Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MILIKNYA USTADZ MUDA AL-NAKHLA
Perjanjian konyol Adira?
Lupakan perjanjian itu, perjanjian yang hanya menguntungkan satu belah pihak dan merugikan pihak lainnya. Adira yang membuat perjanjian itu, namun dengan mudah kiyai Aldan membatalkan perjanjian tak masuk akal itu.
“Ini adalah kamar pembin putra, namun karena kebetulan kalian yang pindah kesini sementara pembina putra yang akan tinggal disini itu akan menempati kamar kalian di asrama.” Jelas kiyai Aldan. Mengajak Agra dkk untuk melihat rumah pembina yang telah rangkup dan siap untuk di huni pasangat baru itu.
“Letaknya cukup jauh dari asrama putri tentunya, namun ini juga terbilang cukup dekat dengan asrama putra. Namun, anak-anak tak pernah melewati jalan ini karena akan memakan waktu untuk sampai ke masjid, aula pondok bahkan ke Ndalem sekalipun. Jadi lokasi ini aman untuk kalian.”
Agra dkk melihat sekitarnya, dapat mereka bayangkan seribut apa rumah ini nanti jika sudah dihuni oleh Adira dkk. Mereka hanya dapat mengucapkan selamat tinggal kedamaian dan ketentraman yang telah menemani mereka.
“Dan istri kalian, akan pindah malam ini juga. Saya sudah mengurus semuanya, kalian tinggal terimah beres saja.” Lanjut kiyai Aldan.
“Na’am kiyai.” Jawab mereka.
“Harusnya kami yang mengurus semuanya, bukan malah kiyai. Maaf karena telah merepotkan kiyai seperti ini, maaf kiyai.” Kata Agra dengan pelan. Ia merasa tak enak kepada kiyai Aldan yang begitu baik sampai harus mengurus mereka ini.
Kiyai Aldan menggeleng pelan, lalu tersenyum melihat keempat ustadz itu. “Saya malah senang melakukan ini, aku tak memiliki putra putri. Jadi saat melihat kalian menikah dan bersama, saya merasa sangat senang. Kalian adalah anak-anak ku.”
“Sekali lagi terimakasih banyak kiyai.” Ucap Agra dengan tulus. Diangguki ketiga temannya.
“Tak apa-apa.” Jawab kiyai Aldan.
“Lalu bagaimana jika santri atau pun pengurus lainnya bertanya mengenai kepindahan Adira dan teman-temannya kiyai?” Tanya Bima. Mereka berjalan kembali ke Ndalem.
Kiyai Aldan yang berjalan didepannya lalu Abyan dan Abraham disisih kiri dan kanannya disusul dibelakangnya Agra dan Bima.
“Untuk itu sepertinya kalian cari jawabannya sendiri.” Jawab kiyai Aldan dengan kekehan ringan diakhir kalimatnya. Agra dkk hanya saling menatap.
xxx
“Assalamu’alaikum.”
Adira dan ketiga temannya yang sedang asik bercerita didalam kamar mereka, dengan cepat melihat kearah pintu yang terbuka sedikit dengan kepala seorang yang menyembul kedalam membuat mereka sedikit kaget.
“Wa’alaikum salam.” Jawab mereka secara bersamaan.
“Afwan ya, mmm kalian dipanggil kiyai ke Ndalem sekarang.” Ujar santri putri itu. Dia masih dalam posisinya.
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara saling melirik. Apakah mereka melakukan kesalahan lagi sampai kiyai Aldan malam-malam begini memanggil mereka? Tapikan mereka seharian ini tidak melakukan kesalahan.
“Kiyai Aldan panggil kita? Kenapa memangnya?” Tanya Almaira. Mewakili kedua temannya.
Santri putri itu menggeleng tanda ia juga tidak tahu, dia hanya mendapat amanah dari kiyai Aldan untuk memanggil Adira dan teman-temannya setelah jadwal piketnya di Ndalem tadi selesai.
“Aku juga tidak tahu, lebih baik kalian segera kesana.” Jawabnya. “Kalau begitu aku pamit, assalamu’alaikum.” Pamitnya. Tak lupa menutup pintu kamar itu kembali.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi barokatuh.”
“Ayok, jangan buat kiyai menunggu.” Kata Adira. Mengambil mukenahnya lalu segera keluar kamar disusul oleh yang lainnya.
Ndalem kiyai Aldan.
Kiyai Aldan menatap santriwati yang duduk didepannya secara bergantian, meminum kopi pahitnya terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kalimat yang mungkin saja dapat membuat kaget mereka.
“Kalian akan pindah malam ini.” Ujar kiyai Aldan. Benar saja, raut wajah kaget mereka tercetak dengan jelas di sana.
“M-maksud kiyai kita dikeluarkan dari pondok? K-kenapa kiyai? Kita buat salah separah itu ya?” Cecar Almaira. Dia tak mau pindah dari pondok ini, dia memang nakal tapi dia sudah sangat jatuh cinta dengan pondok pesantren ini.
“Benar kiyai, kita juga sudah kelas tiga. Mana ada sekolah yang mau menerimah surat pindah kita.” Lanjut Adira. Benar-benar shock dengan penuturan kiyai Aldan.
“Kita tidak mau dipindahkan kiyai.” Timpal Aruna. Dia tidak mau dipindahkan kemana pun itu.
“Kiyai serius?” Tanya Ayyara. Bagaimana bisa mereka dipindahkan saat sudah kelas tiga Aliyah ini?
Kiyai Aldan menggeng pelan dan mengambil napas dengan pelan, memberikan senyuman hangat untuk anak didiknya ini. “Hahah… sepertinya kalian ini salah paham.”
HA?
Salah paham bagaimana, dengan sangat jelas mereka mendengar kiyai Aldan mengatakan mereka akan dipindahkan. Salah pahan dari mana coba!
“Bukan pindah sekolah nak, pindah tinggal bersama dengan suami kalian.” Lanjutnya. Kiyai Aldan kembali meminum kopinya menunggu reaksi seperti apa yang dikeluarkan mereka ini.
1 detik…,
2 detik…,
3 detik…,
“Kiyai tidak sedang bercandakan?” Lirih Adira. Menatap kiyai Aldan dengan raut wajah kaget tentunya.
Aruna menggeleng, membayangkan akan tinggal serumah dengan ustadz Abraham membuatnya meringis pelan, bagaimana hari-hari kedepannya yang selalu saja aktif dan penuh energy ini tiba-tiba menjadi kalem? Owhhh jelas tidak bisa kawan.
“Benar, setelah shalat isya’ nanti bereskan barang-barang kalian lalu pindah kerumah pembina.” Jawab kiyai Aldan. “Agra dan yang lainnya sudah mengemasi barangnya dan pindah hari ini, dan kalian juga menyusul malam nanti.” Lanjutnya.
Mereka berempat membulatkan matanya dengan mulut yang terbentuk o, apa katanya tadi, ustadz Agra dkk sudah beberes?
“Kiyai.” Panggil Ayyara. “Ini serius? Kami tidak sedang di prankkan?”
Kiyai Aldan terkekeh dengan pertanyaan Ayyara. “Tentu tidak, ini benar-benar serius.”
xxx
Malam harinya, setelah shalat maghrib terlihat Ayyara tengah fokus menyetor hafalannya kepada ustadz Abyan yang duduk tepat didepannya.
“Pelan-pelan saja Ayyara.” Ujar Abyan. Menegur Ayyara karena menghafalnya dengan terburu-buru hingga beberapa penyebutannya tidak jelas.
Ayyara sedikit meringis, namun tetap menuruti ucapan ustadz Abyan. Abyan terlihat menyilangkan kedua tangannya didadanya, telinganya yang tajam fokus mendengarkan bacaan Ayyara dan mata tajam itu tak pernah lepas dari Ayyara.
Bukankah mereka sudah sah? Jadi sudah tidak ada penghalang lagi diantara mereka.
Abyan masih tak menyangka jika diusia yang masih muda ini dia telah menikah dan memiliki seorang istri yang selalu saja ia beri hukuman, tanggung jawabnya bukan hanya menjadi ustadz dan pembina di sini juga harus bertanggung jawab menjadi kepala keluarga, mejadi suami yang bisa mengarahkan istrinya kejalan yang baik.
Setelah mengakhiri hafalannya Ayyara mengangkat kepalanya guna melihat sosok suaminya, ha? Suaminya katanya? Astaga dia geli sendiri.
“Jika menyetor hafalan, mau hafalan apapun itu jangan terburu-buru Ayyara. Paham?” Abyan menatap Ayyara dengan lekat.
“Na’am ustadz.” Jawab Ayyara seadanya. Dia sedikit melirik kebawah barisan santriwati, dengan jelas ketiga temannya menatap juga kearahnya masing-masing mengepalkan tangannya keudara memberi semangat kepada Ayyara.
“Kiyai Aldan sudah memberitahu mu?” Tanyanya. Ayyara kembali melihat ustadz Abyan.
“Iya, sudah tadi sore.” Jawabnya dengan pelan. Tinggal dengan manusia si kaku dan dingin seperti ustadz Abyan ini bagaimana rasanya?
“Bagus, sebentar setelah shalat isya saya tunggu kamu didepan masjid.” Ujarnya kembali. “Jangan membantah.” Lanjutnya setelah melihat Ayyara akan menolak.
Ayyara lagi-lagi hanya bisa pasrah, berhadapan dengan Abyan terkadang menguras energynya walau dia tidak mengeluarkan banyak kosa kata.
“Ambil ini.” Abyan menyerahkan tasbih kecil berwarna hitam kehadapan Ayyara.
Ayyara tentu bingung, namun sebelum mengambilnya dia melihat sekitarnya takut jika seseorang melihat mereka dan kemudian timbullah fitnah lagi yang membuatnya muak.
“Tak ada yang melihat.” Lanjut Abyan saat tahu kekhawatiran istrinya.
“Ini untuk aku?” Tanya Ayyara setelah mengambil tasbih kecil itu dari telapak tangan besar milik Abyan.
“Hm.” Jawabnya. “Jangan dihilangkan.” Lanjutnya tersenyum tipis hingga membuat Ayyara terdiam di tempatnya.
Ma sya Allah, nikmat mana lagi yang engkau dustakan pekiknya dalam hati.
xxx
“Apa kalian melihatnya juga, ustadz Abyan dan Ayyara. Jika dilihat memang jelas mereka sudah tidak memiliki sekat.” Tutur Lion. Bergosip di tempat whuduh?
“Pelan kan suaramu, jangan sampai santri lain mendengarnya.” Tegur Irdan. Melihat sekitaran tempat whuduh yang untungnya saja sepi hanya ada mereka berempat di sini.
“Maaf, maaf.” Lion meringis pelan.
“Apapun itu kita tidak punya hak mencampuri urusan mereka, jadi marih berhenti membahas mereka.” Ujar Supriadi dengan bijak.
“Hm, walau rasanya seperti ada yang aneh.” Lirih Arwin. Benar, beberapa hari ini dia merasa murung karena berita yang tiba-tiba ini. Dan juga tadi dia melihatnya dengan jelas Ayyara dan ustadz Abyan yang terlihat begitu dekat.
“Baiklah! Mari kita lupakan kejadian apapun itu bersama mereka, jika memang sudah jodoh yang lain bisa apa? Kita do’akan kebaikan dan kebahagian rumah tangga mereka.” Tutur Lion.
Benar, manusia tidak bisa merubah takdir sesuka hatinya. Takdir yang sudah ada sejak sebelum kita terbentuk menjadi janin itu tak dapat diubah oleh tangan manusia kecuali Allah sendiri.
“Sudah, selesaikan whuduh kalian.” Ucap Irdan.
Setelah meninggalkan tempat whuduh, bersamaan pintu WC yang berjejer rapi tak jauh dari tempat whuduh itu terbuka secara bersamaan dan keluarlah sosok ustadz mudah yang tampan itu saling melirik.
“Astaga anak-anak itu.” Kata Abraham pelan menatap punggung Arwin dkk.
“Kasian sekali.” Lanjut Bima. Lalu mengambil whuduh.
Agra dan Abyan? Tak mengatakan apapun, mereka setelah melirik satu sama lainnya tadi langsung mengambil posisi whuduh tanpa mau ikut menibrung kedua temannya.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mereka hanya bagian masa lalu dari Adira dkk dan mereka ini adalah masa depan Adira dkk. Itu sudah jelas, jadi jangan ditanyakan lagi.
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara adalah milik ustadz muda Agra, ustadz Abraham, ustadz Bima dan ustadz Abyan.
tinggalkan jejak 👣 kalian, terimakasih banyak☺😇
semangat 💪👍