Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersatu
Di pondok, Lestari menatap cermin dengan mata berlinang. Di dalam pantulan, ia tak hanya melihat dirinya, tapi juga semua luka yang ia sembunyikan. Malam-malam menangis sendirian. Pengkhianatan. Ketakutan. Tapi juga… ada keberanian disana
Ia menggenggam cermin erat.
"Kalau kau ingin aku, datang sendiri. Jangan ganggu anakku lagi!" ucapnya penuh tekad.
Jeritan terdengar dari langit-langit kamar.
Ribuan serangga tiba-tiba menghilang . Suara perempuan tua mengerang dari segala arah, seolah tsk terima dengan apa yang dia lihat.
" Jangan kau kira ini adalah akhir! Ini baru permulaan!"
Setelah suara itu menghilang, tiba-tiba…
Dara terangkat dari lantai tempat dia berbaring. Tubuhnya melayang, mata terpejam, mulut bergetar.
Lestari berteriak, mencoba meraih putrinya.
"Dara.... "
Tapi sebelum ia sempat menyentuh Dara, tubuh anak itu disambar cahaya hitam dan menghilang seketika
Langit malam mendadak hening setelah badai serangga itu lenyap. Pondok Lestari kembali terang oleh cahaya lampu yang perlahan menyala kembali. Tapi semua terasa kosong. Sunyi.
"Dara…!" suara Lestari pecah di ujung jeritannya.
Ia berlari ke tengah ruangan tempat putrinya tadi melayang. Udara di sana masih terasa hangat, seperti bekas kehadiran sesuatu yang tak berasal dari dunia ini. Tak ada darah. Tak ada jejak. Hanya lantai kayu yang dingin dan sunyi.
Dimas, yang sudah setengah sadar, bangkit dari pelukan Bu Nurul. "Bunda, Kal Dara di mana…?"
Lestari tak mampu menjawab. Ia hanya memeluk Dimas sambil menangis. Telinganya masih mendengar gema jeritan Dara yang ditelan cahaya hitam.
Bu Dara menatap ke langit-langit. "Dia tidak dihabisi. Dia… dibawa. Masih ada waktu menyelamatkan nya."
"Maksud Bu Nurul? " tanya Lestari dengan suara bergetar.
"Ada sebuah tempat… semacam ruang antara dunia. Tempat jiwa-jiwa tergantung. Kalau kita cepat, kita bisa menariknya kembali."
Lestari mencengkeram bahu Bu Nurul. "Apa yang harus aku lakukan? Aku akan lakukan semuanya!"
Sementara itu, Arman menginjak pedal gas lebih dalam. Mobilnya melaju membelah kabut malam, menyusuri jalan sempit menuju pondok. Napasnya memburu, telapak tangannya basah oleh keringat dingin.
Ponselnya berdering.
"Bu Nurul? A... Ada apa?" suaranya tercekat.
"Dara diambil dan dibawa pergi."
Arman menginjak rem mendadak. Mobil tergelincir beberapa sentimeter sebelum berhenti.
"Apa?!"
"Bukan Melati yang membawanya. Ini makhluk yang lebih tua. Dia datang dari rumah itu dengan begitu cepat. "
Arman menutup matanya sejenak. "Tolong katakan padaku, apa kita masih bisa menyelamatkannya? "
"Kita masih bisa menyelamatkannya. Tapi hanya kalau kalian bertiga melakukannya bersama.x
" Kalian bertiga? maksudnya? "
"Kau, Lestari, dan dia… Melati."
"Apa? "
Arman tak percaya dengan ucapan Bu Nurul. Kenapa harus dengan Melati? Apa wanita itu mau melakuannya, sedangkan semua ini karena ulah dia yang memulainya.
************
Di tempat lain, jauh di luar nalar manusia, Dara terbangun di ruangan yang tak punya dinding. Hanya langit hitam seperti terbuat dari kulit terbakar, dan tanah merah gelap yang seakan berdetak seperti jantung.
Ia duduk di tengah lingkaran api biru. Tubuhnya menggigil. Sosok-sosok tanpa wajah berdiri di sekelilingnya, berbisik dalam bahasa yang tak ia mengerti.
Lalu muncullah dia.
Perempuan tua berjubah kelam, matanya kosong, suaranya lembut seperti buai tidur.
"Kau anak yang istimewa, Dara. Darahmu bersih. Jiwamu bening. Aku bisa melihat masa depan melalui matamu."
Dara menatapnya dengan mata besar dan basah. "Aku mau pulang. Biarkan aku pulang, " tangisnya
Perempuan itu menyentuh kepala Dara dan memaksanya untuk mendongak menatapnya.
"Semua anak bilang begitu di awal. Tapi nanti… kamu akan mengerti. Di sini, kamu tak akan pernah terluka lagi. Kamu akan bahagia, "
Di pondok, Lestari mengganti pakaian dengan gamis bersih, lalu membawa tas kecil berisi Al-Qur’an, air doa, dan cermin pusaka dari bu Nurul. Dimas dipeluk Bu Nurul yang tetap tinggal menjaga pondok.
"Jaga Dimas, Bu. Aku… akan bawa pulang Dara, " ucap Lestari sambil mengusap kepala anaknya.
"Allah bersamamu, Nak, "
Di luar, Arman sudah menunggu di dalam mobil yang menyala. Wajahnya pucat tapi tekadnya membara, dia tidak ingin terjadi sesuatu pada anaknya.
Mereka tak bertukar banyak kata. Luka mereka terlalu banyak untuk dibicarakan malam ini. Tapi tujuan mereka sama, menyelamatkan darah daging mereka.
Setelah perjalanan sejam menembus kabut dan hutan, mereka tiba di tempat yang ditunjukkan Bu Nurul, sebuah goa tua yang tertutup semak-semak. Tak ada peta yang mencatatnya. Tapi Lestari tahu… ia merasa dipanggil ke sana.
"Melati sudah di dalam," kata Arman.
Lestari mematung dan menoleh kearsh suaminya, "Dia mau membantu?"
Arman menatap istrinya. " Aku sudah menghubunginya tadi. Dia tak punya pilihan. Dia juga sedang dihukum. Selama ini dia dalam kendali wanita tua itu. "
Lestari terdiam,
Saat mereka masuk, suara dari dalam goa terdengar seperti napas raksasa. Dindingnya terasa hidup. Tanah bergetar perlahan.
Di dalam, Melati sudah berdiri. Wajahnya berbeda, terlihat lebih tua, lebih lusuh. Tapi matanya menyala. Ia tak melihat Lestari dengan kebencian malam ini. Hanya kepasrahan.
"Aku tak akan minta dimaafkan," katanya pelan. "Tapi tolong… biarkan aku ikut menyelamatkan Dara, "
Lestari menatapnya lekat-lekat. Perempuan ini sudah mencuri segalanya darinya. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia melihat Melati sebagai manusia, bukan iblis.
"Kalau kau berani macam-macam, aku akan bacakan seluruh surat Al-Baqarah di sini," ancam Lestari, setengah gemetar.
Melati mengangguk. "Silahkan. Aku tidak takut apapun saat ini. "
Mereka bertiga melangkah ke tengah goa. Di sana, lingkaran batu berlumut menunggu. Titik masuk ke "antara dunia. "
Arman membuka botol air doa dan menyiramkan isinya ke batu. Asap putih keluar perlahan, membentuk lingkaran putih di tengah ruangan.
"Aku akan bacakan doanya," ucap Lestari.
Melati mengambil liontin tuanya dan menempatkannya di tengah lingkaran.
Arman menunduk. "Kita mulai."
Lestari membaca doa dengan penuh keyakinan. Suara lantangnya menggema di dalam goa. Dari dalam lingkaran, udara mulai berputar cepat. Bayangan keluar-masuk dari pusaran cahaya.
Lalu terdengar suara Ayu, sayup.
“Bunda…”
Lestari nyaris menjatuhkan tasnya. “Ayu! Nak… di mana kamu?”
Tiba-tiba, dari pusaran itu muncul tangan mungil.
Arman langsung meraih, tapi makhluk bermata merah muncul di belakangnya dan menerkam punggung Arman.
Arman terhuyung, berteriak. Darah muncrat.
Melati berteriak, "Lestari! Pegang tangan Dara! Aku yang urus dia!"
Melati berdiri menghadang makhluk itu. Ia mengangkat liontinnya dan mengucapkan satu mantra terakhir, yang terdengar seperti permintaan maaf.
"Maafkan aku… Daea."
Liontin itu meledak dalam cahaya merah menyilaukan.
Makhluk itu mengerang, terbakar.
Tangan Dara ditarik oleh Lestari sekuat tenaga. Dan akhirnya, tubuh kecil itu kembali ke dunia nyata.
Lestari memeluk putrinya erat-erat. "Ya Allah… Alhamdulillah… Alhamdulillah…"
Arman terbaring di tanah, luka parah di punggung. Tapi ia tersenyum melihat anaknya kembali.
Namun… saat mereka menoleh ke tempat Melati berdiri, perempuan itu sudah tidak ada.
Hanya abu dan kalung patah di lantai.