Karna sakit hati, aku merencanakan menggoda lelaki sok alim yang sering menesehati hubungan haram dan halal padaku. Tapi malam itu, harusnya aku berhenti dan mencibirnya setelah berhasil membuatnya tunduk dengan nafsu. Tapi bukan begitu yang terjadi.
.
.
Saat dia membuka mulut dan membalas ciumanku, aku merasakan ada satu rasa yang tak pernah kurasakan. Perasaan yang kuat hingga aku tak bisa berhenti melepaskannya. Tubuhku mulai meliuk-liuk ketika dia meletakkan tangannya di pinggangku.
"Ahh---" Cimannya terhenti saat aku mulai menggerakkan pinggul diatas pangkuannya.
.
.
"Maaf, semua ini tidak seharusnya terjadi. Saya salah, saya berdosa. Saya biarkan kita berzina."----Adam.
.
.
"Oh, setalah puas, baru Lo ingat dosa? Sedang enak-enak tadi Lo lupa? Cih! Gak usah deh berlagak sok alim lagi di depan gua! Munafik Lo!" Winda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
"Ayo, mandi." Adam bangun dan menarikku yang masih menikmati sisa orgasme. Semua yang terjadi tadi begitu indah. Aku benar-benar melayang di buatnya.
Adam mengambil handuk dan baju ganti dalam lemari sebelum mengiring langkahku ke kamar mandi.
Aku berjalan ke westafel dan mencuci mukaku di sana. Dari pantulan cermin, kulihat Adam menggantung handuk serta pakaian bersihnya sebelum masuk ke ruang kaca transparan untuk mandi dan dengan santainya dia mandi setelah membuka celana pendeknya.
Aku tak sadar berapa lama memperhatikan tubuhnya yang sangat seksi. Bahunya yang bidang, bokongnya yang montok, bersama betis yang berotot. Dengan memberanikan diri, aku turut membuka baju dan mandi bersamanya di bawah guyuran shower.
Selesai mandi dan mengeringkan badan, aku kembali berbaring di ranjang. Ketika Adam berbaring di sebelahku, dia lansung memelukku dari belakang. Aroma tubuhnya yang baru selesai mandi menemaniku hingga kembali terlelap.
Keesokan paginya, Adam lebih dulu ke kampus setelah turut mengantarkan aku kerumah mama dengan mobil masing-masing.
Aku mengajak mama sarapan di luar terlebih dulu, sebelum ke kampus, karna kelas Adam mulai pukul 10.
Pagi itu mama terlihat lebih ceria, dia juga mengatakan akan mulai kembali bekerja. Biarlah, agar dia dapat mengarungi hari baru.
Sepuluh menit sebelum kelas di programing di mulai, aku sudah berada di kampus. Aku turut menunggu di luar ruangan komputer, karna aturannya sebelum dosen datang, tidak di bolehkan masuk ke dalam.
"Adam kemana sih? Biasanya selalu on time," gumam Ana sambil memandang layar ponselnya. Alya yang berdiri di tidak jauh dari kami menjeling pada Ana.
"Sorry, guys, Im a bit late. Hm, ada urusan penting tadi." Suara Adam tiba-tiba terdengar. Dia memandangku dengan riak wajah yang tak bisa kuartikan.
Sepanjang jam pelajaran, Adam tampak resah, menambah tanya dalam hatiku. Tidak hanya aku yang menyadari perubahan wajahnya itu, Ana juga menyadari akan hal itu, malah asyik menanyakan padaku.
10 menit sebelum kelas berakhir, ponselku berdering, pesan masuk dari Adam.
Winda, tunggu saya setelah kelas ini selesai.
Dan setelah mata kuliah selesai, Ana lansung kedepan, terang-terangan menagajak Adam makan siang, tapi di tolak dengan halus.
Ana kembali mendekatiku dengan wajah cemberut, dia menanyakan iklan yang semalam aku kerjakan dan meminta aku menemankan menempelkan di mading kampus, tapi aku tolak juga.
"Heist, semua orang kenapa sih? Adam aku ajak makan siang gak mau, kamu aku ajak menemankan menempelkan iklan ini pun gak mau. Udah lah, kalau begini lebih baik aku pulanh aja!" gerutu Ana, lalu keluar dari ruangan.
Hari ini aku tidak ada mood untuk membujuk Ana. Aku tetap duduk di tempatku sampai mahasiswa terakhir keluar dari ruang komputer.
"Ada apa?" tanyaku ketika pintu ruangan di tutup Adam yang tinggal hanya kami berdua di ruangan itu.
Adam mendekat, mengambil tanganku dan menggengganya.
"Sebenarnya saya tidak perlu memberitahukan hal ini, tapi kita sudah berjanji tidak akan berahasia, kan?"
Aku mengangguk pelan, berdebar menanti apa yang akan di sampaikannya.
"Tadi sebelum kelas di mulai, papa menelpon saya. Dia mengajak saya makan siang hari ini. Saya pun tidak tau apa yang ingin di bicarakan. Harusnya pertemuan ini jadi rahasia antara kami, jadi saya minta kamu rahasiakan juga dari Mama."
Aku kembali mengangguk, walau benakku di hujani berbagai pertanyaan. Apa hak penting yang ingin di bicarakan papa dengan Adam?
Hanya hal itu yang di bicarakan Adam padaku, setelah itu kami keluar dari ruangan. Aku pulang kerumah mama, mengerjakan tugas kuliah di ruang tamu setelah makan siang bersama Mama sebelum dia kembali ke kantornya.
Menjelang magrib, Adam mengirimku pesan. Dia memberitahukan kalau hari ini pulang agak malam karna harus menyelesaikan urusan dengan rekannya mengenai projek yang di tawarkan.
Malamnya, kuajak mama keluar. Kali ini kami keluar berdua saja, karna bi Ijah menolak dengan alasan cepek. Setelah berkeliling di pusat perbelanjaan, kulihat ponsel, ada 2 missed calls dan satu pesan dari Adam.
Winda, malam ini mungkin saya pulang agak larut. Ada beberapa pekerjaan yang perlu saya selesaikan malam ini juga. Malam ini kamu tidur di rumah mama saja ya?
Huh! Kerja kerja kerja. Itu terus alasannya. Mungkinkah dia menerima tawaran pekerjaan dari rekannya yang dari Singapura itu?
"Winda, kenapa?" Suara mama menyentakku dari lamunan.
Kubalas dengan gelengan kepala, tak ingin mama khawatir dengan apa yang bermain di kepalaku.
"Gak ada apa-apa, Ma. Adam cuma ngasih tau ada pekerjaan yang perlu dia siapkan malam ini juga. Jadi malam ini Winda tidur dengan Mama ya?"
"Hm, Adam sibuk kerja ya?" respon mama dengan wajah berubah sendu. "Sayang, mama tidak mau Winda dan Adam mengulang kesalahan Papa dan Mama dulu. Jangan di sebebakan kerja, keluarga terabaikan," sambung mama mengaitkan kesibukan Adam dengan perselisihannya dengan papa.
"Ma, gak usah bahas Papa dulu ya? Sekarang kita makan yuk, Winda lapar." Senagaja aku mengalihkan topik karna tak ingin mama memikirkan ini.
"Ya udah," balas mama pasrah.
Setelah mengajak mama makan, dia mengajakku pulang. Mama lebih dulu tidur saat kami sama-sama berbaring di ranjangnya sambil bercerita.
Dulu pun begitu, aku masih ingat, kalau papa belum pulang, aku akan menemankan Mama sambil bercerita hingga salah satu dari kami terlelap.
Kupandang wajah mama yang sudah di makan usia, kerutan semakin benyak terlihat. Jika benar-benar di perhatikan, jelas terlihat garis sendiri dan kesedihan. Pasti banyak derita yang di tanggungnya tanpa sepengetahuanku. Kupeluk mama, sambil menahan tangis.
Maafkan Winda, Ma.
Besok paginya, aku dan mama ikut bi Ijah kepasar membeli bahan-bahan untuk di masak. Sengaja kuluangkan waktu, bukan sekedar menghibur mama, tapi aku juga ingin mengalihkan pikiran dari masalahku sendiri.
Kesibukan Adam akhir-akhir ini.
Tugas kampus.
Dan masalah yang paling ingin aku hilangkan dari otak ini, uang 100 juta.
"Winda, Mama nanya nih. Hari ini Winda mau belajar memasak apa? Gulai ikan, atau mau belajar masak rendang?"
Suara mama membuyarkan lamunanku. "Hmm.. ikan aja, Ma," jawabku.
Lalu kami sama-sama ke Los ikan. Aku tidak tahu jenis ikan apa yang bi Inah beli, yang jelas ikan itu tadi besar, sebelum di potong-potong pedagang.
Malam tadi mama memang bilang, suami perlu diikat dengan perut. Mama jarang memasak untuk papa dan sekarang ia menyalahkan dirinya karna tak peduli akan hal itu. Sebenarnya aku tidak ingin mama terus-terusan membahas papa, tapi tetap saja dia bercerita.
"Awal menikah, papa memang pernah bilang dia ingin sekali makan masakan mama setiap hari. Waktu itu mama masih merintis bisnis, jadi tidak begitu sibuk. Mama masih bisa memenuhi keinginan papa, tapi saat bisnis mama semakin berkembang, mama semakin jarang dirumah." Mama kembali bercerita masa ia masih bersama papa. Sekarang aku tidak tahu status mereka, bercarai, atau mama rela jadi madu. Entah lah.