NovelToon NovelToon
KEKASIH HALALKU

KEKASIH HALALKU

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Romansa / Tamat
Popularitas:49.9k
Nilai: 5
Nama Author: achamout

Dalam tahap Revisi!!!

Menceritakan seorang gadis introvert dan sangat pemalu yaitu NAFISA ZAHRA FITRIANI. Ia terus merasa insecure dengan dirinya, dan selalu menganggap dirinya tidak pantas untuk siapapun. Namun hal itu berubah ketika seorang pria datang ke dalam hidupnya yang memberi banyak kisah cinta manis dalam hidup nafisa. Pria itu adalah orang yang ditolong nafisa saat ia mengalami kecelakaan mobil, pria itu jatuh hati pada nafisa saat pandangan pertama. dia adalah AZLAN SYARAHIL,seorang ustadz muda yang sangat tampan dan di kagumi semua orang. Ia merasa nafisa telah mengambil hatinya dengan kesederhanaannya yg tidak ia temukan pada wanita manapun.

"Cintamu menyempurnakan diriku"

_NAFISA ZAHRA FITRIANI

"Aku mencintaimu itu bukan tanpa alasan, tapi karena kesederhanaanmu yang tiada kutemukan pada orang selain dirimu "

_AZLAN SYARAHIL

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Ustadz Azlan sedang berada di dalam supermarket, dengan keranjang belanja di tangan, matanya sibuk mencari sesuatu di rak. Tugasnya kali ini cukup unik, membeli pembalut sesuai permintaan Nafisa. Namun, ia malah terjebak di antara berbagai merek dan jenis yang membuatnya bingung.

"Pembalutnya banyak jenisnya, aku nggak tahu harus pilih yang mana," gumam Ustadz Azlan sambil menggaruk kepalanya.

Seorang ibu-ibu yang kebetulan sedang berbelanja di dekatnya melihat kebingungan di wajah Ustadz Azlan. Dengan ramah, ia menghampiri.

"Mas, lagi nyari apa kok kelihatan bingung banget?" tanya ibu tersebut.

"Ini, Bu. Saya disuruh istri beli pembalut, tapi nggak tahu yang dia maksud itu yang mana," jawab Ustadz Azlan, terdengar polos.

"Oh, buat istri ya? Kalau saran saya, pilih Softex Daun Sirih aja, Mas. Biasanya nyaman dipakai," ucap ibu itu memberikan saran dengan percaya diri.

"Yang benar, Bu?"

"Iya, Mas. Saya sendiri pakai itu, dan bagus kok," jawab si ibu sambil tersenyum.

"Baiklah, kalau gitu saya ambil yang ini aja. Terima kasih ya, Bu, atas sarannya," ucap Ustadz Azlan sambil mengambil Softex Daun Sirih dari rak dan langsung menuju kasir untuk membayar.

Setelah urusan belanja selesai, ia berjalan menuju pintu keluar. Namun, di pintu supermarket, langkahnya terhenti ketika seorang wanita memanggilnya.

"Alan?"

Ustadz Azlan menoleh, mendapati seorang wanita berdiri di hadapannya. "Eh, Sasya," ucapnya, sedikit terkejut.

"Udah lama banget nggak ketemu. Kamu apa kabar, Lan?" tanya Sasya, suaranya penuh antusias.

"Alhamdulillah, saya baik. Kamu sendiri gimana?"

"Aku juga baik. Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu lagi belanja, ya?" Sasya tersenyum, matanya penuh harap.

"Iya, Kamu sendiri lagi apa di sini?" tanya Ustadz Azlan singkat, berusaha menjaga jarak.

"Aku mau belanja bahan- bahan dapur. Eh, kamu ada waktu nggak? Kita ngobrol bentar yuk," ajak Sasya dengan nada manja.

"Maaf, Sya. Saya harus pulang. Ada urusan di rumah. Mungkin lain kali saja. Assalamualaikum," ucap Ustadz Azlan tegas, tanpa memberi celah untuk obrolan lebih panjang. Ia segera berlalu menuju mobilnya.

Sasya hanya bisa menatap kepergiannya, kecewa namun tetap tersenyum kecil. "Kamu memang nggak pernah berubah, Alan. Selalu menjaga jarak dari wanita. Tapi itu justru yang bikin aku nggak bisa berhenti suka sama kamu. Aku nggak akan menyerah, Alan. Aku pasti bakal dapetin hati kamu," ucapnya dengan penuh keyakinan.

🌻🌻🌻🌻

Setelah sampai di rumah, Ustadz Azlan segera masuk dan memanggil istrinya.

"Assalamualaikum, Sayang... Sayangggg, kamu dimana?" serunya.

"Waalaikumussalam, Mas," jawab Nafisa dari ruang tamu.

Ustadz Azlan melangkah ke ruang tamu dan melihat Nafisa sedang duduk di lantai sambil bermain dengan seekor kucing berbulu tebal.

"Kamu lagi ngapain, Sayang?" tanyanya sambil melepas sepatu.

"Nggak ngapa-ngapain, Mas. Nafisa lagi main sama Molly," jawab Nafisa sambil mengelus kucingnya dengan lembut.

"Molly? Siapa Molly?" Ustadz Azlan mengernyitkan dahi, penasaran.

"Ini, Mas. Kucing yang Nafisa gendong. Nafisa kasih nama dia Molly."

"Oh, ini kucing yang semalam, ya?" tanya Ustadz Azlan sambil mendekat.

"Iya, Mas. Lihat deh, bulunya lebat, bersih, lucu banget! Gemoy banget, kan?" Nafisa tersenyum lebar sambil mencium kepala kucing itu dengan gemas.

Ustadz Azlan duduk di samping Nafisa, menatap kucing itu sejenak sebelum berkata, "Tapi ada yang lebih lucu dan gemoy dari kucing ini."

Nafisa mengerutkan kening, penasaran. "Siapa?"

"Kamu," jawab Ustadz Azlan sambil menoleh hidung istrinya dengan lembut.

Nafisa tertawa kecil. "Hahaha, Mas bisa aja. Gombalnya kebangetan!"

"Mas serius, kok."

"Iya, iya. Yang penting Mas senang aja, ya," balas Nafisa sambil menirukan gaya bicara khas suaminya.

Ustadz Azlan terkekeh mendengar itu. "Udah pintar ya, ledekin Mas sekarang."

"Ya kan Mas yang ngajarin," jawab Nafisa santai sambil terus mengelus Molly.

"Ya sudah, ini pesanan kamu tadi," kata Ustadz Azlan sambil menyerahkan kantong plastik hitam kepada Nafisa.

"Maaf ya, kalau pilihan Mas nggak sesuai. Tadi pas beli, Mas bingung karena jenisnya banyak banget, dan Mas nggak tahu biasanya kamu pakai yang mana. Untung ada ibu-ibu yang nyaranin Mas buat ambil yang itu. Katanya sih, nyaman kalau pakai yang itu,"

Nafisa membuka kantong itu dan tersenyum. "Makasih ya, Mas. Pilihan Mas tepat banget, lho. Biasanya Nafisa juga pakai pembalut ini."

"Syukurlah kalau kamu suka," ucapnya lega.

Nafisa mengangguk kecil sambil tersenyum. "Makasih ya, Mas, udah repot-repot beliin."

"Iya, Sayang. Sama-sama."

Nafisa pun bangkit dari duduknya. "Kalau gitu, aku mau mandi dulu, ya. Aku titip Molly sebentar ya Mas."

"Iya, Sayang. Santai aja," jawab Ustadz Azlan.

Nafisa mencium kepala Molly sekali lagi sebelum meletakkannya di pangkuan Ustadz Azlan. "Main dulu sama Mas Azlan, ya. Nanti kita main lagi!" Nafisa tersenyum, lalu beranjak pergi.

Namun langkahnya terhenti ketika Ustadz Azlan memanggil. "Sayanggg..."

Nafisa menoleh. "Iya, kenapa, Mas?"

Ustadz Azlan menunjuk pipinya. "Masnya?"

"Masnya apa?" Nafisa tampak bingung.

"Ciumnya, dong. Masa yang dicium cuma kucing doang?" keluh Ustadz Azlan dengan nada manja.

Nafisa terkekeh. Bukannya menuruti permintaan itu, ia malah lari menaiki tangga menuju kamar sambil tertawa kecil.

Melihat itu, Ustadz Azlan hanya bisa menghela napas dan cemberut. Ia menatap Molly yang kini duduk manis di pangkuannya.

"Enak banget kamu, Mol. Baru sehari di sini udah dicium gemas sama istri saya. Sementara saya? Minta aja nggak dikasih."

Ia mengelus Molly dengan lembut, meski tetap merasa sedikit kesal. "Kamu tahu nggak, Mol? Hidup ini nggak adil banget kadang."

Molly hanya mengeong pelan seolah paham, sementara Ustadz Azlan tertawa kecil sendiri.

🌻🌻🌻🌻

Bimo tengah duduk di sebuah kafe sambil menikmati kopi hangat. Ia menunggu seseorang yang tadi mengajaknya bertemu.

“Bim!” sapa seorang perempuan yang langsung menghampiri Bimo dan duduk di kursi di depannya.

“Sya…” balas Bimo sambil tersenyum tipis.

“Maaf ya, lo udah lama nunggu gue?” tanya perempuan itu. Namanya Sasya, perempuan yang sebelumnya bertemu dengan Ustadz Azlan di supermarket.

“Tenang aja, nggak lama kok. Eh, lo kapan tiba di sini?” tanya Bimo sambil menyesap kopinya.

“Baru kemarin, Bim. Maaf ya baru sempat nemuin lo sekarang.”

“Ah, nggak masalah, Sya. Lo sehat kan?”

“Sehat dong, seperti yang lo lihat sekarang. Lo sendiri gimana, Bim?”

“Alhamdulillah, sehat juga. Eh, ada apa nih ngajak gue ketemuan?”

Sasya tersenyum kecil sebelum menjawab. “Gue tadi ketemu Alan.”

“Oh ya? Di mana?” tanya Bimo, sedikit terkejut.

“Di supermarket. Bim, dia tambah ganteng aja ya,” jawab Sasya sambil tersenyum cerah. Matanya berbinar penuh kekaguman.

Mendengar itu, Bimo mengernyitkan kening. “Lo masih ada perasaan sama Alan?” tanyanya hati-hati.

Sasya mengangguk kecil sambil tersenyum. “Mmm… iya.”

Bimo mendadak diam. Ekspresinya berubah menjadi datar.

“Kenapa lo nanya gitu?” tanya Sasya curiga melihat perubahan ekspresi Bimo.

“Nggak apa-apa. Tapi, saran gue, jangan terlalu berharap sama Alan, deh. Takutnya nanti lo kecewa.”

“Kecewa kenapa? Dia udah punya pacar? Kalau lo bilang iya, gue nggak akan percaya. Alan kan orangnya alim banget, mana mau pacaran,” ucap Sasya sambil tertawa kecil.

Bimo hanya menatapnya tanpa menjawab. Dalam hati, ia bergumam, “Andai lo tahu kalau Alan udah punya istri, Sya.” Tapi ia memilih diam, tak ingin membuat Sasya kecewa atau sakit hati.

“Lho, kok lo diam aja?” tanya Sasya yang mulai merasa aneh dengan sikap Bimo.

“Nggak, nggak. Eh, lo sekarang mau tetap tinggal di Jakarta atau balik ke Australia lagi?” Bimo mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Gue mau menetap di sini, Bim. Gue udah selesai kuliah di sana, jadi mending cari kerja di Jakarta aja sambil tinggal di rumah papa-mama. Kan rumah itu udah lama kosong sejak mereka meninggal, dan nggak ada yang ngurus.”

“Oh, gitu… Lo udah kasih tahu om lo kalau nggak mau balik ke sana lagi?”

“Udah. Om gue juga setuju. Dia bilang, lebih baik gue tinggal di sini biar rumah papa-mama nggak terbengkalai lagi.”

Bimo mengangguk pelan, mengerti alasan Sasya. “Sekarang, lo ada rencana kerja di mana?”

“Belum tahu, Bim. Eh, ngomong-ngomong, lo kerja di mana?”

“Gue kerja di perusahaannya Alan,” jawab Bimo singkat.

Sasya terlihat terkejut. “Serius? Alan punya perusahaan?”

“Iya. Dia sekarang udah sukses, Sya. Jadi bos besar.”

“Wah, keren banget! Gue boleh tahu nggak nama perusahaannya? Atau… gimana kalau gue lamar kerja di sana aja?” ucap Sasya antusias.

Bimo terdiam sejenak, berpikir. “Kalau Sasya sampai kerja di perusahaan Alan, pasti bakal jadi masalah besar. Dia kan suka sama Alan, sementara dia belum tahu Alan udah punya istri.”

“Bim, kok lo ngelamun sih? Gue nanya boleh apa nggak?” tanya Sasya, menyadarkan Bimo dari lamunannya.

“Eh, bukan gitu, Sya. Tapi kayaknya di perusahaan Alan nggak ada lowongan kosong, deh. Udah penuh semua. Mending lo coba lamar di tempat lain aja.”

“Ih, kok gitu sih? Ya udah, kalau nggak bisa kerja di sana juga nggak apa-apa. Tapi gue pengen tahu dong perusahaan Alan di mana. Boleh kan?” Sasya terus mendesak.

Bimo akhirnya pasrah. “Iya, boleh.”

“Besok gue ke rumah lo, ya, terus kita bareng ke tempat kerja lo,” ucap Sasya penuh semangat.

“Besok? Harus besok?” tanya Bimo agak ragu.

“Iya, kenapa emangnya?”

“Y… ya udah deh,” jawab Bimo akhirnya. Dalam hati ia hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.

🌻🌻🌻🌻

Nafisa sedang sibuk menonton televisi dengan kucing kesayangannya, Molly, dipangkuannya. Di sisi lain, Ustadz Azlan baru saja selesai melaksanakan sholat Isya. Ia berjalan mendekat ke arah Nafisa dan duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa, hanya memandanginya dengan tatapan penuh arti.

“Mas, kenapa sih liatin Nafisa kayak gitu?” tanya Nafisa heran, merasa suaminya terus memperhatikannya.

“Mas cuma lagi sedih aja,” jawab Ustadz Azlan dengan wajah lesu.

“Sedih kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?”

“Bukan, ini nggak ada hubungannya sama kantor.”

“Kalau bukan kantor, terus apa dong?” Nafisa mengernyitkan kening, bingung dengan maksud suaminya.

“Kamu.”

Nafisa makin bingung. “Loh, kok aku? Emangnya aku salah apa, Mas?”

“Iya, dari tadi perhatian kamu cuma ke Molly terus. Masnya dianggurin,” ucap Ustadz Azlan dengan wajah cemberut.

“Hah, Mas cemburu sama Molly?” Nafisa terkekeh mendengar ucapan suaminya.

“Kalau iya kenapa?” balas Ustadz Azlan, tetap memasang wajah serius.

“Hahaha, Mas ini lucu banget,” ucap Nafisa sambil tertawa kecil.

“Ya, Mas serius, Sayang. Kamu kapan sih kasih perhatian buat Mas? Masa yang disayang dan diperhatiin cuma kucingnya aja. Mas capek loh kerja seharian, tapi kamu malah nggak perhatian ke Mas,” ucap Ustadz Azlan dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat, berharap istrinya akan mengerti kalau dia sedang ingin dimanja.

Nafisa yang melihat ekspresi sedih suaminya malah tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya sambil membawa Molly keluar kamar.

Ustadz Azlan mengerutkan kening. “Apa aku tadi salah ngomong sampai bikin dia merajuk?” gumamnya dalam hati.

Tak lama, Nafisa kembali ke kamar tanpa membawa Molly. Ia berjalan mendekat ke Ustadz Azlan dan duduk di sampingnya.

“Mas mau apa dari Nafisa? Bilang aja, biar capeknya Mas hilang,” ucap Nafisa lembut sambil menatap suaminya.

Mendengar pertanyaan itu, wajah Ustadz Azlan langsung cerah. Ia tersenyum dan berkata, “Mau minta dipeluk, boleh?”

Nafisa tersenyum lembut. “Boleh,” jawabnya singkat, lalu langsung memeluk tubuh suaminya.

Ustadz Azlan tersenyum bahagia. Ia membalas pelukan istrinya dengan erat, menyandarkan dagunya di bahu Nafisa sambil menghirup aroma tubuh istrinya yang wangi.

“Kasihan habibinya Nafisa, lelah banget kerja seharian,” ucap Nafisa sambil mengusap lembut punggung Ustadz Azlan.

“Iya, Humairah. Tapi capeknya langsung hilang kalau kamu peluk Mas seperti ini,” balas Ustadz Azlan, semakin mengeratkan pelukannya.

Nafisa tersenyum mendengar ucapan itu. Mereka berdua menikmati hangatnya pelukan satu sama lain, merasakan ketenangan yang hanya bisa mereka temukan dalam kebersamaan.

1
𝙈𝙞𝙖 📚🛍
Lumayan
𝙈𝙞𝙖 📚🛍
Luar biasa
Yuyun Rohimah
next
Yuyun Rohimah
next Thor
Yuyun Rohimah
next
Yuyun Rohimah
next Thor
Yuyun Rohimah
next
Widya Herida
bagus banget ceritanya kk
Widya Herida
lanjutkan kk
Yuyun Rohimah
lanjut Thor
Yuyun Rohimah
next
Yuyun Rohimah
next Thor
Yuyun Rohimah
next
Yuyun Rohimah
next Thor
Yuyun Rohimah
next
Yuyun Rohimah
next Thor
Yuyun Rohimah
next
Mukmini Salasiyanti
lanjutttt, Lan...
Mukmini Salasiyanti
serruuuuuu
Mukmini Salasiyanti
salken, ustadz
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!