Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Hujan
Aoxue menggandeng lengan Sean dengan erat saat mereka melangkah menuju mobil yang akan mengantar mereka kembali ke stasiun.
Di belakang mereka, kepala keluarga Shinomiya berdiri dengan senyum hangat bercampur sedih.
"Terima kasih telah datang, Sean," ucapnya dengan suara berat namun tulus.
Sean, yang kini hanya merasa bingung karena tidak sepenuhnya mengerti alasan atas penghormatan itu, hanya membalas dengan anggukan sopan.
"Tentu, terima kasih juga sudah menerima kami, saya bahkan tidak yakin kenapa kita datang ke sini, tapi rasanya lega saja."
Aoxue tersenyum dan matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena kesedihan.
"Kita cuma menyelesaikan satu peliputan kecil, kan? Dan kamu sempat istirahat juga, sekarang waktunya kita pulang," katanya lembut, mencoba menjaga nada suara tetap ringan.
Kepala keluarga Shinomiya menatap keduanya hingga mobil perlahan menjauh dari pelataran.
Tatapan itu menua bersama kenangan, bersama keputusan yang tak bisa diubah.
"Maafkan kami, Liliana mungkin ini satu-satunya jalan agar dia tetap hidup."
...----------------...
Sean menatap keluar jendela, melihat cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu.
Sebuah rasa kosong yang aneh masih menggantung dalam dadanya, namun tak bisa ia pahami asalnya.
"Aoxue?" katanya tiba-tiba, membuat Aoxue menoleh cepat.
"Ya?"
"Aku merasa pernah kehilangan seseorang, tapi aku nggak tahu siapa, tapi anehnya, saat aku menoleh ke belakang yang aku lihat hanya kamu. Jadi, mungkin memang bukan siapa-siapa ya?"
Aoxue terdiam, hatinya remuk, namun sekaligus berdebar.
Dia tahu bahwa ucapan Sean bukan sepenuhnya kebohongan, tapi itu juga bukan sepenuhnya kebenaran.
Dia menggenggam tangan Sean, menguatkan dirinya sendiri untuk menjadi wanita yang akan menggantikan sosok yang telah dilupakan itu.
"Kalau suatu hari kamu ingat dan kamu merasa sakit karenanya, biar aku jadi orang yang nemenin kamu sampai sembuh," bisiknya, hampir tak terdengar.
Sean tersenyum samar. "Terima kasih, Aoxue."
...----------------...
Liliana duduk sendiri di bangku taman batu, di tempat yang tak bisa dijangkau siapa pun, kecuali mereka yang telah terikat oleh takdir yang pecah.
Namun kini, bahkan takdir pun terasa jauh dari jangkauannya.
Udara di sekitarnya mulai berubah, tidak dingin, tidak hangat, tapi mulai memudar.
Daun-daun yang biasanya gugur secara perlahan kini tak lagi menyentuh tanah.
Mereka lenyap di udara, seolah waktu sendiri sedang kehilangan keyakinannya untuk berjalan.
"Aneh?" Liliana menatap tangannya. Jemarinya, mulai terlihat samar.
Seolah tubuhnya kehilangan garis batas dengan dunia ini, transparan hingga terasa tak lagi berbobot.
Dia menggenggam buku lusuh itu lebih erat, "Dia yang Memberiku Semangat" dan jantungnya berdetak lemah saat menyadari sesuatu.
"Sean kamu sudah?" air mata menetes langsung membasahi pipinya.
Suaranya tercekat, bukan karena dia tak mampu berkata-kata, tapi karena hatinya sendiri menolak mengakuinya.
"Kau sudah melupakank, yah?"
Matanya bergetar, tubuhnya yang perlahan hilang terasa seperti es yang mencair tanpa bisa ditahan. Wujudnya tak hanya tak bisa dilihat oleh dunia, tapi kini juga oleh dirinya sendiri.
"Kalau kau melupakanku, berarti aku?"
Dia tak sanggup menyelesaikan kalimat itu.
Hening, tidak ada angin, tidak ada hujan, bahkan tidak ada gema dari suara tangisnya yang nyaris keluar.
Dia melihat sekelilingnya dan taman itu juga mulai pudar. Tempat-tempat yang dulu menjadi rumah bagi kenangan mereka berdua kini mulai menghilang satu per satu seperti coretan kapur yang diseka air.
"Aku akan lenyap?" bisiknya akhirnya.
"Dan kau tidak akan pernah tahu bahwa aku pernah ada."
"..."
Namun meski samar, dan meski jiwanya nyaris pudar, dia tetap membuka buku itu sekali lagi.
Tangannya gemetar saat menyentuh halaman pertama yang kini mulai usang di tengah waktu yang runtuh.
Dan di sana di lembar pertama, dia menulis satu kalimat dengan ujung jari yang mulai tembus pandang, "Kalau suatu hari kau ingat aku, meski hanya sekejap maka aku masih ada, aku akan menunggu, selalu akan menunggu mu, di keabadian ini!"
Langkah Liliana mulai goyah.
Kakinya hampir tidak menyentuh lantai dari dunia yang bahkan tidak bisa disebut dunia lagi, ia merasa kosong dan semakin lama, keberadaannya mulai semakin menipis.
Ia nyaris tidak lagi mendengar gema dari hatinya sendiri, hanya satu hal yang masih bertahan di dalam dirinya—nama itu.
Ya, nama Sean.
"Apakah, dia benar-benar telah melupakanku?"
Bisikan itu melayang di benaknya sendiri, seperti kabut.
Dan saat rasa putus asa itu hampir menelan seluruh dirinya, sinar putih lembut muncul perlahan, membentuk wujud yang tidak menyilaukan, tapi cukup kuat untuk menusuk hati Liliana dengan kehangatan yang asing.
Wujud itu berjalan pelan dan wajahnya, terlihat sangat mirip dengan Sean.
Tapi, ada sesuatu yang aneh, wajahnya tidak menunjukkan pengenalan sama sekali, tidak ada luka, tidak ada keraguan, dan tidak ada beban kehidupan yang biasa Liliana lihat.
Wujud itu bersih, kosong, dan murni.
"Siapa, kamu?" tanya Liliana pelan, takut akan jawaban yang tidak ingin ia dengar.
Wujud itu tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap Liliana dengan mata yang tak membawa kenangan, namun entah kenapa, tatapan itu penuh rasa.
Liliana melangkah mundur, air matanya mengalir pelan.
"Dia, bukan Sean! Tapi, kenapa wajahnya seperti itu? Kenapa hatiku terasa seperti dulu saat aku bersamanya?"
Sosok itu mengulurkan tangan ke arahnya. Seolah sedang menawarkan harapan terakhir dari takdir yang entah milik siapa.
"Apa kamu takdir yang lain? Apakah ada dunia di mana kamu benar-benar mencintaiku tanpa terluka?" tanya Liliana, suaranya lirih.
Wujud Sean tetap diam, tapi cahaya di tubuhnya berkedip perlahan, seakan menanggapi kesedihan di depan matanya.
Liliana pun tersenyum pahit.
Tangisnya semakin deras, namun ada secercah penghiburan.
"Meskipun kamu bukan dia, tapi kamu adalah bagian dari dirinya yang masih tersisa. Itu sudah cukup. Itu sudah cukup untuk membuatku tetap ada."
"Terimakasih, Sean!"
Seketika, keberadaan Liliana yang hampir lenyap mulai bersinar lembut, bukan karena kekuatan, tapi karena rasa dihargai.
Sosok Sean tidak menjawab, tapi langkahnya mendekat, dan perlahan memeluk Liliana.
Pelukan yang kosong dari logika, namun penuh makna dan saat itulah, Liliana menutup matanya, "Mungkin, cinta tidak membutuhkan keutuhan dan mungkin ia hanya butuh tempat untuk kembali."
Cahaya matahari musim panas menusuk mata, keramaian kota bergemuruh di segala penjuru. Suara klakson, tawa anak-anak, dan langkah-langkah cepat para pejalan kaki menjadi harmoni khas ibu kota.
Liliana perlahan membuka matanya.
Ia berbaring di bangku panjang sebuah taman kota. Daun-daun yang menari di tiupan angin menyambut pandangannya yang masih samar.
"Di-mana ini?" gumamnya lemah.
Ia bangkit perlahan, matanya melebar. Bangunan-bangunan tinggi, papan reklame digital yang familiar, dan aroma khas dari gerobak takoyaki di sudut jalan, ini adalah kota Tokyo.
Namun, bukan Tokyo yang ia kenal saat bertemu Sean yang melupakannya, ini adalah tempat yang sama—tepat lima tahun setelahnya, saat dirinya menghilang.
Liliana berdiri terpaku di tengah taman. Jantungnya berdegup cepat, antara kelegaan dan kebingungan. Tangannya meremas gaun putih yang masih ia kenakan, gaun yang ia pakai saat terakhir bertemu Sean.
"Kenapa aku kembali ke sini? Apakah waktu kembali bergerak untukku?"
Ia melangkah perlahan, masih setengah tak percaya.
Orang-orang berlalu-lalang tanpa menyadarinya.
Dunia terus bergerak tanpa mempedulikan kenyataan bahwa seseorang yang seharusnya telah lenyap, kini berdiri di tengahnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda.
Setiap langkah Liliana terasa lebih nyata. Lebih berat. Seolah keberadaannya kini benar-benar kembali menyatu dengan dunia.
"Sean… Sean…" pikirnya, "Dia bukan Sean yang aku kenal, tapi dialah yang membawaku kembali ke sini, bukan?"
Liliana menunduk, air matanya menetes tanpa ia sadari. Entah itu air mata haru atau kehilangan.
"Tapi, Sean yang sebenarnya masih di dunia ini, bukan?"
Ia mengangkat wajahnya, senyum kecil muncul di bibirnya.
"Kota ini, benar-benar terlihat sangat mirip dengan kota di mana aku berjalan bersamanya! Jadi, aku datang lebih awal sebelum dia mengenalku! Ya, pasti seperti itu! Sekarang, jika aku datang dia akan kembali kepada ku, bukan? Sean aku datang!"
Dan dengan langkah ringan namun penuh tekad, Liliana mulai berjalan di tengah keramaian kota Tokyo.
Takdir yang seharusnya lenyap kini mulai menulis ulang dirinya sendiri.