Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petaka di Manguntirto
Shantand semakin bingung karena tak ada satupun yang bisa memberikan petunjuk..
“Tapi kenapa semua orang mendadak pulang? Dan kenapa Mbok mendadak gugup saat saya bilang saya dari Manguntirto?”
Mbok Sarmi tampak bingung. Ia melihat ke arah pintu, lalu kembali ke Shantand. Wajahnya tegang. Tapi… ia tetap memilih diam.
Tak ada satu pun kata keluar yang bisa menjelaskan.
Yang ada hanya suara perut Shantand yang keroncongan tersisa, dan detak jantungnya yang mulai tak karuan.
Shantand meletakkan sendoknya perlahan.
“Mbok… tolong. Kalau ada sesuatu yang terjadi di desa saya, saya harus tahu.”
Namun Mbok Sarmi justru menunduk. Bahkan ia mundur satu langkah.
“Maaf, Den… saya tidak tahu apa-apa…” bisiknya lirih, seakan takut didengar oleh sesuatu yang mengintai dari balik warung.
Kini, semuanya semakin jelas. Bukan karena tak tahu—tapi karena takut.
Shantand mencium bahaya. Sesuatu sedang terjadi di kampung halamannya.
Dan semua orang di sini terlalu takut untuk sekadar menyebutkannya. Hatinya menjadi Gelisah…
Shantand memandang ke luar warung, matanya menyapu cepat jejak para pelanggan yang tadi seperti menghindar darinya. Kepalanya mulai penuh tanya.
Ia menoleh ke Bhaskara yang berada di labu Tuak, “Guru,” tanya Shantand pelan namun serius, “apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa semua orang seperti ketakutan begitu mendengar nama Desa Manguntirto?”
“Aku belum tahu pasti, muridku,” gumamnya, suara serak dan dalam, “tapi firasatku mengatakan... sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sana. Jika dibiarkan, bisa menjadi bahaya besar—bukan hanya untuk keluargamu, tapi mungkin juga untuk desa itu sendiri.”
Shantand tak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu buru-buru meneguk sisa air minum yang tinggal separuh. Ia bangkit berdiri dengan sigap, membayar beberapa kopong di tangan Mbok Sarmi yang masih terpaku di sudut warung.
“Maaf Mbok, saya harus segera pergi.”
Tak ada jawaban. Hanya mata yang menyimpan kekhawatiran dan ketakutan.
Dettak-dettak-dettak!
Langkah kaki kuda Shantand menjauh cepat dari warung yang mulai hening.
Dan dalam waktu singkat, seekor kuda hitam yang telah ia titipkan di penambatan jalan desa dipacu secepat angin. Debu mengepul ke langit, meninggalkan jejak perjalanan yang kini tak lagi ringan.
*****
Langit mulai mengabu. Matahari condong ke barat, seolah ikut gelisah. Di antara rimbunnya pepohonan dan jalanan tanah berbatu menuju Manguntirto, langkah kuda Shantand mengentak cepat.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat debu mengepul tak wajar. Dan saat jaraknya makin dekat, terlihat dua orang berkuda berpakaian asing. Kulit mereka pucat, tinggi besar, rambut keemasan tergerai—jelas bukan orang Nusantara. Mereka tertawa keras sambil menyeret seseorang di belakang mereka. Seutas tali tambang mengikat tubuh lemah itu, diseret menyentuh tanah dengan kecepatan tak berperikemanusiaan.
Tawa mereka menggema seperti cambuk yang menghina. Sementara tubuh kurus yang diseret jelas penduduk lokal—lelaki tua, bajunya compang-camping, dengan wajah lebam dan luka-luka di sekujur tubuhnya.
Shantand menggertakkan giginya. Tangan kirinya meremas kendali kuda, tangan kanan memegang erat labu tuak di pinggangnya. Amarah mendidih, darahnya bergetar. Tapi... tidak. Ia menarik napas panjang.
“Tenang, Shantand... Fokus pada keluargamu... Jangan terbakar sebelum waktunya.”
Dari dalam labu, terdengar suara Bhaskara berbisik tenang.
“Aku tahu kau marah. Tapi kau benar. Belum saatnya. Kalau kau menyerang sekarang, dua hal akan terjadi: kau akan terlambat sampai di Manguntirto... dan musuh akan tahu siapa dirimu.”
Shantand menunduk. Sorot matanya berubah tajam, dingin, namun penuh tekad.
Ia memacu kudanya menepi, membiarkan para bule itu lewat. Salah satu dari mereka sempat melirik Shantand dan tertawa sambil menunjuk ke arah tawanan.
“You want him? Hahaha! Too late, boy!”
Shantand hanya menatap. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya, tapi lidahnya menggigit bibir—menahan murka.
Dan ketika dua sosok asing itu lenyap dari pandangan, Shantand menoleh ke belakang sejenak, lalu membisikkan lirih:
“ Tunggu saja, sebentar lagi kalian akan membayar semuanya!! “
Shantand membedal kudanya tanpa ragu, angin menerpa wajahnya, namun yang terasa justru bara. Bara dendam dan kemarahan yang mendidih di dalam dada. Tangannya yang menggenggam tongkat bambu seperti mengisyaratkan: tiada ampun bagi mereka yang berani mengusik tanah kelahiranku.
Sejauh mata memandang, bayangan-bayangan penjajah berkuda masih tampak di berbagai sudut desa. Mereka tertawa-tawa, membakar, menginjak-injak harga diri orang kampung yang tak bersalah.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, seorang pria bule bertubuh besar muncul di atas kuda hitam yang mengkilap. Mata bule itu merah, pedang besarnya terangkat tinggi.
Begitu melihat Shantand, ia tertawa meremehkan, lalu berteriak dalam bahasa asing dan campuran lokal yang pelo, penuh kesombongan:
“haha Kamu olang cali mati , little savage!”
Namun Shantand tak menyahut. Ia hanya berdiri perlahan di atas punggung kudanya. Angin mengibas rambutnya, debu menari di sekitar kaki kudanya.
Dan ketika mereka sudah nyaris beradu...
“Hiyaaaat!!”
Shantand melompat dari kudanya bagaikan kilat menyambar. Tubuhnya melayang dan langsung menubruk pria besar itu dan mencengkeram di bagian kerah bajunya.
"Bruaakkkk!!"
Tubuh keduanya jatuh namun Shantand berhasil memutar tubuhnya sehingga tubuh lawannya yang berada di bawah dan kepala si bule menghantam tanah keras. Debu mengepul tinggi. Si bule belum sempat bangkit , pandangannya berkunang, namun pukulan Shantand sudah menghantam wajahnya—tepat di batang hidung!
“Krekkk!”
“Ughhkk!!”
Suara tulang remuk mengerikan terdengar jelas. Hidung si bule melesak masuk ke wajahnya sendiri, darah menyembur, dan ia langsung berteriak kesakitan dengan mata membelalak.
Namun Shantand belum selesai!
Ia menarik tali kudanya, dan dalam sekejap—
"Ngekk!!"
Krak!!
Kaki belakang sang kuda menghentak keras ke kaki si bule yang besar. Bunyi seperti kayu basah patah mengiris telinga. Urat, tulang, dan sendi hancur seketika.
“Kkrrk! Arrggh—!aarggghh ” teriakannya melolong ..
Satu hentakan brutal yang membuat kedua kakinya tak akan pernah bisa digunakan lagi.
Shantand berdiri di atas tanah kelahirannya, napasnya memburu, matanya menatap jauh ke depan… dan di kejauhan, terlihatlah rumahnya.
Atapnya telah roboh, dindingnya hangus, api menyala di setiap sudutnya.
Hatinya terbakar, tersayat, dan seolah Dunia sedang kiamat... air mata di sudut matanya sedikit menetes... dia terlambat.. dialah yang menyebabkan ini semua.. seandainya dia langsung pulang...
pandangannya kosong, apa salah penduduk Desa ini? hingga menjadikan tanah kelahirannya menjadi seperti neraka dan tempat pembantaian??!
Di depannya masih menyala di reruntuhan,
Itu rumah tempat ia tumbuh. Tempat ia mengenal cinta dari seorang ibu. Tempat ayahnya mengajar cara memasang jala dan menangkap ikan. Tempat penuh kenangan… kini jadi arang!
“EMAAAAKK!!! BAAAPAAKK!!” teriaknya parau.
Darahnya benar-benar mendidih. Ia tak lagi berpikir. Tak lagi merasa letih.
Yang ada hanyalah amukan api dalam dirinya.
Dan Dari dalam labu tuak di pinggangnya,
Bhaskara bersuara pelan, penuh ketegangan,
“Jaga hatimu, Shantand… amarahmu bisa jadi kekuatan, atau bumerang yang akan menghancurkanmu sendiri…”
Tapi Shantand tak menjawab. Ia sudah mulai bergerak lagi, tongkat bambunya berkilat, siap menyapu habis para penjajah yang masih tersisa.
Hari ini... di tanah kelahirannya sendiri…
sang pendekar biasa telah bangkit menjadi mimpi buruk para penindas.
Di saat seperti itu beberapa pasukan Bule yang melihat Shantand langsung bergerak dengan senjata di tangan! muka mereka penuh kemarahan dan hawa membunuh terpancar dari wajah pucat mereka!!
Kapten Pasukan langsung memusatkan pengepungan ke arah Shantand, pasukan panah, dan pasukan jaring berduri siap meringkus tubuh Shantand yang diam terpaku menatap bekas Rumahnya.
Shantand kini dalam keadaan berbahaya...