Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 07
“Ap_a, ta_pi … bagaimana dengan Kak Arimbi?!” ia tidak sadar telah memekik, mimiknya berubah-ubah seperkian detik, terkejut, bingung, cemas.
Tak pelak hal tersebut berhasil menerbitkan senyum samar seorang Thariq Alamsyah. “Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun, cukup mengatakan iya, biar lainnya menjadi urusan saya!”
Sahira menggelengkan kepala, membelakangi Thariq. “Maaf, Tuan. Saya tidak bisa, tak ada dalam angan apalagi berkeinginan merusak kebahagiaan orang lain dengan menjadi duri didalam sebuah rumah tangga.”
Thariq tidak menyerah, masih berusaha menyakinkan. “Kau bukan orang ketiga, Hira. Akan ku pastikan kehadiranmu diantara kami takkan mengubah apapun!”
Sahira membuka salah satu paper bag yang ternyata berisi pakaian dalam, cepat-cepat ia tutup kembali lalu berbalik badan.
“Hem … tapi saya tetap tak bisa. Saya takut bila suatu saat nanti mereka mengetahui kalau diri ini lah perusak keharmonisan itu. Tak dapat dibayangkan bagaimana reaksi mereka, anak yang sudah disekolahkan sampai menjadi seorang sarjana, ternyata sosok antagonis tega merebut suami kakak angkatnya.” Ia menunduk dalam.
“Sa_ya, saya … takkan sanggup bila harus kembali mendengar kata-kata ‘Dasar anak pembawa sial, karena itu kau dibuang ke panti asuhan’,” suara Sahira bergetar, buliran bening berjatuhan.
Thariq Alamsyah menjepit dagu Sahira, mendongakkan wajah bersimbah air mata, netranya melembut. “Percaya pada saya, Hira! Apapun yang terjadi, saya janji akan selalu menjadi garda terdepan mu, melindungi, memastikan kau aman, nyaman. Bisa kah kau tumbuhkan rasa percaya itu? Belajarlah bersandar pada bahu kokoh ini, mulailah andalkan saya.”
Sahira memandang lekat manik coklat tua milik pria yang baru saja melamarnya, suara tangisnya bertambah kencang sampai ia tergugu.
Thariq yang tidak tahan melihat wajah nelangsa Sahira, langsung membawanya ke dalam pelukan, mengusap lembut punggung wanita rapuh ini.
Tidak berselang lama, tangis Sahira berhenti meninggalkan tarikan napas sedu sedan. Thariq menuntun wanita itu untuk duduk saling bersisian di sofa.
“Maaf, saya terlalu cengeng … ini pertama kalinya ada seseorang yang menawarkan perlindungan, rasa aman, setelah berjibaku dengan ketidakadilan, ketidakpastian.” Ia hapus kasar air matanya.
“Kau bukan cengeng, hanya sedang meluapkan rasa yang lama terpendam,” bela Thariq, tangannya tidak lagi sungkan menyentuh Sahira, ia usap pucuk kepala si wanita.
“Hira ….” Ia genggam tangan basah itu, ketika empunya sudah menatapnya. “Saya menunggu jawabanmu.”
“Saya takut, Tuan,” cicitnya sembari menatap memelas.
“Apa yang kau takutkan, hem?” Jari jempolnya mengusap lembut punggung tangan Sahira.
“Sanksi sosial, julukan pelakor yang melekat pada saya, di caci maki, tak leluasa berada di tempat umum, apalagi bila pernikahan itu hanya secara siri, maka status saya tak ubahnya simpanan semata, tak memiliki posisi kuat dan mudah dibuang_”
Thariq membungkam mulut Sahira dengan jari telunjuknya. “Tak ada pernikahan siri, yang terjadi nanti perkawinan resmi baik secara agama maupun negara! Jangan khawatirkan apapun! Siapapun itu yang berani mengatai dan menyakiti mu, maka harus berhadapan dulu dengan saya!”
“Lantas, bagaimana dengan Kak Arimbi? Dia pasti takkan memberikan izin kepada Tuan, untuk menikahi saya?” Sahira menatap serius.
“Jangan dipikirkan! Begitu hari pernikahan kita tiba, surat setuju dan restu itu pasti ada di atas meja akad. Bersediakah engkau saya nikahi, Sahira?” Tangannya berpindah memegang bahu ringkih.
Sahira tak langsung menjawab, dia menatap lekat wajah pria khas lokal, berkulit kuning langsat, alis tebal, hidung mancung, rahang tegas, bentuk bibir penuh.
"Kalau mereka menuntut saya agar meneruskan pertunangan dengan Wira, bagaimana?"
"Apa kau mencintai Wira?" ada sorot sinis dalam tatapan Thariq.
"Bagaimana mungkin saya mencintainya, kenal saja tidak! Satu hari sebelum acara pertunangan itu, kami baru bertemu. Langsung diharuskan berakting layaknya kekasih yang saling mengasihi." Sahira memperhatikan punggung tangannya yang terus diusap jempol Thariq.
"Berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan? Lalu, apa jawabanmu, Sahira?"
“Ya, saya bersedia,” ucapnya malu-malu.
Pria yang jarang tersenyum, kini menarik lebar sudut bibirnya. “Sungguh?”
“Ya.” Angguk nya yakin masih belum mau bertatap.
Thariq membingkai wajah cantik berbentuk lonjong, alis tebal, hidung mancung, bibir atas tipis dan bawah penuh, dagu lancip, mata bagaikan anak rusa yang bila menatap fokus sangat mempesona. “Terima kasih, dalam bulan ini kita akan menikah.”
“Secepat itu?” Ia tidak sadar menempelkan tangannya pada punggung tangan Thariq yang membingkai wajahnya.
“Ya. Agar saya bisa sepenuhnya melindungi mu.” Ia kecup lembut nan dalam kening Sahira, entah kenapa bila berdekatan dengan wanita ini, sifat melindunginya begitu mendominasi.
“Apa kau ingin jalan-jalan keluar?” tawarnya.
Sahira menggeleng, memundurkan wajah. Thariq paham bila calon istri keduanya masih canggung, ia menurunkan tangan dan sedikit mundur, tapi lutut mereka masih bersentuhan.
“Tidakkah dirimu bosan dirumah terus?”
“Jujur, kehidupan seperti ini yang saya inginkan. Sedikit bersosialisasi, banyak berdiam diri ditempat yang menurut saya nyaman, damai.”
“Wanita rumahan sekali,” godanya jenaka.
Sahira memicingkan mata. “Tuan, mengejek saya?”
“Bisa tidak jangan panggil Tuan? Tak lama lagi saya akan menjadi suamimu, Hira.”
“Lantas, harus panggil apa?” Keningnya mengernyit.
Thariq mengelus kerutan itu. “Abang atau Mas saja.”
“Baiklah … Abang Thariq.” Ia mengedipkan mata seraya tersenyum menggoda.
“Sebaiknya saya pulang, sebelum kehilangan kewarasan.” Thariq langsung beranjak, kembali berekspresi datar. Kala mendengar tawa terkikik Sahira, dirinya langsung melangkah tergesa-gesa, memasuki kamar utama.
Saat sosok tinggi tegap itu sudah masuk ke dalam kamarnya, senyum Sahira sirna, netra polosnya memancarkan sorot bengis.
‘Tak ku sangka, menaklukkan mu begitu mudah. Cukup tampilkan sisi lemah, sedikit memelas dan tatapan sayu, kau langsung terperdaya.’
.
.
Brak
“Kalian bisa becus kerja tidak, hah?! Mengapa omset restoran ini semakin hari menurun?!”
Widya menggebrak meja kerjanya, ia sangat marah mendapati omset restoran menurun, meskipun hanya lima persen, tapi hal tersebut membuatnya naik pitam.
“Keluar kalian!” Usirnya sambil menunjuk tidak sopan kepada manager restoran dan juga dua staf lainnya.
Wanita bergaun selutut motif batik itu menghempaskan bokongnya pada kursi. “Kurang ajar kau anak pembawa sial! Karena kematian mu, restoran ku merugi!”
Belum hilang kekesalannya, sang suami bersama sahabatnya masuk ke ruang kerja, wajah mereka seperti baju tidak disetrika.
“Bila hal ini tidak bisa dicegah atau akali, usaha kita bakalan sepi berakhir gulung tikar.” Sigit Wiguna membuka dua kancing atas kemejanya. Mereka baru kembali dari restoran pusat.
Dedi menimpali. “Baru seminggu setelah kematian anak pungut itu, omset kita sudah mengalami penurunan berarti. Dan kalian tahu hal apa yang membuat ku emosi? 'Resto Nusantara', dipenuhi pengunjung yang membludak, antriannya sampai area parkir. Menurut mata-mata kita, restoran itu mengenalkan resep terbaru dan laris manis.”
Widya mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut. “Ini tak bisa dibiarkan! Kendatipun kita belum pernah menang bersaing dengan ‘Resto Nusantara’, tapi setidaknya kedudukan restoran kita hampir sama, imbang. Sialnya, wanita sialan itu malah mati tanpa meninggalkan warisan resep ajaibnya.”
Sigit menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa, beberapa hari ini ia tak bisa tidur dengan nyenyak. “Apa sudah ada seorang koki yang mumpuni? Memiliki keahlian seperti Sahira?”
“Dari banyaknya pelamar, mereka hanya bisa mengolah makanan dengan cita rasa pada umumnya, tidak ada yang spesial,” sahut Widya.
Tiba-tiba Dedi menyeletuk. “Ayo kita bongkar kuburan Sahira! Lakukan otopsi untuk memastikan itu betulan dia atau bukan!”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔