Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 22.
...« Ada yang naksir Adek »...
Indra pendengaran Arasya menangkap suara berisik yang sangat mengganggu ketenangan tidur singkatnya. Mengingat bahwa ada sebuah acara di rumah sang Mami, Arasya perlahan mengumpulkan nyawanya.
“Mmmhhh...” Erang Arasya sembari meregangkan tubuhnya. Bahkan sampai tidak menyadari bahwa dirinya sedang dalam pelukan seseorang.
“Eh, Mas?” gumam Arasya setelah menyadari pemandangan di depannya adalah sebuah dada bidang yang merupakan milik Gavan. Pun lamat-lamat Arasya merasakan pinggangnya direngkuh erat oleh lelaki tersebut.
Hidung Arasya yang kembali menghirup aroma familiar dan nyaman itu membuat kantuknya datang menghampiri lagi. Tetapi suara bising dari arah luar mengalahkan rasa kantuknya. Alhasil, Arasya hanya melamun sambil menatap wajah Gavan yang tertidur pulas.
Lingkaran hitam terlihat jelas di bawah mata Gavan. Arasya bertanya-tanya sendiri, apakah Gavan tidak tidur nyenyak saat bekerja di luar kota seminggu kemarin?
Lalu pindah sedikit ke bawah, bulu-bulu yang tumbuh disekitar dagu dan bawah hidung Gavan membuat tangan Arasya gatal ingin menyentuhnya. “Hihihihihi...” Arasya terkikik geli merasakannya. Ia baru pertama kali melihat Gavan berkumis seperti itu. Apakah Gavan terlalu lelah sehingga tidak membersihkan bulu-bulu di wajahnya?
“Udah pada dateng, ya?” gumaman mendadak dari Gavan yang masih memejamkan mata, membuat Arasya tersentak kaget.
Buru-buru Arasya menyimpan tangannya ke posisi semula seakan belum bergerak sejak tadi. “Mas udah bangun?” bisiknya bertanya.
Gavan mendengus, tetapi tidak bergerak apalagi membuka mata. “Gimana gak bangun, ya? Tadi Mas denger ada yang ketawa cekikikan, terus pegang-pegang muka Mas lagi.”
Arasya kembali terkikik geli. “Hehehe, maaf, Mas. Aku mau ke luar deh. Mas lepasin.” Ia berniat kabur. Takut.
Hanya saja, niatnya sudah terbaca oleh Gavan. Si yang lebih tua justru semakin mengeratkan pelukannya. “Jawab pertanyaan Mas dulu.”
“Eh? Apa?” tanya Arasya kebingungan.
Gavan membuka matanya perlahan, lalu mereka saling tatap beberapa detik sebelum Gavan mengajukan pertanyaan. “Besok ikut Mas mau?”
Mendengar pertanyaan simpel itu, Arasya merasa dejavu. Ingatannya kembali pada tadi pagi, di depan rumah, di mana Gavan juga bertanya tentang hal itu.
Arasya terdiam sejenak, memikirkan untuk apa ia harus ikut, sedangkan di rumah masih ada Mami, Devan, dan Senaza. “Aku gak sendirian kok di rumah. Kenapa harus ikut?”
Mereka saling berpandangan beberapa saat, lagi. Gavan tiba-tiba tidak bisa berkata apapun. Benar juga. Kenapa ia ingin Arasya ikut? Apa alasan dibaliknya?
“Temenin Mas?” jawaban ragu itu keluar dari mulut Gavan secara spontan. Banyak hening terjadi antara keduanya, mereka sama-sama bingung dengan situasi masing-masing.
“Terus kalau Mas kerja, aku di mana?”
“Ikut Mas kerja?”
“Berapa hari?”
“Sekitar semingguan. Tapi kalau kerjaan Mas udah beres semua, bisa pulang lebih awal. Mau, ya? Minggu lalu harusnya Mas juga ajak kamu. Keinget kaki kamu kram jadi Mas gak ajak, buru-buru berangkat dan gak pamit sama kamu. Di sana makin sibuk, gak ada waktu buat kabarin kamu. Ikut ya, Dek?” jelas Gavan sembari merapikan anak rambut Arasya.
Penjelasan itu sebenarnya tidak terlalu Arasya inginkan. Tetapi setelah mendengarnya, ada perasaan lega yang seakan membuka gembok di hati Arasya.
“Emang boleh sama Mami?” Arasya seperti sedang mengulur waktu agar ia bisa memikirkannya. Sebenarnya Arasya mau-mau saja ikut Gavan, apalagi ke luar kota. Hanya saja entah kenapa, ada sesuatu yang menahannya.
“Boleh. Mas udah bilang dari kemarin.” Jawaban dari Gavan membungkam mulut Arasya.
“Adek gak mau, ya?” tanya Gavan. Raut wajah Arasya menunjukkan keengganan meskipun tidak terlalu nampak. “Ya udah. Mas gak maksa kok. Mas cuma ajak kamu aja, siapa tahu bosen di rumah.” Gavan berusaha menghibur Arasya yang merasa tidak enak hati.
“Aku pikir-pikir dulu deh. Mas gak boleh marah ya nanti kalau jawabanku gak sesuai sama kemauan Mas.” Peringat Arasya yang diangguki Gavan sambil tertawa lirih.
“Siap, Adek.”
...•••...
Acara arisan sedang terlaksana, Arasya sudah menghamburkan diri bersama anak-anak kecil. Tidak berniat berkumpul bersama perempuan sebayanya, yang merupakan sepupu Gavan dan Devan.
“Kak Ara itu pacarnya Mas Gavan, ‘kan?” celetukan bocil laki-laki membuat Arasya terkejut.
“Hah? Enggak. Aku adiknya, sama kayak kalian.” Jawab Arasya sambil menggelengkan kepalanya.
“Tuhkan bener apa yang aku bilang. Kamu sih ngeyel.” Bocil lainnya menimpali. Seakan sebelum kedatangan Arasya, mereka sedang berdebat tentang hal itu.
“Tapi tuh kata Mbak gitu, tahu. Aku ya percaya Mbak aku. Orang dia tanya langsung sama Mami kok.”
Bak disambar petir di siang bolong ini, Arasya membeku di tempat. Dua bocil yang lebih tua daripada bocil lainnya masih berdebat di depan si empunya.
Apakah benar Mami menjawab sebuah pertanyaan yang di ajukan si Mbak itu dengan ‘Ya’? Kenapa? Apa alasannya? Bukankah Gavan dan Arasya adalah kakak-beradik? Kenapa tiba-tiba menjadi sepasang kekasih di mata orang lain?
Setelah beberapa menit hanya bengong, akhirnya Arasya melerai perdebatan itu. “Hoax itu mah. ‘Kan kalian udah tanya aku, dan aku jawab bukan. Mas Gavan belum ada pacar tahu. Mending kalian kenalin Mas Gavan ke cewek cantik.”
“Tapi aku juga mau punya cewek cantik.” Balas bocil yang pertama.
“Katanya kamu suka sama Kak Ara?”
“Eh, sssttt diem. Malu aku kalau Kak Ara sampai denger!”
Arasya yang kembali menjadi topik utama, menggaruk lehernya yang tidak gatal. Ia disukai bocah?
“Iya, Kak Ara! Yoka suka sama Kak Ara!”
“Cie! Yoka suka Kak Ara!”
Yoka, si bocil pertama tadi menyembunyikan dirinya dibalik sofa. Menahan salah tingkahnya saat Arasya justru tertawa terbahak-bahak mendengar Yoka dibully oleh bocil lainnya.
“Siapa yang suka Dek Ara?”
Suara dingin dan serak itu membuat Arasya tersentak kaget. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati Gavan berdiri di ujung sofa.
“Weh, ada Mas Gavan!” Yoka yang bersembunyi langsung bergerak memasang badan di depan Arasya.
“Aku. Yang suka sama Kak Ara itu aku. Kenapa? Gak suka?” tantang Yoka, yang semakin memperlihatkan sifat bokemnya, alias bocah kematian.
Gavan menghendikkan bahunya, tanda tidak peduli. Pria tersebut justru melangkahkan kakinya melewati Yoka dan mendudukkan diri di samping Arasya.
“Udah pada mulai makan, Dek. Mau Mas suapin?”
Arasya menatap Gavan sambil menggelengkan kepala.
“Kak Ara mau aku suapin aja? Aku bisa kok.” Yoka tiba-tiba berdiri di depan Arasya.
“Masih kenyang. Kamu aja tuh sana makan, Mama kamu nanti kecarian.” Tolak Arasya. “Tuh-tuh, kamu dipanggil.” Lanjutnya setelah mendengar teriakan seorang perempuan memanggil nama Yoka.
“Woy! Bocil-bocil diharapkan menemui orang tua masing-masing! Cepet! Cepet!” itu suara Devan memberi perintah.
Yang jelas selalu terdengar mengesalkan di telinga Arasya. “Aneh deh Mas Devan tuh. Gak bocil friendly banget.” Cibirnya yang mengundang tawa si sulung.
...« Terima kasih sudah membaca »...