Terpaksa Bertukar Suami

Nathali keluar dari rumah sakit dengan kedua sudut bibir yang terangkat. Setelah mengetahui kondisi janinnya perasaan khawatir yang sejak malam tadi menghantuinya hilang saat itu juga. Karna dua hari kemarin dia sempat mengalami pendarahan akibat kelelahan menurut penjelasan dokter. Usia kandungannya pun saat ini sudah masuk di Minggu ke 13.

"Syukurlah kamu baik-baik saja, sayang. Maafkan mama yang sering memaksa kamu ikut aktivitas yang melelahkan. mama janji mulai hari ini mama nggak akan kecapean lagi demi kamu" Nathali melangkahkan kakinya keluar dari area rumah sakit.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat orang yang sudah membuat janji temu dengannya berada di rumah sakit yang sama.

"Khumaira?" panggil orang tersebut

"Tuan, Rendra" balas Nathali seraya menoleh ke arah Rendra.

"Kebetulan sekali kita bertemu disini. Ada yang sakit?"

"Ah tidak..saya baru saja selesai periksa kandungan. Anda sendiri?"

"aku menjenguk teman yang sakit" balas Rendra

"Begitu ya"

"Bagaimana kalau kita ke cafe bersama?" tawar Rendra"apa tidak merepotkan?" Nathali merasa tidak enak hati pada Rendra."tentu saja tidak, lagian kita ketempat yang sama" Rendra tersenyum ramah seperti biasanya.

Selama beberapa bulan di Surabaya, Rendra sering membantu Nathali dalam hal mempromosikan hasil lukisan Nathali. bahkan selama ini banyak orderan yang direkomendasikan oleh pria tersebut.

"Jadi dia datang bersama suaminya.. bagaimana bisa tadi aku sempat berpikir jika wanita itu adalah istri Arcelio. Konyol sekali, sudah tau istri Arcelio ada di Bogor, bukan surabaya" ujar Vano yang masih terus memperhatikan Nathali dari ruangan Farmasi. Kemudian pria itu mengangkat kedua bahunya dan beranjak pergi dari sana.

Sedangkan Nathali dan Rendra sudah menuju ke tempat mereka yang sudah melakukan janjian sebelumnya.

Rendra Mahardika, seorang aktor terkenal yang memiliki postur tubuh tinggi tegap. Baik, menganggap Nathali seperti adiknya sendiri.

"Jangan terlalu formal, panggil saja kak Rendra, sepertinya umur kamu sama seperti mendiang adikku" kata Rendra ketika mereka sudah sampai di cafe yang tidak jauh dari rumah sakit.

"Iya..kak Rendra"

Nathali bersyukur tuhan mempertemukannya dengan orang-orang baik, selain Bu Salma, sekarang ada Rendra yang sudah menganggapnya seperti adik sendiri.

"Jadi, mamaku minta untuk di lukiskan sebuah foto keluarga yang ada wajah mendiang adikku," Rendra memperlihatkan foto sang mama, papa juga mendiang adiknya.

"Baiklah, aku akan mengusahakan melukis yang terbaik, kak" balas Nathali seraya memperhatikan satu persatu foto yang Rendra tunjukkan.

"Loh, ini kan bu Diana" ujar Nathali saat melihat foto seorang wanita paruh baya yang pernah dia temui di hotel pantura beberapa waktu lalu...

"Apa kamu mengenal mama?"

"Kenal, waktu itu aku pernah mengantar pesanan catering milik Bu Diana di hotel bintang pantura. Dan beberapa kali ketemu nggak sengaja. Jadi bu Diana mamanya kak Rendra?"

"Jangan bilang kamu perempuan yang waktu itu menabrak ku di lobi hotel? Astaga, dunia sesempit itu loh"

Rendra masih ingat jelas kejadian waktu di lobi hotel pagi itu. Dirinya sedang terburu-buru untuk mendatangi meeting mendadak, namun masih diminta sang mama untuk datang ke hotel.

"Jadi..laki-laki yang gak sengaja aku tabrak itu kak Rendra. ya ampun"

Keduanya saling bertukar cerita seperti dua kakak beradik. sikap dan sifat Nathali sama persis seperti mendiang adiknya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Terimakasih sudah mengantar,kak" ujar Nathali kemudian turun dari mobil Rendra.

"Sama-sama. Jaga calon keponakanku dengan baik" balasnya seraya tersenyum.

Rendra kembali melajukan mobilnya lalu melirik Nathali sekilas dari kaca spion. Entah kenapa dia merasa begitu dekat dengan perempuan yang dia kenal tiga bulan terakhir, rasanya Rendra selalu ingin membantu dan melindunginya seperti dia memperlakukannya dulu pada Aisyah adiknya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dikediaman Jonathan, Jesika dan sang mama sedang menikmati teh hangat sambil bercerita.

"jadi maksud mama si Nana pernah datang minta bantuan karna suaminya yang nggak berguna itu kecelakaan yang mengharuskan operasi dan butuh biaya 250 juta?" tanya Jesika pada Indri.

"Iya, Jesi. Malam itu anak sialan itu datang dan memohon sama mama supaya mama mau membantunya membayar uang operasi suaminya yang gak berguna" lanjut mama Indri. dia masih ingat jelas bagaimana Nathali memohon malam itu.

"Lalu mama kasih?"

"Ya nggaklah, biarin saja suaminya itu meninggal karna gak punya biaya. Dengan begitu kan si anak sialan jadi sensara. untung saja malam itu papa tidak ada dirumah" mama Indri menikmati teh hangat yang ada di hadapannya.

"Memangnya kejadiannya kapan, ma? Kok Jesi nggak tau" tanya Jesika yang memang tidak tau mengenai hal ini.

"Sudah lama, sekitar tiga apa empat bulan lalu lah. mama lupa gak cerita sama kamu" ujar mama Indri "yang mama denger katanya sih tabrak lari" lanjut mama Indri lagi yang membuat Jesika sedikit terkejut.

Deg

Jesika terdiam sejenak, ingatannya kembali pada kejadian malam dimana dia sudah menabrak seorang pengendara motor.

"Memangnya dimana kejadiannya, ma?" Tanya Jesika dengan rasa takut yang mulai mengusik pikirannya.

"Jalan merpati nomor lima belas" balas mama Indri lagi. wanita paruh baya itu fokus pada ponselnya sehingga tidak memperhatikan raut wajah Jesika yang mendadak berubah.

Wajah Jesika seketika menjadi pucat pasi. ternyata orang yang sudah dia tabrak malam itu adalah Abian, mantan suami sekaligus adik iparnya.

"Je...Jesi ke kamar dulu ma" kata Jesika dan beranjak dari tempat duduknya. bagaimana jika sampai kejadian malam itu ada yang melihat? karna yang Jesika tau tidak ada orang lagi selain dirinya dan Dave. Jesika memang tidak tau siapa yang dia tabrak, karna mereka langsung pergi begitu saja tanpa melihat keadaan korban.

Ya, Dave. Sebenarnya malam itu Jesika dan Dave sedang menuju hotel seperti biasanya. Namun gagal karna Jesika menabrak orang pengendara motor.

Tanpa Jesika dan mamanya sadari, ternyata sejak tadi ada Riko yang mendengar semua pembicaraan mereka.

"Jadi mas Bian kecelakaan. Pantas saja selama ini aku tidak pernah melihat mereka lagi. Apa mas Bian salamat atau malah sebaliknya" batin Riko yang mulai menghawatirkan Nathali.

"Mama Indri memang keterlaluan!." Pria itu menatap mama mertuanya yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya.

Dttttt....Dttttt..

panggilan masuk dari sekretarisnya mengalihkan perhatian Riko.

"Halo, Cindy. ada apa?"

"Maaf, pak Riko. meeting dengan perusahaan pak Max dimajukan satu jam lagi"

"Baiklah, kamu persiapkan semuanya. saya berangkat ke kantor sekarang"

Riko memutuskan sambungan telponnya, lalu melangkah keluar dari rumah itu.

sebenarnya Riko sudah berangkat beberapa saat yang lalu, hanya saja ketika dalam perjalanan ada barang yang tertinggal dan mengharuskannya kembali kerumah. hal itu yang sudah membuatnya mendengar percakapan antara Jesika dan mama Indri.