Kisah ini mengisahkan tentang seorang gadis lugu dan seorang pilot playboy yang saling jatuh cinta. Pertemuan pertama mereka terjadi di dalam pesawat, ketika sang pilot memenuhi permintaan sepupunya untuk mengajak seorang gadis lugu, ke kokpit pesawat dan menunjukkan betapa indahnya dunia dari ketinggian, serta meyakinkannya untuk tidak merasa cemas. Tanpa diduga, pertemuan ini justru menjadi awal dari kisah mereka yang dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RUDW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlakuan Istimewa?
Sehari berlalu. Setelah kemarin, Clarissa melewati malam dengan melihat sendiri sikap manis dan godaan gila pria itu di waktu bersamaan. Hari ini, di kantor, justru berbeda. Ia kembali dihadapkan pada omongan rekan kerja yang entah mengapa sejak awal tidak menyukai keterlibatannya dalam pertemuan dengan para petinggi perusahaan.
Semua bermula ketika Kross, manajer tim marketing, kembali menunjuk Clarissa sebagai pemateri untuk laporan penjualan bulanan. Keputusan ini langsung menuai reaksi tidak setuju dari beberapa rekan satu tim. Mereka masih mengingat bagaimana tiga bulan lalu, saat ditugaskan menjadi pemateri strategi pemasaran produk baru, Clarissa justru jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Akibatnya, tim mereka kelimpungan mencari pengganti dalam waktu singkat.
Kini, ketika Kross kembali memilihnya, banyak yang merasa gadis itu mendapat perlakuan istimewa. Padahal, Clarissa sendiri sudah menolak tugas itu. Namun, Kross melihat potensi dalam dirinya—sebuah keyakinan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Selain faktor profesionalitas, memang ada desas-desus bahwa Kross tertarik secara pribadi pada Clarissa. Tapi saat bekerja, pria itu tetap mengedepankan sikap profesionalnya.
Clarissa yang duduk di meja kerjanya merasakan ketidaknyamanan. Sejak pagi, ia sudah menerima berbagai sindiran terselubung dari rekan-rekannya. Mereka tersenyum padanya, tetapi ia tahu senyum itu tidak tulus.
Tanpa disadari, situasi ini juga sampai ke telinga Leonardo, asisten Jonathan.
"Ada apa?" tanyanya pada Alves, asisten manajer pemasaran.
Alves tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Karyawan divisi kami sedang meributkan keputusan Pak Kross yang memilih Clarissa sebagai pemateri untuk rapat minggu depan."
Dahi Leo mengernyit. "Lalu, apa salahnya?"
Alves menghela napas sebelum menjawab pelan, "Tiga bulan lalu, saat mendapat tugas yang sama, Nona Clarissa gagal melaksanakannya, Pak."
Leo mendecak. "Ck, dia bukan gagal. Dia sakit saat itu. Sudahlah, saya tidak mau dengar gosip tidak jelas seperti ini. Jika sampai Tuan Jonathan tahu bahwa waktu kalian dihabiskan hanya untuk bergosip, bisa-bisa mereka semua dipecat."
Mendengar peringatan itu, Alves langsung tegang. Para karyawan yang bergosip tidak sedikit, dan ia sendiri termasuk salah satunya. Ketakutan mulai menyelimutinya.
Tiba-tiba, suara seseorang mengejutkan Alves. "Hei! Kenapa bengong di sini? Menghalangi jalan orang!"
Alves tersentak dan hampir mengumpat, tetapi urung saat melihat siapa yang menegurnya. "Oh… maaf, Nona Mirabella. Saya tadi sedikit melamun," jawabnya gugup.
Mirabella hanya menatapnya datar sebelum berlalu, lalu menghampiri Clarissa.
"Darling, ayo kita lunch bareng. Kak Claire juga ke sini," ajaknya ceria.
Clarissa yang masih sibuk mengetik menoleh dan tersenyum kecil. "Aku masih ada kerjaan, Mira. Nanti aku susul saja, ya?"
Mirabella mendengus. "Hei, sejak kapan perusahaan ini memberi pekerjaan begitu banyak sampai karyawan tidak bisa menikmati makan siang?"
"Tapi ini penting, Mira," jawab Clarissa lembut.
"Itu bisa dilanjutkan nanti. Makan juga penting supaya kamu tetap semangat bekerja dan tidak sakit. Ayo, aku tidak menerima penolakan!"
Akhirnya, Clarissa menyerah dan mengikuti Mirabella. Saat tiba di kantin, mereka mendapati Jonathan, Claire, dan Leonardo sudah menunggu. Mereka melambai, memanggil keduanya untuk bergabung.
Clarissa berhenti sejenak. Ia tahu, tatapan para karyawan di sana pasti mulai mencemoohnya. Karena itu, ia memilih duduk di bangku lain. Mirabella mengomel, merasa kesal karena Clarissa menolak duduk bersama Claire, padahal masih ada tempat kosong.
"Aku di sini saja. Kalau kamu mau gabung, silakan," ujar Clarissa pelan. "Mira, kumohon… coba pahami posisiku. Aku hanya ingin bekerja dengan nyaman."
Mirabella menatapnya, lalu menghela napas. "Hah… baiklah, baiklah. Kita duduk di sini."
Dalam hati, Mirabella mulai berpikir untuk memberi teguran pada para karyawan yang suka bergosip tidak jelas.
Di tempat lain, Xander baru saja menyelesaikan penerbangan panjangnya ke negara lain. Ia tengah beristirahat di kamar hotel, meski bukan untuk tidur—hanya rebahan sambil memainkan ponselnya.
Senyumnya mengembang saat melihat foto yang baru saja masuk ke ponselnya. "Cantik sekali," gumamnya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Telepon masuk dari si pengirim foto.
"Halo—"
"Gimana? Puas setelah lihat fotonya?" Suara di seberang langsung menyemprot dengan nada kesal. "Bisa-bisanya kamu menyuruhku jadi mata-mata seharian ini. Dasar nggak gentle!"
Xander terkekeh. "Hei, Leonardo. Aku tidak menyuruhmu menguntitnya, oke? Aku hanya bertanya apakah dia masuk kerja atau tidak. Pesanku sama sekali tidak dia balas."
Ya, sejak pagi sebelum berangkat ke bandara, Xander sempat mengirim pesan pada Clarissa. Biasanya, hanya basa-basi ala pria yang sedang mendekati seorang gadis. Namun, hingga siang hari, saat ia mendarat, pesan itu tetap belum dibalas. Ia mulai khawatir kalau Clarissa sakit lagi, jadi ia meminta Leo mengecek keberadaannya di kantor.
Padahal, seharian ini Xander sengaja mengabaikan pesan dan telepon dari Olivia. Ia bahkan menghindari wanita itu, yang tentu saja membuat Olivia marah-marah. Anehnya, yang ada di pikirannya sekarang hanya senyum dan wajah polos Clarissa.
"Halah… yang pasti, Clarissa memang sengaja tidak mau membalas pesan dari pria buaya seperti kamu," ledek Leo. "Melihat pria modelan kamu aja, dia pasti langsung tahu kalau kamu buaya pemangsa wanita."
Xander mendengus. "Kenapa kamu cerewet sekali? Aku doakan semoga kamu jomblo sampai tua, tidak ada wanita yang mau padamu."
"Hehehe… tidak ada yang sanggup menolak pesona Leonardo. Para wanita mengantri!" Leo tertawa, puas melihat Xander semakin kesal.
Tapi tiba-tiba, nada suaranya berubah menggoda. "Eh, by the way… ada pria yang naksir Clarissa di kantor. Manajer pemasaran. Ganteng, dan mereka terlihat cocok saat jalan bersama. Namanya Kross."
"Apa?!" Xander hampir berteriak, membuat telinga Leo hampir pecah.
Leo tertawa puas. "Kross itu tampan, dan aku pernah dengar Clarissa bilang ke Mirabella kalau dia suka pria dengan tipe seperti Kross."
Xander langsung bangkit dari rebahannya. Ia berjalan mondar-mandir di kamar hotel, merasa tidak tenang. "Kirim fotonya! Aku yakin kamu berbohong. Dia pasti pria tua, gendut, dan jelek, kan?"
Leo menguap pura-pura. "Hoaaam… Halo? Halo? Wah, sinyalnya jelek. Sudah dulu ya, aku ngantuk. Bye!"
Klik.
Leo menutup panggilan, meninggalkan Xander yang berteriak kesal.
"Hei, Leo sialan! Jangan matikan dulu! Kirim foto si Kross jelek itu!"
Namun, panggilannya hanya disambut keheningan.
"Memang dasar kampret si Leo ini," gumamnya kesal, sementara di apartemen, Leo tertawa terguling-guling di atas kasur, puas mengerjai sahabatnya.