NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Era Kolonial
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!!!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading Guyss🌷🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BUKAN HANYA PEDANG

Tubuhku terasa sangat baik.

Fajar menyelinap perlahan ke barak pelatihan, membawa cahaya lembut yang menyelimuti genteng dengan warna emas pucat. Di dalam bilik kecil yang sederhana, tubuh Daren masih tergolek. Tapi kali ini, bukan mimpi buruk yang menemaninya. Bukan jeritan masa lalu.

Melainkan… kehangatan.

Di tangannya, liontin itu masih tergenggam. Jemarinya bahkan sempat mengeras seperti tak ingin melepasnya sepanjang malam.

Daren membuka mata perlahan, napasnya tenang. Cahaya pagi menyentuh wajahnya yang masih lelah tapi damai. Ia menatap langit-langit kayu barak. “Ayah... Ibu...”

Suara itu hanya bisikan. Tapi cukup untuk menggetarkan hatinya sendiri.

Ia bangun tanpa ragu. Membersihkan dirinya seperti biasa, lalu mengenakan pakaian latihan yang mulai sempit di bahu karena tubuhnya yang menguat. Rambutnya diikat kebelakang ya. Tak seperti biasanya, langkah kakinya pagi ini ringan. Bukan karena segalanya sudah baik, tapi karena ia tahu... dia ingin tetap berdiri.

Di lapangan, beberapa prajurit muda sedang bersiap. Salah satu di antara mereka berseru, “Hei, bukannya kau masih sakit?”

Daren hanya tersenyum, tak membalas. Ia berdiri di tengah tanah latihan, menarik napas panjang… lalu mulai mengayunkan pedangnya. Tapi kali ini, tidak seperti biasa. Gerakannya lebih tenang. Lebih tajam. Lebih sadar.

“Hiak!”

Tebasan pertama mengiris udara pagi. Lalu satu lagi. Dan satu lagi.

Dari kejauhan, seorang perwira pelatih senior memperhatikan. Wajahnya menyipit. “Dia bukan bocah biasa…” gumamnya.

Beberapa prajurit lain mulai memperhatikan. Ada yang menertawakan. Tapi tak sedikit yang perlahan mulai diam. Memandang dalam. Ada sesuatu yang berubah.

Aku harus bisa... bisa menjadi orang yang dapat melindungi.

📖 Sementara Itu, di Perpustakaan Istana…

Di salah satu ruangan terdalam perpustakaan kerajaan, suara langkah kaki terdengar lembut menapaki lantai marmer. Di antara rak-rak kayu tua yang menjulang tinggi, Putra Mahkota tengah berjalan pelan, jemarinya menyusuri punggung buku-buku dengan tatapan serius.

“Buku baca… buku tulis…” gumamnya, lirih, hampir seperti anak kecil yang sedang memilih harta karunnya sendiri.

Matanya menelisik tiap label dan judul. Raut wajahnya tenang, tapi gelisah. Sesekali ia mengangkat alis, menarik satu buku lalu mengembalikannya dengan pelan. Ia tidak sedang mencari buku untuknya sendiri, melainkan untuk seseorang yang bahkan tidak memintanya.

Pikirannya melayang pada saat melihat... buku yang di berikan Kanel sudah sangat rusak karena di bawa olehnya.

Gerald masih ingat, bagaimana Daren menggenggam buku itu seolah menggenggam dunia. Ia membacanya diam-diam, seakan hanya dengan membaca, ia bisa bertahan satu hari lagi.

Dan itu yang membuat Gerald berdiri di sini pagi ini. Di balik keheningan perpustakaan kerajaan yang megah, ia mencari sesuatu, bukan sekadar buku, tapi harapan kecil.

“Aku tahu kau tak akan pernah memintanya,” bisiknya pelan sambil menarik satu buku bersampul kulit biru tua, “tapi kau pantas mendapatkan yang lebih layak.”

Ia menimbang-nimbang buku itu, membuka beberapa halaman. Isinya ringkas tapi penuh makna: catatan-catatan strategi, filosofi bertahan hidup, dan kisah para kesatria tua yang pernah mengukir sejarah.

Buku itu tidak megah. Tidak berlapis emas. Tapi isinya… bisa jadi bahan bakar bagi jiwa yang sedang tumbuh.

Gerald tersenyum kecil.

"Sedang apa kau?"

Gerald membeku sejenak... alu berbalik cepat, jantungnya nyaris loncat ke tenggorokan. Tapi saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit lega.

“Huh… Paman,” desahnya pelan, menyelipkan buku ke belakang punggung seperti anak kecil yang baru saja tertangkap mencuri kudapan. “Kupikir tadi siapa.”

Kanel melangkah masuk dengan tangan bersilang, alisnya terangkat ringan. “Kau terlihat mencurigakan,” ucapnya santai. “Kau sedang mencari apa, hm?”

Gerald menyipitkan mata, lalu mendekat sedikit. “Paman… jangan bilang pada siapa pun, oke?”

Kanel menatapnya, mulai tertarik. “Tergantung.”

“Aku ingin… memberi buku pada Daren,” ujar Gerald pelan, hampir seperti membisikkan rahasia negara.

Kanel diam sejenak. Matanya menyapu wajah keponakannya itu, lalu tertawa kecil, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Tumben sekali. Kau biasanya tidak tertarik urusan... semacam itu.”

Gerald mendengus. “Semacam apa?”

“Ya… urusan dengan perempuan,” jawab Kanel santai, nada menggoda menyusup di suaranya.

“Paman!” Gerald buru-buru menatap ke arah pintu, memastikan tidak ada yang menguping, lalu menunduk sambil memijit pelipis. “Ini bukan seperti itu. Ini hanya... dia butuh ini.”

Kanel tersenyum tipis. “Tentu saja, tentu saja.”

Gerald melotot. “Jangan dibuat aneh.”

“Baiklah,” kata Kanel sambil mengangkat tangan menyerah. “Mulia sekali, Putra Mahkota ingin memberi buku pada seorang kesatria muda karena alasan... akademis. Aku mengerti.”

Gerald menghela napas panjang, lalu menatap buku itu lagi. “Dia... sudah cukup terluka. Tapi semangatnya menyala. Dan aku rasa... mungkin... dia akan menjadi seseorang yang luar biasa suatu hari nanti.”

Kanel menatapnya lama, lalu tersenyum. “Kau mulai bisa menilai manusia, Gerald. Bukan hanya posisi dan darah mereka.”

Gerald tak menjawab, hanya memeluk buku itu lebih erat. “Jangan beritahu siapapun,"

“Mulutku terkunci,” ujar Kanel sambil berjalan keluar. “Tapi jika suatu hari nanti dia melindungimu dalam pertempuran... aku akan pastikan semua orang tahu siapa yang memberikan buku setebal itu.”

“Paman!”

Lalu Kanel tertawa pelan, suaranya menghilang di balik rak buku, sementara Gerald berdiri di tengah lorong, memandangi pintu itu dengan wajah setengah jengkel, setengah… malu.

Ia berjalan keluar dari perpustakaan menuju Barak. Gerald berjalan melewati lorong istana.

Di balik salah satu tembok batu, Gerald berdiri, tegak, diam, dan… jelas tidak nyaman.

Ia melirik ke arah pintu masuk barak, lalu menatap buku bersampul biru tua di tangannya. Jemarinya mengetuk-ngetuk bagian tepinya, gelisah. Gerald bukan orang yang pandai dalam "menyerahkan sesuatu". Apalagi jika itu diberikan karena perhatian.

Langkah kaki terdengar.

Ia menajamkan pendengaran, mengenali suara itu, ringan, teratur, seperti seseorang yang sudah terbiasa menjejak tanah tanpa membuat gaduh. Daren.

Gerald menahan napas. Ia tahu ritme langkah itu. Tepat dan ringan. Seperti milik seseorang yang selalu waspada, tapi mencoba tidak mencolok.

Begitu Daren melintas di koridor sempit, tangan Gerald muncul dari bayang-bayang, menarik pergelangan tangannya dengan cepat.

“Eh—!” Daren nyaris berseru, namun segera dibungkam oleh jari telunjuk yang terarah ke bibirnya.

“Maaf,” gumam Gerald pelan. Wajahnya setengah tersembunyi oleh bayangan, namun matanya serius. “Ini, untukmu. Jangan tanya kenapa.”

Ia menyodorkan buku itu, tebal, berat, dan tampak sangat mahal.

Daren menatapnya, lalu pada buku itu. “Pangeran… saya tidak bisa menerima ini. Saya...” katanya lirih. “Ini terlalu...”

“Sssstt.”

Jari itu kembali mengisyaratkan diam. Gerald menoleh sedikit, memastikan tidak ada prajurit yang melintas. Lalu ia kembali menatap Daren, kali ini dengan suara yang lebih tenang, nyaris seperti bisikan.

“Kalau ada yang melihat kita, apalagi kau menerima sesuatu langsung dariku… bisa jadi bahan pembicaraan. Dan itu… bisa membahayakanmu.”

Daren membisu. Matanya berkedip gugup.

“Hidup ini bukan cuma tentang pedang,” lanjut Gerald, suaranya kini lebih pelan tapi mengandung tekanan lembut. “Menulis. Membaca. Menganalisa. Itu semua bisa memperkuat dirimu… bahkan saat pedangmu terjatuh.”

Lalu ia menambahkan, dengan nada lebih keras, “Jadi… ambil saja.”

Daren menerima buku itu dengan kedua tangan. Beratnya membuat ia sedikit menunduk, tapi matanya berbinar.

“Apa ini… tidak apa-apa?” tanyanya pelan, seolah berharap hadiah itu tidak akan ditarik kembali.

Gerald menggeleng, bibirnya bergerak ringan. “Kalau aku tidak ingin memberikannya, kau pikir aku akan berdiri di sini seperti maling bodoh?”

Daren terdiam sejenak. Lalu senyum kecil tumbuh di wajahnya. Bukan senyum yang dipaksakan, bukan juga senyum kemenangan. Tapi senyum seseorang yang... dihargai.

“Terima kasih, Pangeran… saya benar-benar… berterimakasih.”

Gerald mengangguk kecil, dan berbalik hendak pergi. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut namun pasti menghentikannya.

“Saya janji…” kata Daren, dengan nada yang hampir seperti sumpah. “Saya akan belajar. saya akan berlatih. Agar suatu hari… saya bisa melindungi Pangeran. Dan orang-orang yang pantas dilindungi.”

Gerald tidak menoleh. Tapi dari cara tubuhnya diam, jelas ia mendengarnya. Dan saat ia kembali melangkah, ada senyum samar, tipis, namun nyata... yang muncul di wajahnya.

“Kalau begitu…” gumamnya tanpa menoleh, “jangan terlalu lambat. Waktuku tidak banyak untuk menunggu.”

Gerald tidak menoleh, tapi bibirnya sedikit tertarik ke satu sisi.

Dan ia pun melangkah pergi, meninggalkan Daren di koridor itu yang memeluk buku seperti... sesuatu yang sangat berharga.

1
Duchess
Woy Therando, ma gua aja dansanya😭😭
piuuu
sapa yg naro bawang disinii 😭🥺
Anonymous
gak nyangka Jaden bisa ngomong terbata-bata👀👀
Na_!na: manusia ka, sama-sama makan nasi☺☺
total 1 replies
__Taezhint
ceritanya keren+seru
__Taezhint
black or blonde?
piuuu
uda la pulang yu pulang 😭
piuuu
biasaa pahlawan datengnya akhirran
piuuu
smngtt kalian 🥺❤️
piuuu
resah bngt gua thorr 😭
piuuu
fyona 😭🫰
piuuu
😍😍
piuuu
petrus suruh resign aja thor 🙏
piuuu
gelisah bangt bacanya 😭😭😭
piuuu
petrus petantang petenteng bngt 😭🤏
piuuu
ampun dah si beston nyari burung doang repot nya kaya emak" 😭
piuuu
kanell 😍
piuuu
jenderal aldren moga hari mu senin trus 🤗
piuuu
petruss si paling sempurna. iya 🙄
piuuu
🥺🥺
piuuu
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!