Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Di pagi yang mendung, di tengah ruang kantor yang penuh ketikan keyboard dan suara mesin fotokopi, Deon duduk lemas di mejanya.
Kepalanya bersandar ke tangan, mata menerawang kosong ke layar komputer yang belum dia sentuh sejak satu jam lalu.
Kemeja kerjanya agak kusut, dasinya melorot tak beraturan. Seisi kantor tampak bergerak dalam ritme kerja, tapi Deon seperti beku di tengah aliran waktu.
“Woy, lo kenapa, Gra?” Sebuah suara memecah lamunannya.
Deon mendongak pelan. Di sampingnya, duduk seorang pria berkemeja rapi, lencana nama “Raka” tergantung di dadanya. Karyawan tetap senior, dikenal galak tapi punya sisi kepo yang tak tertandingi.
“Lemes amat lo pagi-pagi. Semalem ngelawan zombie atau abis ngutang lagi?” tanya Raka sambil nyengir.
Deon menghela napas panjang. “Kalau gue bilang, tadi malam gue ditembak orang misterius setelah ditabrak truk, terus tiba-tiba gue hidup lagi sepuluh tahun yang lalu di badan orang lain lo percaya gak?”
Raka berkedip. "Lo gak tidur semalam, ya?”
“Gue tidur. Di kasur hotel bintang lima. Tapi bangun-bangun dompet gue kering, handphone gue kentang, dan ada orang nagih utang ‘uang kucing’.”
“Lo gila, Gra.”
Deon menenggelamkan wajahnya ke meja. “Mungkin emang iya.”
Raka tertawa pelan, lalu duduk lebih dekat. “Serius, lo kenapa sih? Biasanya anak baru tuh semangat 45. Lo malah kayak habis dikejar tuyul.”
Deon menoleh dengan tatapan malas. “Karena gue bukan anak baru biasa. Gue dititipin sama waktu buat ngungkap skandal besar yang selama ini tersimpan rapi.”
Raka diam sejenak, lalu mengangguk-angguk dramatis. “Wah… wah… ini berat. Gue kayaknya harus bikinin lo kopi dulu deh.”
Dia berdiri dan melangkah ke pantry. Tapi sebelum pergi jauh, dia berbalik dan berkata, “Eh tapi serius, Gra. Apapun masalah lo, hati-hati di sini. Ini kantor, bukan sinetron. Banyak yang senyum depan lo, tapi pas lo lengah, lo bisa ditusuk.”
Deon mematung. Kalimat itu terdengar enteng, tapi mengandung peringatan yang dalam.
Dan saat Raka menghilang di balik dinding pantry, Deon menggigit bibirnya. ‘Lo gak tau, ini udah kayak sinetron. Bahkan sinetron pun kalah dramanya.’
Di layar monitor, file yang tadi dia buka diam-diam masih terbuka setengah. Nama “Bastian Ramelan” menyala terang di judul dokumen. Tapi tiba-tiba…
Klik.
File itu tertutup otomatis. Tulisan di layar muncul: “Akses tidak diizinkan. Pelanggaran sistem terdeteksi.”
Deon menegang. "Oke, itu bukan kebetulan."
Dan untuk pertama kalinya sejak bangun di masa lalu, dia sadar, ini bukan sekadar jatuh ke masa lalu. Ini adalah permainan yang jauh lebih besar… dan nyawanya bisa jadi taruhannya.
Raka menggeleng-geleng pelan, lalu menyeruput kopi sachet-nya yang entah sejak kapan muncul di tangan. “Gue gak tau lo ngelawak atau lagi kena kerasukan karakter drama Korea. Tapi yang jelas lo beneran butuh kopi.”
Deon hanya mendengus malas, matanya kembali melirik layar monitor yang tadi baru aja nutup file penting secara otomatis.
“Eh tapi Gra,” Raka tiba-tiba bicara lagi, kali ini nadanya lebih serius, “lo bilang tadi malam lo nyari file ya? File apa?”
Deon mendongak perlahan. “Rahasia.”
“Lo bilang sendiri barusan,” Raka menyeringai.
Deon mendecak kesal. “Lo nanya terus, gue jawab, lo bilang gue gila. Sekarang gue rahasiain, lo kepo. Mau lo apa sih?”
“Gue? Gue cuma pengen lo gak kena masalah. Anak magang baru, hari pertama udah buka-buka file sensitif? Lo kira ini main The Sims?”
Deon diam. Tapi kalimat Raka itu cukup menohok.
“Lo siapa sebenernya, Gra?” tanya Raka tajam, kali ini serius.
Deon nyaris jawab, tapi sebelum sempat bicara, suara sepatu hak tinggi terdengar memecah kesunyian lantai kerja.
Tap. Tap. Tap.
Seseorang berjalan mendekat. Rambut panjang, blazer hitam, mata tajam Gwen.
“Agra Gunawan,” panggil Gwen, berdiri tegak di sisi meja Deon.
Raka melirik penasaran.
Deon menatap Gwen dengan campuran lelah dan curiga. “Ada apa lagi?”
“Pak Hermawan manggil lo ke ruang meeting lantai 15. Sekarang!”
Deon mengerutkan kening. “Kenapa?”
Gwen menaikkan satu alis. “Gue anak magang, bukan penerawang.”
Setelah itu Gwen berbalik, berjalan cepat meninggalkan mereka. Tapi sebelum benar-benar jauh, Gwen sempat menoleh dan berkata pelan, cukup agar hanya Deon yang dengar.
“Next time lo utak-atik file merah, jangan pas server backup lagi aktif.”
Mata Deon membelalak. Sementara Raka hanya memandangnya dengan bingung.
“Gra, lo kenapa pucat gitu?”
Deon berdiri perlahan, merapikan dasinya seadanya.
“Gue mau ketemu Pak Hermawan dulu. Kalau gue gak balik dalam satu jam… bilang ke dunia, Agra Gunawan pernah ada.”
Raka ternganga. “Lah?!”
Deon sudah melangkah cepat ke arah lift. Jantungnya berdetak kencang. Bukan karena takut, tapi karena instingnya bilang apa pun yang menunggunya di lantai 15 bisa jadi awal dari kebenaran besar yang selama ini dikubur rapat-rapat.
Lift berbunyi ting saat pintu terbuka di lantai 15. Deon melangkah keluar dengan langkah hati-hati, jantungnya berdetak cepat. Lantai ini terlalu sepi untuk ukuran jam kerja. Lampu menyala temaram, dan suara AC sentral menggema pelan.
Ruang meeting di ujung lorong. Pintu tertutup rapat. Saat ia hendak mengetuk, pintu itu terbuka begitu saja, seperti sudah ada yang menunggunya.
“Masuk,” suara berat terdengar dari dalam ruangan.
Dengan tenang yang dipaksakan, Deon masuk. Tiga orang sudah duduk di dalam. Pak Hermawan, direktur HRD yang ekspresinya selalu setajam silet, seorang wanita asing berjas abu-abu, dan pria berbadan tegap dengan wajah kaku seperti patung.
“Silakan duduk, Agra,” kata Pak Hermawan tanpa senyum.
Deon duduk, mencoba terlihat santai walau tangannya dingin.
Wanita berjas abu-abu membuka map, lalu menyodorkan selembar cetakan log akses ke atas meja. Nama Agra Gunawan tercetak jelas, diikuti daftar file yang semalam sempat ia buka.
“Kamu tau kenapa kamu ada di sini, kan?” tanya wanita itu, tajam.
Deon mengangkat alis sedikit. “Saya jujur aja, Bu. Saya gak sepenuhnya ngerti. Kalau ini tentang file itu, saya bener-bener gak sengaja. Saya kira itu file untuk pelatihan anak magang. Judulnya juga gak jelas.”
Pria tegap itu menyilangkan tangan. “Kamu kira file yang dikunci, diberi label sistem, itu buat pelatihan?”
Deon mengangguk pelan, wajah polosnya meyakinkan. “Saya gak ada niat ngapa-ngapain kok. Saya klik karena penasaran, terus tiba-tiba langsung ke-log out. Saya juga gak ngerti kenapa bisa kayak gitu. Saya panik malah.”
Pak Hermawan memperhatikan gerak-geriknya dengan tajam, tapi belum berkata apapun. Suasana ruangan jadi hening sesaat.
Deon melanjutkan cepat, “Saya sadar sekarang itu kesalahan. Dan saya minta maaf. Saya cuma anak magang, Pak, Bu. Gak mungkin saya ngerti cara akses file sensitif kayak gitu secara sengaja. Saya bahkan baru dua hari kerja.”
Mereka bertukar pandang. Wanita itu mencatat sesuatu di mapnya.
“Kami akan selidiki lebih lanjut,” ujarnya akhirnya. “Untuk sekarang, kamu boleh kembali bekerja. Tapi jangan ulangi ini lagi.”
Deon mengangguk cepat. “Siap, Bu. Terima kasih banyak atas pengertiannya.”
Saat dia keluar dari ruangan itu, napasnya hampir habis. Tapi dalam hati, ia justru makin yakin file itu memang bukan sembarang file. Dan jika mereka sampai mempermasalahkan ini, berarti yang dia sentuh semalam benar-benar berbahaya.
Tapi satu hal jelas, Deon harus lebih hati-hati. Karena langkah selanjutnya bisa saja mengungkap rahasia atau malah mengantarnya ke liang kubur.
__
Setelah kejadian di ruang meeting itu, Deon tahu satu hal pasti dia gak bisa sembarangan lagi. Tapi rasa penasarannya bukan tipe yang gampang dikubur. Justru makin ditekan, makin menggeliat. Kayak api kecil yang diam-diam nyamber bensin.
Selama dua hari penuh, dia pura-pura jadi anak magang polos. Ngopi sambil senyum-senyum ke OB, bantuin ngerapiin berkas, bahkan rela disuruh fotokopi sambil bilang “siap kak” ke senior yang nyebelin. Tapi di balik semua itu, mata dan telinganya waspada terus.
Dan saat malam menjelang, dia kembali beraksi.
Dia masuk ke ruangan IT yang terkunci dengan menyelinap saat petugas bersih-bersih buka pintu. Di sana dia berhasil nge-hack terminal cadangan dengan sangat hati-hati, dan cuma buat beberapa menit. Dan boom. Nama itu muncul lagi.
Bastian Ramelan.
Nama itu terhubung ke berkas dengan akses terbatas, bahkan ditandai sebagai Legacy File. Gak banyak yang bisa dia buka, tapi satu hal bikin dia tertegun file itu berisi daftar nama karyawan eksklusif di bawah satu divisi yang tidak pernah disebutkan di struktur organisasi resmi. Termasuk satu nama asing, yang fotonya membuat Deon melotot.
“INI ORANG YANG GUE TABRAK PAS DI LOBI HARI SENIN?!”
Dan seperti dipanggil oleh semesta, takdir emang suka bercanda. Deon yang sedang bengong dan nyaris terjatuh dari kursi, mendongak dan di lorong kaca luar ruang IT, dia melihat sosok itu berjalan santai.
Rapi. Keren. Dengan setelan abu muda dan sepatu hitam mengilap.
“Bastian Ramelan!” gumam Deon pelan, antara shock dan grogi.
Tanpa mikir panjang, dia buru-buru keluar dan menghampiri. Senyumnya lebiiih lebar dari biasanya.
“Permisi, Pak! Maaf… eh, Bapak Bastian, ya? Saya Agra Gunawan, anak magang di tim Pak Faisal. Seneng banget bisa ketemu langsung!”
Bastian berhenti. Menatap Deon sebentar, lalu tersenyum tipis. “Oh? Ya. Saya Bastian. Ada yang bisa saya bantu?”
“Gak, gak ada Pak! Maksud saya, eh… saya cuma mau bilang, saya kagum banget sama Bapak. Saya sempat baca beberapa artikel tentang keberhasilan Bapak di divisi RnD tahun 2012, dan itu keren banget. Bapak inspiratif!”
Deon jelas ngarang barusan. Artikel itu bahkan gak pernah dia baca.
Bastian tersenyum. “Kamu anak magang paling niat yang saya temui. Terima kasih.”
“Ah, itu belum apa-apa Pak! Saya ini penggemar inovasi. Dulu juga saya sering ikut lomba ide startup kecil-kecilan. Hehehe…”
Dan ya, itu juga ngarang.
“Kalau ada waktu, saya senang berbincang,” kata Bastian sambil berjalan pergi. “Tapi jangan sering-sering buka-buka berkas yang tidak seharusnya, ya.”
Deon membeku. Senyumnya kaku.
Anjir! Dia tahu.