Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan Terakhir di Persimpangan Takdir
"Terkadang, di persimpangan yang membingungkan, kita harus memilih. Bukan karena kita yakin, tapi karena kita percaya bahwa Allah akan membimbing langkah selanjutnya."
---
Saat Hati Menemukan Jawaban
Hari-hari setelah percakapan batin panjang dengan dirinya sendiri menjadi waktu refleksi bagi Arpa. Ia merasa seolah sedang berdiri di sebuah persimpangan besar — di satu sisi, ada keberanian untuk melangkah maju bersama Fathir; di sisi lain, ada ketakutan yang selama ini mengikatnya.
Pagi itu, Arpa duduk di balkon kamarnya, memandangi langit biru yang cerah. Udara segar menerpa wajahnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia mengambil jurnal pribadinya dan mulai menulis.
"Aku akhirnya sadar, rasa takutku bukan tentang Fathir atau masa depan. Tapi tentang diriku sendiri — takut salah memilih, takut menyesal, dan takut terluka . Tapi hidup adalah tentang keberanian membuat pilihan, bahkan saat kita nggak sepenuhnya yakin."
Di sela tulisannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Fathir.
Fathir: “Arpa, bisakah kita bertemu sore ini? Ada hal yang ingin aku bicarakan. Tapi kalau kamu belum siap, aku akan menunggu.”
Hati Arpa berdebar kencang. Ia tahu, ini adalah momen yang menentukan. Ia menatap layar ponsel beberapa detik sebelum akhirnya membalas.
Arpa: “Baik, Fath. Kita bertemu sore ini di taman kota.”
---
Pertemuan di Bawah Langit Senja
Sore itu, Arpa tiba lebih dulu di taman kota — tempat yang menjadi saksi perjalanan mereka selama ini. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma dedaunan yang jatuh. Ia duduk di bangku taman yang biasa mereka tempati, menunggu Fathir dengan hati yang campur aduk.
Tak lama kemudian, Fathir datang dengan langkah tenang. Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan sederhana. Wajahnya tampak gugup, tapi ada ketenangan yang terpancar.
“Assalamualaikum,” sapa Fathir dengan senyum tipis.
“Waalaikumsalam,” jawab Arpa, membalas senyuman itu.
Keduanya terdiam beberapa saat. Angin sore menjadi pengisi keheningan yang menggantung di antara mereka.
Fathir akhirnya memecah keheningan. “Aku tahu, semua ini nggak mudah. Aku juga sempat ragu apakah harus melangkah sejauh ini atau nggak. Tapi aku sadar, aku nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku butuh kejelasan, bukan cuma buatku, tapi buat kita berdua.”
Arpa mengangguk pelan. “Aku juga ngerasain hal yang sama, Fath. Aku sempat bingung, takut, bahkan pengen menyerah. Tapi aku sadar, aku harus jujur sama perasaanku sendiri.”
Fathir menarik napas dalam-dalam. “Arpa, aku nggak akan banyak basa-basi. Aku di sini buat bilang satu hal — aku ingin memperjuangkan ini. Aku tahu kita belum sepenuhnya siap, tapi aku percaya, kalau kita niatkan ini karena Allah, pasti ada jalan.”
Air mata mulai menggenang di mata Arpa. Ia menunduk, berusaha menenangkan diri.
“Aku juga udah istikharah, Fath,” ucapnya pelan. “Aku udah minta petunjuk ke Allah tentang ini. Dan… aku mulai merasakan ketenangan dalam hati.”
Fathir menatap Arpa penuh harap. “Jadi… apa jawaban hatimu?”
Arpa mengangkat wajahnya, menatap Fathir dalam-dalam. “Aku mau memperjuangkan ini bersama kamu. Aku nggak mau lagi hidup dalam ketidakpastian. Tapi aku juga ingin kita menjaga semuanya dalam batasan yang Allah ridhoi.”
Fathir tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. “MasyaAllah… Arpa, makasih. Aku janji, aku akan menjaga semuanya sebaik mungkin. Kita akan lewati ini bareng-bareng.”
Mereka berdua tersenyum, dan untuk pertama kalinya, ada kejelasan dalam hubungan mereka. Tak ada lagi keraguan, hanya keyakinan bahwa mereka siap melangkah bersama.
---
Di Bawah Langit Senja
Setelah percakapan penuh makna di taman, Arpa dan Fathir memutuskan untuk berjalan santai menyusuri taman kota. Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit dengan gradasi jingga yang menenangkan. Semburat cahaya matahari yang mulai meredup memantulkan siluet mereka berdua di jalan setapak.
Suasana hening, namun terasa hangat. Hati mereka tenang, seolah alam pun ikut menjadi saksi atas perjalanan panjang yang mereka lalui.
Arpa menatap langit senja yang indah. “Fath, kamu sadar nggak? Setiap kali kita ketemu di sini, selalu ada momen yang istimewa.”
Fathir tersenyum, menoleh ke arahnya. “Iya, aku juga ngerasa gitu. Mungkin karena di tempat ini, kita selalu jujur sama diri sendiri.”
Mereka berhenti di sebuah bukit kecil di ujung taman, dari mana mereka bisa melihat matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala. Arpa duduk di bangku kayu yang menghadap ke langit, sementara Fathir berdiri di sampingnya.
“Aku suka senja,” kata Arpa pelan. “Ada ketenangan, tapi juga ada rasa kehilangan. Kayak… saat matahari harus pamit tapi tetap meninggalkan cahaya terakhirnya.”
Fathir tersenyum. “Aku juga suka. Senja mengajarkan kalau setiap perpisahan pasti punya keindahan sendiri, meskipun singkat.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati pemandangan di depan mereka.
Lalu Arpa bertanya dengan suara lirih, “Fath, kamu pernah takut kehilangan nggak?”
Fathir menghela napas panjang sebelum menjawab, “Pernah. Bahkan sekarang aku masih takut. Tapi aku belajar satu hal — kalau sesuatu emang udah Allah tuliskan buat kita, seberapa pun jaraknya, seberapa pun lamanya, pasti akan kembali.”
Arpa tersenyum tipis. “Aku juga belajar ikhlas selama ini. Tapi kadang… rasa takut itu masih suka muncul. Takut berharap terlalu tinggi, takut kecewa lagi.”
Fathir menunduk sebentar, lalu berkata dengan nada lembut, “Arpa, kita berdua udah melalui banyak hal. Aku nggak bisa janji kalau masa depan kita bakal selalu indah. Tapi aku bisa janji satu hal — aku akan berjuang sekuat mungkin. Selama kita sama-sama menjaga niat ini dalam ridho Allah, aku yakin kita akan sampai di tujuan yang terbaik.”
Arpa menatap Fathir, matanya berkaca-kaca. “Aku percaya, Fath. Aku percaya sama kamu… dan sama takdir Allah.”
Langit senja mulai memudar, perlahan berganti menjadi gelap. Tapi di hati mereka, ada cahaya baru yang muncul — cahaya keyakinan dan keberanian untuk melangkah bersama, meskipun masa depan masih samar.
Sebelum mereka beranjak, Arpa berkata pelan, “Kalau nanti kita dipisahkan jarak lagi, janji ya… kita tetap lihat langit senja yang sama. Karena aku percaya, di bawah langit ini, doa-doa kita saling bertemu.”
Fathir tersenyum lebar. “Aku janji, Arpa. Dan selama masih ada langit ini, aku nggak akan berhenti mendoakanmu.”
----------------------------------------------------------------------------------
Menghadapi Realita yang Tak Mudah
Namun, kebahagiaan itu tak membuat semuanya berjalan mulus. Ada kenyataan lain yang harus mereka hadapi — jarak. Program pertukaran pelajar Fathir masih berlangsung selama beberapa bulan ke depan, dan setelah itu ia harus kembali ke Timur Tengah untuk menyelesaikan studinya.
Di sebuah kafe sederhana dekat kampus, mereka kembali duduk bersama, membicarakan hal ini.
“Arpa, aku nggak mau kamu terbebani dengan jarak ini,” kata Fathir sambil memegang cangkir kopinya.
Arpa tersenyum. “Fath, kita udah melewati masa yang lebih berat dari ini. Aku yakin, selama kita sama-sama menjaga niat dan saling mendoakan, jarak bukan masalah.”
Fathir tersenyum lega. “Aku janji akan sering ngabarin. Aku nggak mau kita lagi-lagi terjebak dalam ketidakpastian.”
Arpa mengangguk. “Dan aku juga akan fokus kuliah sambil terus memperbaiki diri. Aku ingin saat kita dipertemukan lagi nanti, kita berdua udah lebih siap.”
---
Sebuah Kejutan dari Fathir
Beberapa hari kemudian, Arpa menerima sebuah paket di kosannya. Di dalamnya ada sebuah buku jurnal dan sebuah catatan kecil dari Fathir.
"Arpa,
Ini jurnal perjalanan yang aku tulis selama aku di Timur Tengah. Aku pengen kamu tahu, selama aku di sana, kamu selalu ada dalam doaku. Di halaman terakhir, aku tulis doa yang paling sering aku panjatkan buat kita.
Semoga ini jadi pengingat bahwa meskipun jarak memisahkan kita, doa akan selalu menyatukan hati.
Fathir."
Air mata Arpa mengalir saat membaca catatan itu. Ia membuka halaman terakhir jurnal tersebut dan membaca doa yang Fathir tuliskan.
"Ya Allah, jika dia adalah takdirku, mudahkan langkah kami untuk bersatu dalam ridho-Mu. Jika bukan, tenangkan hati kami untuk menerima keputusan-Mu dengan ikhlas. Tapi izinkan aku terus mendoakannya dalam diam, meskipun jarak memisahkan."
---
Refleksi di Tengah Malam
Malam itu, Arpa duduk di balkon , memandangi langit malam yang penuh bintang. Ia merasa tenang, meskipun masih banyak ketidakpastian di depan. Tapi kali ini, ia tak lagi takut.
Dalam sujud panjangnya, ia berdoa,
"Ya Allah, aku bersyukur atas perjalanan ini. Aku nggak tahu bagaimana akhir cerita kami, tapi aku percaya, selama Engkau di tengahnya, semuanya akan baik-baik saja."
Di belahan dunia lain, Fathir juga duduk di balkon asramanya, menatap bintang yang sama. Dalam hatinya, ia tahu bahwa cinta sejati bukan hanya tentang kebersamaan, tapi tentang saling menjaga dan mendoakan, meskipun jarak memisahkan.
---
“Kadang, cinta bukan tentang seberapa dekat jarak di antara dua hati, tapi tentang seberapa kuat keduanya bertahan dalam doa dan keyakinan.”