Akibat memiliki masalah ekonomi, Gusti memutuskan bekerja sebagai gigolo. Mengingat kelebihan yang dimilikinya adalah berparas rupawan. Gusti yang tadinya pemuda kampung yang kolot, berubah menjadi cowok kota super keren.
Selama menjadi gigolo, Gusti mengenal banyak wanita silih berganti. Dia bahkan membuat beberapa wanita jatuh cinta padanya. Hingga semakin lama, Gusti jatuh ke dalam sisi gelap kehidupan ibukota. Ketakutan mulai muncul ketika teman masa kecil dari kampungnya datang.
"Hiruk pikuknya ibu kota, memang lebih kejam dibanding ibu tiri! Aku tak punya pilihan selain mengambil jalan ini." Gusti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 - Kehidupan Pribadi Elang
Kepala Gusti tertunduk. Karena merasa berbuat salah, dia jadi mengingat keluarganya di kampung. Apa jadinya mereka kalau mengetahui yang dilakukan Gusti sekarang di kota?
"Kenapa bengong? Teringat keluarga di kampung?" tegur Elang. Dia bisa melihat ekspresi wajah Gusti yang mendadak berubah.
"Bagaimana dengan keluargamu, El? Apa kau tidak memikirkan mereka saat melakukan pekerjaan itu?" tanya Gusti.
"Ya enggaklah. Lagian siapa yang marah? Orang sejak kecil aku nggak punya orang tua," sahut Elang.
"Benarkah?" Gusti penasaran. Mengingat Elang tidak pernah menceritakan kehidupan pribadinya sampai sekarang.
"Iya. Aku anak yatim piatu, Gus. Ya anak sepertiku kadang punya keuntungan. Termasuk tidak ada yang melarang saat aku melakukan sesuatu hal buruk," ungkap Elang. Dia menyodorkan rokoknya untuk Gusti. Bermaksud menawarkan rokok tersebut.
"Nggak. Aku nggak merokok," tolak Gusti.
Elang mengangguk. Kemudian kembali menyesap rokoknya.
"Berarti, sejak kecil kau tinggal di panti asuhan ya?" tanya Gusti.
Elang menatap dengan sudut matanya. Dia berkata, "Kepo banget. Aku malas kalau bicarain masalah pribadi!"
"Cuman tanya doang," balas Gusti. Tanpa sadar, hubungannya dan Elang kembali membaik.
"Oh iya. Kau suka sama Widy? Apa karena itu kau marah banget sama kami?" selidik Elang.
"Dulu iya. Sekarang kayaknya udah nggak. Orang Widy-nya suka sama kamu kok!" balas Gusti sinis. Ia ikut menyandarkan pinggul ke depan wastafel.
"Tapi orang sepertimu pasti bisa bikin dia oleng. Aku memang tampan, tapi aku tahu kau lebih tampan. Mukanya tipe yang disukai kebanyakan cewek," tukas Elang. Dia sudah membuat rokoknya pendek. Elang segera mematikan rokok tersebut.
"Gila! Kau emang mau biarin Widy dekat sama aku?" Gusti heran dengan perkataan Elang.
"Kau pikir aku cinta sama dia? Itu cuman nafsu, Gus. Cowok mana coba yang nggak suka sama cewek kayak dia." Elang melakukan pembelaan dengan tenang.
Gusti tercengang. Dia mengepalkan tinju di kedua tangan. "Kau emang bajingan!" timpalnya.
"Aku nggak bisa membantah. Tapi semua cewek itu suka uang, Gus. Kalau kita kasih mereka uang dan barang bermerek yang banyak, maka habislah sudah. Mereka bakalan kasih dirinya ke kita. Aku sudah pacari banyak cewek, dan itulah yang terjadi." Elang bercerita panjang lebar.
"Tapi nggak semua cewek begitu!" Gusti beranjak dari toilet lebih dulu.
"Gus!" Elang tiba-tiba memanggil. Membuat langkah kaki Gusti sontak terhenti. Lelaki itu lantas menoleh.
"Malam besok mau ikut aku nggak? Aku mau kenalin kamu sama teman-temanku," imbuh Elang.
"Teman-temanmu?" Gusti mengerutkan dahi.
"Ya, teman-teman yang memiliki pekerjaan sepertiku," ucap Elang. "Aku nanti akan menjemputmu ke kostan," sambungnya.
Gusti tak menjawab. Dia kembali melangkah sambil memasang kernyitan di kening. Gusti sebenarnya meragu. Apalagi saat terpikirkan keluarganya di kampung.
Hari itu Gusti pulang dari kuliah saat jam tujuh malam. Kebetulan dia menghabiskan banyak waktu di perpustakaan karena harus mengerjakan tugas.
Ketika tiba di kostan, suasana begitu sepi. Gusti berjalan menuju kamar sambil memegangi ponsel. Ia mendapat pesan dari Rilly kalau ada wanita yang ingin membayarnya. Kabar mengenai Gusti sebagai pekerja baru sepertinya sudah menyebar luas di kalangan para wanita haus gairah itu.
"Hai, Gus!" suara wanita sukses mengalihkan atensi Gusti dari layar ponsel.
"A-ana?" Mata Gusti membulat saat melihat sosok Ana di hadapannya. Apalagi perempuan itu hanya mengenakan tank top dan celana pendek sepangkal paha.