Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1—Tragedi
Sore itu, daun-daun pohon ginkgo yang keemasan berguguran diiringi dengan angin tertiup pelan. Tiga remaja yang mengenakan seragam sekolah, tengah berjalan beriringan di trotoar pusat kota Beijing.
"Bagaimana kalau suatu hari nanti aku memenangkan nobel?" ucap seorang pemuda, sambil melihat ke arah dua remaja lain yang berjalan di sebelahnya.
Pemuda itu berwajah tampan, alis tebal, bermata sipit dan hidung mancung. Ia bernama Chen Lian, wajahnya yang rupawan dan tinggi 187 centimeter, membuat pejalan lain gagal fokus saat melihatnya. Alih-alih menjadi model atau idol, Chen Lian memilih fokus dengan penelitian tentang teori quantum.
Di sebelahnya, seorang gadis terkekeh, “Aku akan memberikan hadiah yang bahkan tidak bisa kau bayangkan." Gadis itu berambut hitam, panjang teurai, berwajah kecil dan cantik. Tubuhnya tinggi mencapai 175 centimeter dan atletis. Ia bernama Lu Rei, seorang atlit Kung Fu internasional.
Lalu, pemuda lainnya yang berada di sisi kiri Lu Rei, menyahut, “Apakah aku bisa mendapatkan hadiah juga? Aku baru memenangkan Liga CBA loh!" Pemuda itu berwajah teduh, alis tipis dan mata sipit. Ia bernama Fu Heng, seorang pemain basket tersohor yang bahkan memenangkan beberapa kali liga CBA.
Chen Lian menatap dingin ke arah Fu Heng, lalu segera menyela, "Apa? Kau berkata seolah bisa menandingi penghargaan nobelku dengan piala CBA?"
Fu Heng berdecak, "Kau bahkan belum mendapatkan nobel itu, tapi berkata seolah-olah sudah memilikinya."
Mereka berdua berhadapan satu sama lain, membusungkan dada dan emosinya memuncak. Di tengah keramaian itu mereka berdua hendak mendaratkan tinju satu sama lain dan orang-orang disekitar memandangi dengan heran. Lu Rei yang merasa malu, segera berjalan dengan cepat.
Chen Lian dan Fu Heng yang menyadari jika Lu Rei tidak disamping mereka, langsung pergi begitu saja menyusul sahabatnya itu.
Walaupun Lu Rei berjalan sangat cepat, namun, Chen Lian dan Fu Heng mampu menyusulnya.
"Kalian ini jangan seperti anak kecil, bisa gak?" tegur Lu Rei.
"Maaf,” cetus Chen Lian dan Fu Heng bersamaan. Mereka berdua saling pandang dan menunjukkan ekspresi kekesalan.
Lu Rei mendengus, "Baiklah, okay. Hadiahnya dibagi dua saja."
Chen Lian dan Fu Heng kembali tersenyum bahagia, merasa tidak ada kasih sayang yang tidak adil dari Lu Rei.
Di tengah jalanan yang ramai, lampu merah akan segera menguning beberapa detik lagi. Sementara, seorang ibu muda yang tengah hamil besar, mendorong kereta bayi dan membawa banyak tas belanja yang berisi buah-buahan dan sayur.
Tas belanja itu robek, dan isinya berhamburan di tengah zebra cross. Orang-orang disekitar bersikap acuh tak acuh, tak seorang pun yang menolong wanita hamil itu.
Lampu hijau menyala dan para mobil mengklakson hebat.
TIN. TIN. TIN.
Lu Rei yang melihatnya, segera berlari ke tengah zebra cross untuk membantu memungut isi belanjaan. Diikuti oleh Chen Lian dan Fu Heng yang membantunya.
"Biar saya dan teman-teman yang mengambil, anda pergilah ke trotoar dan jaga kereta dorong itu,” pinta Lu Rei dengan lembut.
Lu Rei menatap Fu Heng, lalu berkata, "Fu Heng, bantu ibu itu menyeberang jalan dengan selamat."
Fu Heng pun membantu Ibu muda yang tengah hamil untuk menyeberang ke sisi jalan sambil menodorong kereta bayi.
Fu Heng kembali ke tengah jalan untuk membantu kedua temannya. Setelah beberapa menit, mereka pun selesai memungut dan memberikan belanjaan itu pada perempuan hamil tadi.
"Terima kasih banyak. Kalian sungguh baik sekali," ucap ibu muda itu dengan penuh syukur.
Lu Rei membalas dengan senyuman, "Sebenarnya, kami bukanlah baik. Hanya saja, kami memanusiakan manusia."
Ibu muda itu mengambil sesuatu dari tas, lalu menyodorkan tiga buah jeruk segar, "Ini untuk kalian."
Tanpa ragu-ragu ataupun penolakan, Lu Rei segera menerima jeruk itu. "Terima kasih banyak."
Ibu muda itupun tersenyum sekali lagi dan segera berjalan pergi.
Chen Lian dan Fu Heng menatap salah satu jeruk di tangan Lu Rei. Jeruk itu berwarna paling mencolok dan paling besar. Dalam satu tarikan napas, tangan kedua pemuda itu berebut jeruk.
"Ini milikku! Aku sudah melihatnya sejak tadi." Pekik Chen Lian, sembari terus mencengkeram sisi jeruk itu.
Sementara Fu Heng yang tak mau kalah, ikut mencengkram dengan kekuatan penuh. "Tidak. Ini milikku!"
Keduanya saling memperebutkan jeruk itu. Membuat perhatian banyak orang. Lagi-lagi, Lu Rei dibuat malu oleh kedua sahabatnya. Gadis itu menggaruk kepalanya, dan memalingkan pandangan.
Tak lama, jeruk itu pecah menjadi dua bagian. "Kalian ini... Benar-benar keterlaluan!" tegur Lu Rei, sambil merebut jeruk yang terbelah itu. Lalu, ia menyodorkan dua jeruk lain yang masih utuh.
"Ini untuk Lian'er, dan ini untuk Heng'er. Bentuk dan warnanya sama, tidak perlu berebut lagi. Ini milikku!" ujar Lu Rei, sembari memasukkan jeruk yang sudah terbelah itu ke dalam tas.
Fu Heng tersenyum menatap jalanan, Chen Lian mulai mengupas jeruknya.
Sementara itu, Lu Rei mulai mengeluh, "Apakah mereka ini anak-anakku? Selalu membutuhkan perhatian penuh."
"Kalau aku anakmu, maka aku akan menjadi anak bungsu. Agar menjadi kesayangan," Celetuk Chen Lian.
Fu Heng menyahut, "Maka, aku akan menjadi anak sulung yang selalu menganiayamu!"
Lu Rei hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Mereka telah bersahabat sejak kelas 1 SD, hingga sekarang, kelas 1 SMA.
Setelah sampai di sebuah bangunan tinggi nan megah, mereka berpisah di lift dan menuju lantai tujuan masing-masing. Mereka bertiga adalah tetangga.
Chen Lian masuk ke dalam unit apartemennya, dan di sambut oleh seorang pemuda berusia 24 tahun yang bernama Chen Hu.
"Aku hari ini masak telur gulung dan sup. Mau dipanaskan supnya?" tanya Chen Hu.
Chen Lian tersenyum tipis, "Aku tadi sudah makan dengan Lu Rei dan Fu Heng. Maaf, kalau aku selalu merepotkan paman."
Chen Hu mengusap rambut Chen Lian, "Tidak. Kau tidak pernah merepotkanku sama sekali."
"Malahan, aku merasa bersyukur karena kakakku, Chen Luo memberiku tumpangan selama dua puluh tahun." Imbuhnya.
Chen Lian menunduk, matanya melembut. "Paman sudah merawatku sejak kecil. Anggap saja, paman bekerja kepada kedua orang tuaku. Jangan pernah merasa bahwa paman adalah beban. Tidak sama sekali."
"Bahkan, pamanlah yang sehari-hari membersihkan rumah, memasak dan mengurus keluargaku. Aku berterima kasih pada paman, atas nama kedua orang tuaku." Ucapnya dengan lembut sembari membungkuk di depan Chen Hu.
Chen Hu tersenyum haru, air matanya nyaris menetes. Lalu, ia mengajak keponakannya untuk menonton film dvd.
Malam itu, mereka memutuskan untuk menonton film yang berjudul 'Doctor Strange'
Keesokan paginya, setelah Chen Lian bersiap untuk pergi ke sekolah. Tak lupa ia mampir ke meja sarapan. Walaupun perutnya tidak merasa lapar, ia tetap harus ke sana demi melihat orang tuanya.
Sebab, kedua orang tuanya tak pernah ada waktu untuk Chen Lian. Mereka hanya bisa bertatap muka saat sarapan pagi, setelah itu, tak pernah berjumpa lagi. Sejak Chen Lian masih SD, ibunya tak pernah menjemputnya ke sekolah. Bahkan, ia enggan hanya untuk sekadar mengambil raport.
Meja sarapan hening, seperti biasa. Namun, Chen Hu membuka percakapan. "Kakak ipar, bagaimana kabar kakak? Apakah operasinya lancar terus?" tanya Chen Hu, polos.
"Kau tahu apa soal bedah? Jangan tanya yang aneh-aneh." Jawaban dingin dari wanita yang bernama Li Yi alias ibu Chen Lian.
Chen Lian segera menyela, tak ingin suasana semakin mencekam, "Ibu, mungkin paman hanya ingin menghangatkan suasana di meja makan."
Li Yi mendesah pelan. Sementara suaminya, Chen Luo, fokus makan dengan terburu-buru sembari terus melihat jam tangan. Kemudian, ia berdiri, mengambil jas di kursi dan memakainya.
"Aku ada kelas penting hari ini. Sebagai dosen fisika, aku tidak boleh terlambat." Ucapnya sembari melangkah keluar.
Li Yi menyusul Chen Luo, tanpa menatap mata anaknya sekalipun. Tersisa Chen Lian dan Chen Hu yang makan sarapan bersama.
Setelah selesai makan, Chen Lian keluar dari unit dan menunggu dua sahabatnya di lobi apartemen. "Tchh... Aku selalu menjadi yang lertama menunggu," keluh Chen Lian.
Tak lama, Lu Rei datang dan disusul oleh Fu Heng. Mereka berjalan bersama keluar dari unit, dan menunggu bus di halte.
"Sebenarnya, hadiah apa yang kau maksud itu, Rei'er?" tanya Chen Lian.
Fu Heng menganggukkan kepalanya, ia juga ingin tahu.
Lu Rei tersenyum gembira, "Bukan hadiah namanya kalau aku kasih tahu isinya. Nanti, kalau Chen Lian sudah mendapatkan nobel, baru aku kasih hadiahnya."
"Hei, itu curang!" sela Fu Heng, sembari mengerutkan keningnya.
Lu Rei berdiri dan berlari kecil menjauhi mereka. "Wlee..." ia menjulurkan lidahnya seperti anak kecil.
Fu Heng mengejar Lu Rei, sementara Chen Lian menggelengkan kepalanya. "Kalian ini bukan anak SD."
Saat asik saling kejar mengejar, terdengar bus membunyikan bel berkali-kali.
TINN... TINN...
Bus itu mengarah ke halte, dengan kecepatan 100 km perjam. Tanpa mengerem.
BRUAAKKK...
Kejadian itu sangat cepat dan tak terduga. Dengan jantungnya yang masih berdebar-debar, nafas terengah-engah, Chen Lian terbaring. Ia berhasil menghindari bus itu.
Tapi... matanya segera membulat, dan jantungnya semakin berdebar saat mengingat dua sahabatnya. Ia segera bangkit dengan kaki gemetar, melirik sekeliling.
Chen Lian tidak menemukan kedua sahabatnya. Namun, air matanya langsung jatuh tanpa sebab saat melihat bus yang sudah ringsek menabrak dinding toko di belakang halte.
"Apa... apakah..." ucapnya dengan lemah. Lalu, dalam sekejap, dunia terasa gelap. Saat terbangun, ia berada di rumah sakit.
Di hadapannya, Chen Hu tampak sangat khawatir. "Chen Lian... untung saja kau tidak apa-apa."
Chen Lian menatap pamannya dengan tatapan menyedihkan, air matanya menetes. "Pa... pa... paman..." suaranya bergetar.
"Apakah temanku baik-baik saja?" lanjutnya.
Chen Hu memalingkan tatapannya ke bawah. Lalu, ia kembali menatap keponakannya sambil menggelengkan kepala dan menjawab, "F... Fu Heng dari unit 376, tidak selamat dan meninggal di tempat."
Mendengar hal itu. Seketika, dadanya terasa sesak, seperti dihimpit oleh ratusan ton besi. Nafasnya tak stabil. Air matanya membasahi pipi secara perlahan.
Di tengah guyuran air mata, ia lanjut bertanya. "Lalu, Lu Rei?"
"Lu Rei dari unit 381 tak sadarkan diri dan tengah kritis." Chen Hu menjawab dengan berat hati.
Pandangan mata Chen Lian menjadi kosong. Ia menatap langit-langit rumah sakit, seakan-akan dunianya runtuh. Dengan infus yang masih menempel di pergelangan tangan, ia turun dari ranjang dan jalan sempoyongan.
"Antar aku ke kamar Lu Rei... paman." Pintanya dengan nada keras kepala.
Chen Hu memapah keponakannya menuju ruang ICU. Di depan pintu, kedua orang tua Lu Rei sedang duduk dengan ekspresi sedih. Chen Lian segera mendekati mereka.
"Paman, Bibi... Apakah Lu Rei baik-baik saja?" tanya Chen Lian.
Ibu Lu Rei, Wang Xia, menatap sinis ke arahnya. "Semua ini karena kau! Anakku tidak sadarkan diri karena kau! Dia mengikuti gaya hidupmu yang kampungan itu! Selalu naik bus setiap hari."
"PERGILAH!!!! AKU TIDAK INGIN MELIHATMU." Bentar Wang Xia.
Chen Lian terduduk lemas di lantai. Lalu bersujud di kaki Wang Xia. "Izinkan saya bertemu Lu Rei sekali saja, Bibi... Saya mohon..."
"TIDAKKK!" ucapan dingin Wang Xia, sembari menendang punggung Chen Lian.
Pemuda itu hanya duduk di lantai, selama berjam-jam.
"Keponakanku, ayo kita kembali ke kamarmu." Pinta Chen Hu. Tetapi, Chen Lian bersikeras menunggu Lu Rei tersadar walau harus duduk di lantai yang dingin.
Satu hari berlalu. Chen Hu membawakan sepotong roti dan teh hangat.
Dua hari berikutnya, Chen Hu membawakan sup daging dan teh herba. Tiga hari, Chen Hu membawa roti lapis dan air hangat. Dan satu minggu kemudian.
Chen Lian tetap duduk di lantai itu. Sembari sesekali pamannya datang membawa makanan. Sementara kedua orang tua Lu Rei, melihat pemuda itu dengan tatapan jijik, terutama Wang Xia.
Di hari ke tujuh ini, keajaiban datang. Seorang dokter keluar dari ruang ICU. Dan berkata jika Lu Rei sudah sadar.
Wang Xia dan suaminya segera masuk. Sementara Chen Lian, bangkit dari duduknya dan berusaha mengintip melalui pintu kaca. Setelah beberapa jam, Wang Xia keluar dari ruang ICU dengan mata sembab.
"Chen... Chen Lian... masuklah, Lu Rei menunggumu." Ucapnya dengan nada rendah.
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.