana sih!” omel mbak Vania ketika Salma baru aja dateng.

              Namun, omelan mbak Vania tidak digubris oleh Salma. Sebaliknya Salma buru-buru menemui mama Nanda yang pelipisnya berdarah. Salma spontan menangis merasa bersalah karena hal ini.

              Salma tengah berjongkok di samping kasur mama Nanda. Tapi tangan Vania tiba-tiba saja menarik kasar bahu Salma hingga perempuan tersebut terduduk di depan Vania yang berdiri tegak.

“Kamu ini kan saya udah bilang titip mama. Titip mama, jagain mama. Saya Cuma minta satu hari lagi aja kamu tuh izin kerja. Gimana sih.”

“Udah Vania, ini bukan salah Salma,” kata mama Nanda.

“Terus salah siapa, ma? Salah aku? mama salahin aku? Udah jelas-jelas aku tuh titip mama ke dia gimana sih. Udah kamu gak usah nangis air mata buaya gak berguna di hadapan saya!”

“Ma-maaf, mbak. Maaf, ma,” kata Salma menangis dengan posisi duduk di bawah sementara Vania berdiri tegak di depannya.

“Maaf, maaf lihat gara-gara kamu pelipis mama berdarah. Baru empat hari kamu jadi menantunya mama tapi kamu udah bikin mama celaka.”

              Salma benar-benar menangis merasa bersalah. Ia memang di titipkan mama Nanda oleh Vania. Dan seharusnya Salma memilih untuk izin sehari dulu saja. Salma sedang menyalahkan dirinya sendiri ia seharusnya diam bukannya mendengarkan ucapan Rafa ataupun mama Nanda.

“Vania, udah kamu jangan gitu. Mama yang nyuruh Salma kerja. Mama kok yang nyuruh Salma untuk ninggalin mama. Udah kamu jangan suka nyalahin orang gini, dong.”

              Namun Vania keras kepala. Ia bertahan dengan prinsipnya. Salma salah, dan Salma bertanggung jawab atas kejadian ini.

              Tapi, dibalik kerasnya Vania. Dibalik Vania yang terlihat menyayangi mama Nanda. Perempuan itu sama sekali tidak berinisitip mengobati luka di pelipis mama Nanda. Salma lah yang mengobati luka tersebut membalutnya dengan plaster.

“Jangan diambil hati yah. Vania itu memang keras tapi aslinya baik kok.”

“Nggak apa-apa, mah,” kata Salma sambil menutup kembali kotak P3K. “Toh mbak Vania memang bener kok ini salah aku. aku harusnya jangan maksain kerja meskipun mama sama Rafa makasa aku buat kerja.

“OH, sayang. Rafa gak salah pilih istri ternyata,” katanya sambil mengelus lengan Salma.

              Saat Salma keluar kamar, Salam kembali dihadapkan dengan Vania. Kali ini tatapannya nampak begitu kesal. Tanganya di silangkan di dada.

“Kan sebelum saya berangkat saya udah pesen ke kamu buat beresin rumah. Terus itu kenapa piring-piring gak kamu cuci? Dasar pemalas.”

“Mbak, itu-“

“Ngelawan lagi kamu. Timbang cuci piring segitu aja kamu gak mau pantesan aja kamu ninggalin mama. Jangan-jangan selama saya di luar kamu gak ngurus mama lagi.”

              Waktu itu Salma lelah luar biasa. Ia tidak ingin banyak berdebat. Ia ingin segera pulang ke rumahnya dan merebahkan punggungnya. Dengan tanpa bicara lagi, Salma memersihkan piring-piring kotor yang sebelumnya tidak ia sentuh sama sekali.

              Salma lalu pergi ke kamar dan pamit untuk pulang dari sini. Karena ia merasa ia tidak mungkin tinggal disini apalagi ada Vania, suaminya dan kedua anak kecilnya. Rumah pasti akan terasa penuh dan sesak.

“Mah-“

“Tadi Rafa nelepon mama,” katanya memotong ucapan Salma. “Katanya ponsel kamu gak aktif,”

“Ya ampun, aku lupa, mah. Hape aku lowbat emang tadi dari pas pulang.”

“Kata Rafa kalau udah sampe rumah telepon balik.”

“Iya, mah. Tapi, mah. Salma mau pamit pulang. Salma gak mungkin ada disini kan saat ini. Lagian sekarang udah ada mbak Vania. Salma juga gaenak, gak akan betah kalau semua orang ada disini.”

“Iya, sayang nggak apa-apa pulang aja, yah. Jangan lupa kabarin mama. Kalau nggak sibuk tengokin mama disini yah.”

              Salma mengagukan kepalanya bersiap untuk pergi. Ia tidak melihat siapapun di ruang tengah. Dan rasanya tidak etis jika Salma main pulang begitu saja tanpa pamit. Saat Salma hendak memanggil Vania, keluar Effendi suaminya.

              Salma berpamitan pada Effendi karena pada saat itu Vania tengah mandi. Suami dari Vania pada dasarnya baik. Namun ketika tadi Salma di marahin habis-habisan Effendi memang tidak melakukan apapun mungkin karena Effendi juga takut pada Vania.

              Punggung Salma terasa sakit, leher Salma pun terasa pegal. Tubuhnya terasa rontok dimana-mana. Hari ini terasa melelahkan. Setelah Salma dikebut menyelesaikan pekerjaannya di kantor lalu ditambah bumbu drama ia dengan kakak iparnya yang begitu menengangkan.

              Salma sampai rumah pukul enam sore. Ia di sambut oleh orang tuanya tapi keadaan Salma waktu itu sudah lelah. Ia tidak begitu menanggapi ocehan mamanya yang terasa memekak telinga.

              Langkah Salma gontai naik ke atas kamarnya lalu Salma mengunci diri. Tadi, yang terdengar dari ocehan ibunya adalah “Rafa tanyain kamu.”

              Salma lalu mengambil charger dan mengisi daya ponselnya. Salma merebahkan tubuhnya. Menutup matanya rapat-rapat sambil menarik nafas dalam. Semuanya berjalan lancar, semua urusannya kecuali urusannya dengan Vania, kakak iparnya.

              Nampaknya Salma sekarang memiliki musuh baru. Bukan, Bukan musuh baru tapi musuh pertama dalam hidupnya. Entah mengapa, Vania seperti tengah menabuh genderang perang dari saat ia di rumah sakit.

              Entah apa yang salah dengan dirinya, padahal ia tidak pernah salah berkata-kata. Salma juga bahkan tidak pernah salah bicara. Namun: “Apa mbak Vania tahu masalah pernikahan aku sama Rafa?” ucap Salma membatin sendiri.

              Salma baru saja keluar dari kamar mandi ketika ia melihat puluhan panggilan tidak terjadab dari Vania. “Ya ampun apalagi?” kata Salma.

              Namun, sedetik kemudian ponselnya kembali bergetar bukan dari Vania tapi panggilan kali ini dari Rafa.

“Hmmm,” jawab Salam seperti nggan menjawab.

“Kamu di marahain mbak Vania?” tanya Rafa begitu saja.

“Tau dari mana?” tanya Salma lalu ia merebahkan dirinya di kasur.

“Tadi mama yang bilang,” ada jeda sebentar sebelum akhirnya Rafa kembali bersuara. “Jangan diambil hati yah. Mbak Vania itu emang keras. Terus kalau mbak Vania nyuruh kamu kesana lagi udah gak usah di dengerin.”

“Maaf,” kata Salma tiba-tiba. “Gara-gara aku mama terluka. Tadi pelipisnya berdarah mungkin kena sudut meja.”

Rafa menatap lautan di hadapannyan. “Bukan salah kamu,” katanya dengan yang begitu lembut. “Mama jatuh bukan salah kamu. Bukan salah kamu karena kamu kerja kok. Mama emang sering jatuh. Waktu kita belum nikah juga mama sering jatuh padahal mbak Vania ada di rumah.”

              Salma memilih untuk diam tidak menjawab. Ia mendadak bingung harus menjawab apa. Hening sekali, yang terdengar ditelinga Rafa saat ini hanya helaan nafas dari Salma saja.

“Kalau gak mau ke rumah Mbak Vania lagi nggak apa-apa. Lagian mama bukan tanggung jawab kamu. Kamu kerja aja nggak apa-apa, urusan mama gak usah di pikirin.”

“Tapi kakak kamu tuh keterlaluan. Emang aku ini pembantu apa di rumahnya pake segala harus cuci piring bekas dia. Aku gak keberatan kalau cuci piring bekas makan aku sama mama tapi kalau bekas dia ya aku gak mau.”

“Iya, maaf. Udah gak usah kesana lagi aja yah. Biarin mama sama mbak Vania aja. Lagian mama kadang mama suka ke rumah mbak Vini juga gantian.”

“Kenapa sih kamu tuh gak sewa caregiver aja buat jagain mama kamu di rumah. Kalau di rumah kamu aku juga bisa nengokin kesana. Sekarang kalau mama ada di rumah kakak kamu aku gak mau kesana lagi.”

“Soalnya mbak Vania sanggup buat rawat mama. Kata mbak Vania dari pada uangnya buat sewa caregiver mendingan buat beli kebutuhan mama aja. Tiap bulan aku kasih kok ke mbak Vania.”

“Terus kamu percaya?” kata Salma.

              Tanpa sadar Salma dan Rafa malam tu mengobrol cukup lama. Mereka tidak mengobrolkan tentang diri mereka tapi mengobrolkan kondisi mama Nanda dan Vania yang nampak ingin menyingkirkan Salma dari sisi Rafa.

Bersambung

Udah gak sadar aja nih ngobrolin mama mertua sama ipar adalah mau wkwkw.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!