Di usianya yang masih menginjak 17 tahun, Clarissa Putri Anjani harus rela dijodohkan dengan Arkan Giovano Altair yang berumur 25 tahun. Seorang guru Matematika muda baru yang mengajar di sekolah dan terpaksa harus berpisah dengan sang kekasih yang sudah 2 tahun menjalani hubungan bersamanya.
Sejak pertemuan pertama mereka, pandangan Jani benar-benar jelek terhadapnya. Melihat Arkan yang cuek, dingin, tegas dan selalu mengerjainya dengan cara apapun membuat dia tidak ingin berurusan dengannya. Tapi sayang, Arkan memilihnya sebagai Ketua Kelas dan sudah pasti dia akan berurusan dengan Arkan setiap hari.
Gagal move on, kecewa, sebuah rahasia, perjuangan cinta satu sama lain dan perjuangan Bagas-si mantan kekasih yang ingin Jani kembali akan mewarnai kisah pernikahan Anjani dan Arkan. Bagaimana kisah mereka akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cxafixe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar Mencintai Saya dan Saya Akan Memberikan Dunia Saya
"Siapa yang izinkan kamu menangis lagi setelah kemarin?" Suara berat itu menginstruksi Anjani untuk mengadahkan wajahnya. Iya, dia Arkan yang kini mengulurkan tangannya pada Anjani.
"Mas?"
Arkan mengangguk seolah mengerti apa yang dirasakan Anjani. Perlahan Anjani menerima uluran tangan Arkan lalu berdiri di hadapan pria itu, tanpa banyak bicara lagi Arkan memeluk gadisnya dengan erat. "Sudah saya bilang jangan menangisi orang yang tidak bertanggung jawab."
Anjani yang tadinya ingin menangis, malah tertegun dengan ucapan Arkan. Dia malah menjadi tenang saat Arkan memeluknya seperti ini. Ada perasaan aneh di mana akhir-akhir ini jantungnya berdebar setiap kali Arkan menyentuhnya. Apa karena ciuman mereka ya?
Dengan pelan Anjani mengadahkan wajahnya pada Arkan. Arkan tersenyum saat Anjani tidak menangis lagi, karena sejujurnya ketika Anjani menangis, dialah orang yang paling sakit melihatnya. "Kamu seorang ratu, jangan sampai mahkotamu jatuh karena tertunduk."
"Sedih wajar, kan?" Tanya Anjani pelan.
Arkan mengangguk lalu menyeka air mata Anjani dengan telapak tangannya. "Tapi cuma hari ini, selebihnya kamu harus terus tersenyum."
"Gimana bisa senyum kalau rasanya gak punya energi lagi buat melakukan apapun apalagi bersenang-senang?" Tanya Anjani yang terkesan sangat melankolis sekali.
Arkan menarik napasnya untuk sejenak. "Belajar menerima pernikahan kita, belajar mencintai saya, karena saya akan berikan dunia saya ketika kamu menjadi milik saya."
Anjani menatap dalam pada manik mata hitam pekat milik Arkan. Sorot matanya seakan membawa Anjani masuk ke sana. Tapi harus kah dia mencintai orang yang bahkan masih asing dalam hidupnya? Iya Anjani masih merasa asing, dia butuh beberapa lama untuk membuat orang masuk ke dalam hidupnya. Apalagi Arkan berbeda, dia tiba-tiba masuk dan menjadi suami. Aneh rasanya.
"Aku ... "
"Belajar itu gak harus cepat bisa, jangan samakan metode belajar akademik kamu dengan perasaan. Karena perasaan tidak akan bisa kamu paksakan, dia harus diajarkan dengan lembut, dibimbing dengan baik dan dipapah dengan hati-hati."
Anjani terdiam, ya kaget saja. Dia baru saja patah hati lalu Arkan mengajaknya untuk menjalin hubungan serius. Apa Arkan tidak peka ya kalau dia butuh waktu untuk pulih? Tapi sebenarnya Arkan bukan tidak peka, dia hanya mengambil satu langkah lagi agar kedepannya Anjani tidak kaget dengan perubahan sikap Arkan yang akan terang-terangan mencintainya.
Arkan menghela napasnya. "Jangan dipikirkan sekarang, kamu bisa belajar kapanpun kamu mau. Pulihkan dulu perasaan kamu, sekarang turun dan tunggu saya di depan halte. Biar kamu pulang dengan saya."
Setelah mengucapkan itu Arkan mengusap pipi Anjani dengan lembut lalu pergi meninggalkannya di rooftop. Tunggu, ini konsepnya bagaimana? Anjani kan sedang patah hati, tapi dengan tidak sopannya Arkan malah membuatnya merasa dicintai. Jadi dia bingung sekarang harus apa, mau menangis malah jadi tidak bisa.
Anjani memukul-mukul kepalanya dengan kedua tangan, gila! Iya dia sudah gila karena sekarang terjebak dalam situasi yang bertolak belakang. Daripada terus menggila lebih baik Anjani pulang dan menuju ke halte untuk menunggu Arkan menjemputnya.
Sesampainya di halte, Anjani menghela napasnya berkali-kali. Dia malah jadi memikirkan, apa dia harus benar-benar belajar ya? Tapi kalau dipikirkan ulang pun jawabannya mengarah ke sana. Pernikahan mereka asli, tanpa drama kontrak atau perjanjian.
Arkan sendiri yang bilang kalau mereka akan bersama sampai akhir khayat. Membayangkannya saja sudah ngeri. Apalagi Arkan yang tidak mudah ditebak. Kadang dia manis, kadang dia begitu menyebalkan, kadang dia sedingin es. Aneh sekali seperti bunglon.
Tak selang beberapa lama, mobil SUV hitam itu sudah berhenti di hadapan Anjani. Sambil melirik ke sekitar, Anjani masuk ke dalam mobil Arkan dan memasang seatbeltnya. Namun aneh sekali, kenapa tidak bisa ya?
"Ihhh kok susahh!!" Gerutu Anjani yang masih berkutat dengan aktifitasnya.
Arkan melirik Anjani yang merasa kesusahan memasangkan seatbeltnya. Karena kepalang gemas akhirnya Arkan melepas seatbeltnya dan mendekat ke arah Anjani untuk memasangkannya. "Energi kamu terkuras habis setelah menangis ya? Jangan menangis lagi, kalau kamu lakukan lagi saya yang harus memasangkan seatbelt kamu setiap hari."
Arkan bicara dengan jarak yang cukup dekat, Anjani menahan napasnya seraya menggigit bibir bawahnya. Kenapa sih, setiap Arkan di dekatnya seperti ini dia selalu mendadak kaku? Apa karena ini kali pertamanya ya menjalankan hubungan intens, karena kan selama ini dia dan Bagas juga berpacaran dalam batas wajar.
Gemas sekali wajah Anjani yang seperti itu, Arkan dengan lembut mengecup bibir Anjani. "Jangan digigit bibirnya, kalau mau biar saya yang gigit biar ada sensasinya."
Arkan bicara seperti tidak ada dosanya, padahal akibat perkataanya kini wajah Anjani memerah. Ahh dasar om-om mesum! Kenapa juga harus membahas ciuman dan gigitan, kan otak Anjani jadi kemana-mana dan kembali mengingat pada kejadian ciuman panas mereka.
Arkan terkekeh melihat reaksi istrinya, setelah itu dia kembali duduk dan melajukan mobilnya. Namun satu yang tidak lepas adalah, tangan Arkan yang menggenggam tangan Anjani sembari menyetir dengan satu tangannya. Dia mengusap-usap punggung tangan gadis itu seolah tidak akan membiarkannya pergi.
"Kamu tidak mau pergi jalan-jalan? Selama kita menikah hanya di rumah dan di sekolah, pasti monoton."
Anjani terdiam ya memang monoton sih, tapi memangnya mau kemana lagi? Anjani bukan tipe orang yang akan mengajak pergi duluan, dia tipe orang yang tidak enakan, bahkan saat bersama Bagas juga seperti itu.
"Mau nonton bioskop dan makan pizza?" Tanya Arkan.
Anjani menoleh ke arah Arkan, dia suka bioskop sih. Tapi apa kata orang kalau melihat seorang guru dan murid berjalan di mall yang sama. Apalagi seragam Arkan ini loh nampak sekali seperti guru sekolah.
"Gak mau, nanti dikira simpenan guru sendiri," jawab Anjani jujur.
Arkan tergelak mendengar pernyataan Anjani. Tapi ya tidak salah juga, seragam mereka seperti ini. "Baik, kita mampir dulu untuk beli baju." Ucap Arkan seraya mengusap puncak kepala Anjani dengan lembut.
Benar saja, Arkan tidak main-main. Setelah memberhentikan mobilnya disebuah toko brand ternama, Arkan mengajak Anjani masuk ke dalam. Anjani memilih dress dengan cardigan berwarna biru langit dan langsung masuk ke ruang ganti.
Cukup lama dia di dalam, mencoba merapikan penampilannya agar tidak terlihat berantakan. Setelah merasa puas dia keluar, namun Anjani sedikit kaget saat teryata Arkan menunggunya di luar.
Parah, kalau Arkan bergaya seperti ini rasanya Anjani sedang berpacaran dengan pria seusianya. Bagaimana tidak, Arkan memakai kaos, jaket dan juga celana jeans selutut berwarna putih. Tidak lupa juga dengan sneakers dan juga topi hitam. Nampak bergaya casual layaknya remaja. Apalagi visual Arkan ini memang memumpuni, alias tidak tua dimakan waktu.
"Terpesona?" Tanya Arkan yang mendapatkan tatapan dari ujung ke ujung dari sang istri.
"GR!" Anjani sih gengsi mengakuinya, segera saja dia ke kasir untuk menyerahkan label yang sudah dia lepas dari bajunya dan dibayar oleh Arkan. Arkan terkekeh, memang ratu gengsi ini sulit ternyata untuk ditaklukan.
Setelah selesai membayar, Arkan mengulurkan tangannya pada Anjani. "Ayok pacaran."
Anjani mengerutkan dahinya, pacaran? Bahkan mereka sudah menikah. "Kalau ke bioskop mau pacaran kan biasanya?"
Anjani menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya. Tapi dia juga menyambut tangan Arkan kok, akhirnya mereka berjalan beriringan dan menggenggam satu sama lain.