BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ibarat Nama Kota
Dua keluarga duduk bersama di meja tipe family yang sudah direservasi dadakan sore tadi. Hingga begitu duduk, tidak menunggu lama, hidangan pembuka menyusul disajikan oleh tiga orang pelayan. Menu yang tersaji hasil diskusi Panji dan Aul.
Ami memilih duduk bersisian dengan Padma. Yang sama-sama menjadi pendengar perbincangan serius tapi santai para orang tua juga calon pengantin. Rembukan pun berakhir kesepakatan tanggal lamaran yang akan dilaksanakan tiga minggu lagi.
"Nikahnya mau kapan, Nji?" Ayah Anjar menatap Panji yang duduk paling sisi di samping Enin.
"Panji sih sebulan setelah khitbah juga siap. Tapi keputusan akhir ada di Aul." Panji menatap Aul yang yang duduk di sebrang meja, segaris dengannya.
Giliran Aul menoleh menatap Ibu Sekar. Sebelumnya sudah membicarakan wacana ini dengan ibu tadi siang. Tatapannya sebagai isyarat agar ibunya yang menjawab.
"Pak Anjar, Bu Ratih, Enin, saya setuju dengan keinginan Panji untuk menyegerakan pernikahan. Sudah sama-sama saling kenal secara pribadi dan keluarga. Aul juga sudah bilang sama saya, mau menerima Panji tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Tapi untuk waktu yang diinginkan Panji, saya belum bisa jawab sekarang. Mau mengabari dulu Zaky. Kapan Zaky libur atau bisakah cuti kuliah biar bisa pulang dulu jadi wali nikah." Ibu Sekar menjelaskan panjang lebar agar dimaklumi semua orang.
"Baik, Bu Sekar. Kami akan menunggu kabar lanjutan. Semoga niat baik anak-anak kita ini diberi kemudahan dan kelancaran." Ayah Anjar menutup pembicaraan serius dengan sama-sama berucap amin.
"Munaroh, Kak Panji sama Teh Aul nikah, kita makin bestie dong." Ami berbisik di telinga Padma di saat pelayan datang lagi menyajikan hidangan utama.
"Iya, Marimar. Eh, nanti kamu bakalan mulung sawer lagi nggak? Secara kamu kan udah SMA. Aku sih wajar kan masih SMP." Padma balas berbisik diiringi cekikikan.
"Ya iyalah kudu bin wajib. Mulung sawer tuh sebuah kesenangan tersendiri. Nggak ada batasan umur. Nenek-nenek juga boleh asal siap kesenggol aja." Jelas Ami masih berbisik-bisik tanpa memperhatikan lagi obrolan para orang tua.
"Bocah-bocah, udah dulu ngobrolnya. Waktunya makan!" Tegur Enin yang memperhatikan Ami dan Padma cekikikan pelan.
"Ya Salam, Munaroh. Kita dipanggil bocah. Lo aja kali bocah, gue nggak." Protes Ami kembali berbisik kepada Padma. Yang ditanggapi Padma dengan cekikikan.
Usai acara makan, Ami mengajak Padma berpindah ke luar restoran. Melakukan swafoto bersama dan sendiri-sendiri di beberapa spot. Ia berniat mengirimkan salah satunya pada seseorang. Tapi tidak sekarang. Nanti bisa-bisa ditegur Panji karena jadi bocor.
"Mi, anter ke toilet yuk!" Padma menyerahkan ponsel Ami usai sesi foto terakhir. Ami mengangguk dan bersama-sama masuk ke area restoran dimana ada toilet di dalamnya.
Sambil menunggu Padma, Ami melihat tampilan jam di ponselnya. Jam delapan lebih tiga belas menit. "Kak Akbar udah sampai Jakarta belum ya," ucap batinnya menerka. Ia memutuskan mengirimkan pesan untuk memastikan.
[Kak, udah sampe rumah belum?]
Ami menunggu balasan. Tapi sampai Padma keluar dari toilet, pesannya belum centang biru. Ia masukkan lagi ponselnya itu ke dalam tas selempangnya. Hingga acara dinner berakhir dan tiba kembali di rumah pukul sembilan malam, pesannya itu masih belum terbaca.
Ami berguling di kasurnya bersiap tidur. Sejenak tatapan menerawang menatap plafon kamar. Bibir mengerucut dengan pipi menggembung. Menjadi ciri khasnya setiap kali sedang berpikir keras.
Kenapa aku harus merasakan gelisah karena Kak Akbar belum ada kabar. Ya karena dia orangnya baik, perhatian, dewasa banget. Aku berasa nambah kakak. Ah, beneran gitu kayak kakak? Tapi aku suka deg degan gak jelas tiap awal mau vicall atau ketemu atau dengar namanya.
Ami mengacak-ngacak rambutnya karena belum menemukan kesimpulan dari perang batinnya itu. Hingga kemudian terperanjat mendengar ponselnya berbunyi notif pesan. Harap-harap cemas membukanya.
[Mi, maaf ya baru buka hp]
[Udah sampe setengah jam yang lalu]
[Ami udah tidur?]
Ami tersenyum lebar dengan ekspresi penuh kelegaan. Panda baru saja membalas pesannya. Bergegas mengetikkan balasan.
[Alhamdulillah 🤲]
[Ini mau siap-siap tidur, Kak]
Ami beralih posisi. Duduk sila menunggu Akbar yang sedang mengetik.
[Makasih ya udah cemasin aku 🙂]
[Sekarang tidur ya. Jangan begadang. Besok skul]
[Have a nice dream, Ami]
Hati Ami menghangat membaca kalimat balasan dari Akbar. Wajahnya masih dihiasi penuh senyum.
[Oke, Kak]
[Semangat menyambut senin. Karna senyummu slalu ngangenin 🤪]
Akbar: [😂😂😍]
Ish, Kak Akbar. Kenapa ujung-ujungnya ada love an.
Ami berguling dan memeluk guling dengan suasana hati dipenuhi bunga. Sudah hampir jam sepuluh. Memang seharusnya sudah tidur biar besok bangun segar. Ia pun mulai membaca do'a sambil memeluk erat gulingnya.
***
"Bu, pisangnya aku bawa 3 ke sekolah ya!" Ami sudah siap berangkat sekolah. Sejak kemarin ia sudah menyisihkan yang satu kantong pisang raja.
"Iya boleh. Nanti siang Ibu mau bagi-bagi juga sama semua karyawan. Semalam juga udah nyuruh Mang Kirman ngasih ke pos ronda." Sahut Ibu Sekar.
Ami memeriksa ulang kerapihan kerudungnya dengan berkaca di kamera depan ponsel sebelum keluar rumah. Tidak ada lagi cermin mini yang baru seminggu dibelinya. Ah, mengingat cermin itu, mendadak wajahnya memerah. Teringat lagi kejadian kemarin.
Seminggu lagi pembagian raport. Meski sudah tidak aktif belajar mengajar, namun semua murid tetap harus masuk sekolah.
"Marga, bagi-bagi nih buat yang suka pisang!" Ami menyerahkan tentengannya kepada Marga yang berdiri menghalangi jalan masuk.
"Hei, ******-****** nih sarapan dulu! Biar gak berisik. Ini oleh-oleh dari Ami." Marga mulai membagikan dari bangku depan sambil ditanya dulu mau tidaknya.
"Sotoy lo Marga! Kita disamain sama ku nyuk." Sonya mendelik tapi sambil menerima pisang raja yang ukurannya besar-besar itu.
"Ciee itu diterima. Berarti ngaku dong." Marga segera menghindar saat Sonya mau meninjunya. Semua pisang pun habis dibagikan kepada seisi kelas.
"Mi, nanti kelas XI mau sebangku lagi sama aku, nggak?" Kia menatap Ami yang sedang membuka ponsel. Tertangkap pandangan sedang melihat-lihat foto.
Ami menoleh menatap Kia. "Of course. Kita duduknya di belakang kayak gini lagi. Pokoknya nanti siapa duluan yang datang, pilih bangku belakang. Asal jangan dipojok." Ami melanjutkan memilih foto yang akan dikirim ke Akbar. Foto saat semalam di hotel Seruni.
Jam pelajaran keempat sebelum istirahat, guru tidak masuk tiba. Alhasil seisi kelas sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang sibuk dengan ponsel, ada yang tidur, ada yang berisik ngerumpi boy band Korea. Dan Ami memilih mengirim pesan kepada Panda.
[Kak, tebak....aku dimana ini 🤭]
Di ibukota Jakarta, di sebuah gedung bertingkat, tengah berlangsung rapat internal penting. Akbar memimpin rapat yang dihadiri tim IT. Menyimak laporan ketua tim yang menjadi garda terdepan menjaga keamanan dan kestabilan sistem komputerisasi perusahaannya. Hingga rapat berakhir dengan kesimpulan memuaskan.
"Mau keluar sekarang, Pak?" Gita sudah membereskan berkas yang berserak di meja. Bersiap menyusul peserta rapat yang sudah lebih dulu beranjak.
"Duluan aja, Git!" Akbar bersiap mengecek ponselnya. Hanya tersisa dirinya dan sang sekretaris di ruang rapat itu. Sementara Leo sedang mewakili meeting bersama klien di luar kantor. Senyum samar terbit di bibirnya melihat ada pesan dari Ami.
Gita bergeming. Memilih duduk lagi di kursinya. "Mas, apa Om Darwis cerita kalau abis ketemu Papa aku di Singapore?" karena tidak ada orang lain, ia berani berbincang non formal. Darwis adalah ayah dari Akbar.
Akbar yang merasa surprise melihat foto Ami, menyimpan dulu ponselnya di meja untuk memberi atensi pada Gita. "Papa nggak bilang. Lagian semalam aku baru pulang dari Tasik pas Papa sama Mama juga baru datang. Tapi pagi juga gak sempet ngobrol banyak," jelasnya.
"Om Darwis pasti bakal cerita. Tapi aku yang gak sabar pengen ngasih tau kamu, Mas. Biar nggak kaget. Papa sama Om Darwis mau jodohin kita." Gita tersenyum dengan wajah semringah.
Akbar menaikkan satu alisnya. Papa Darwis dengan papanya Gita memang bersahabat sejak kuliah. Seringnya dua keluarga melakukan pertemuan, ia pun menjadi akrab dengan Gita. Namun posisi Gita sebagai sekretaris handal di perusahaannya, dipilih secara profesional. Lulus kualifikasi dengan nilai terbaik, mengalahkan tiga orang calon sekretaris lainnya.
"Paling juga becanda. Dari dulu orang tua kita biasa ngomong gitu, kan?" Sahut Akbar dengan santai. Ia bergegas beranjak bangun dan merapihkan kerutan celana di bagian pahanya.
"Tapi aku mau kok dijodohin sama kamu. Menjadi sekretaris sekaligus istri. Bukankah itu lebih bagus, Mas." Gita ikut berdiri sambil menenteng tas berisi berkas di tangan kirinya. Ia menatap Akbar dengan sorot percaya diri.
"Jangan bahas urusan pribadi di jam kantor. Tugasmu sebagai sekretaris masih numpuk." Tegas Akbar sebagai isyarat menyudahi percakapan.
"Maaf, Pak." Gita sedikit membungkukkan kepala. Berlanjut mensejajari langkah Akbar yang berjalan menuju ruangan CEO. Berpisah di luar pintu.
Akbar duduk di kursi kebesarannya. Meneliti ulang foto candid Ami. Segera melakukan panggilan telepon setelah memastikan murid SMA itu memperbolehkannya.
"Ami kapan ke Seruni?" Todong Akbar usai menjawab salam Ami.
"Tadi malam, Kak. Keluarga aku diajak dinner sama keluarga Kak Panji sambil berunding tanggal lamaran sama tanggal pernikahan Teh Aul sama Kak Panji." Sahut Ami yang melipir ke luar kelas begitu menerima telepon dari Panda.
"Tunggu-tunggu! Berarti udah planning dong. Kenapa kemarin Ami gak bilang? Kan aku bisa kasih free." Nada bicara Akbar terdengar kecewa.
"Aku baru taunya pas magrib, Kak. Terus kata Kak Panji emang sengaja gak bilang sama Kak Akbar. Takutnya free." Ami terkekeh.
"Padahal kalau pas lagi dinner, Ami confirm ke aku, pasti aku kontek GM buat ngasih free." Akbar menjawab yakin.
"Wah yang bahaya nanti aku dong, Kak. Pasti jadi tersangka dengan tuduhan membocorkan rahasia perusahaan. Sudahlah jangan bete dong, Kak. Ibarat nama kota, Kak Akbar tuh cocoknya Pamadegan." Ami mencoba memberi pengertian.
Akbar berdiri sambil mengulum senyum. Berjalan ke arah jendela dengan wajah semringah. Baru bersiap menerima gombalan saja, rasa kesalnya langsung menguap. "Artinya apa?"
"Pamadegan. Pandangan matamu bikin aku deg-degan. Hihihi." Suara cekikikan Ami di sebrang sana terdengar ditahan.
Akbar meremas rambut dengan satu tangan diiringi wajah full senyuman dan hati yang menghangat. "Mi, VC ya!" pintanya.