I Love You, Pak Arkan!
Memasuki kelas 12 memang harus banyak-banyak mengusap dada. Pasalnya baru saja kembali ke sekolah, mereka sudah diceramahi 1 jam dan diingatkan mengenai Ujian Nasional di lapangan sekolah.
Seharusnya hari ini mereka pulang cepat, tapi mengingat mereka kelas 12, banyak hal-hal yang harus disampaikan terutama soal pemantapan. Membosankan sekali memang, termasuk untuk seorang gadis yang kini hanya bisa menghela napasnya berkali-kali dan mengeluh kepanasan.
Clarissa Putri Anjani, atau yang kerap kali dipanggil Jani. Murid berprestasi di SMA Taruna Nusantara. Meskipun dia suka belajar, tapi mendengarkan ceramah sampai satu jam begini ya bosan juga. "Kapan selesainya coba," gumam Jani.
"Biasanya kamu seneng, Jan dengerin guru ceramah. Tumben sekali kamu ngeluh? Apa karena libur hampir 2 Minggu jadi mulai malas?" Tanya Della.
"Engga gitu, Del. Aku suka menerima advice, tapi kalau satu jam cuma ngedengerin satu keturunan keluarga kepala sekolah aku juga gumoh lah. Mana panas," jawab Jani kesal.
"Auya, kelas 12 harusnya dibuat enjoy, bahagia, kalau kaya gini udah stress duluan," timpal Nanda yang ada di sebelah Jani.
"Bener banget, aku setuju-"
"Ssstttt!" Peringat Gervan si mantan Ketua OSIS.
Jani, Della dan Nanda melirik ke arah belakang, setelahnya mereka hanya memutar bola matanya malas. Memangnya mereka tidak boleh mengeluh apa ya? Padahal mereka juga yakin kalau Gervan merasakan hal yang sama, tapi terlalu sok berwibawa saja karena menjaga imagenya sebagai mantan Ketua OSIS. Menyebalkan.
Sampai akhirnya setengah jam berlalu, akhirnya mereka bisa bernapas lega dan kembali ke kelas untuk bergegas pulang. Namun saat mereka akan beranjak dari kelas tiba-tiba seseorang masuk ke sana dengan tampang datarnya, aura dinginnya menusuk ke siapa pun yang melihatnya.
"12 IPA 1?" Tanyanya.
"Iya, Pakk," jawab seisi kelas.
"Saya wali kelas kalian dan tidak ada langsung pulang hari ini. Kita mulai beradaptasi."
Mereka menghela napas kasar, di saat kelas lain sudah pulang tapi mereka malah harus kembali menyimpan tas mereka atas perintah wali kelasnya.
Jani menatap guru yang kini berada di hadapan mejanya, dia memang duduk di paling depan dan berseberangan dengan meja guru. Mungkin itu sebabnya banyak guru yang sering menongkrong di mejanya seperti ini.
Namun matanya tak lepas dari pria yang ada di hadapannya. Dia memang senang menelisik, bukan untuk apa-apa tapi hanya ingin tahu saja kepribadian seseorang yang berhadapan dengannya. Sepertinya dia guru muda baru di sekolah ini, tampan sih namun terlihat dingin. Tapi ya kalau tampan sudah pasti menjadi bahan pembicaraan seisi kelas. Termasuk seperti sekarang.
"Baik, perkenalkan saya Arkan Altair. Guru Matematika sekaligus wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya lugas.
Riuh dari dalam kelas ini mulai terdengar ketika Arkan mengenalkan diri. Bak dewa yunani, ketampanannya dipuji oleh kebanyakan siswa perempuan. Sejujurnya bukan hal baru sih, kalau urusan yang tampan-tampan mereka gerak cepat. Terkecuali Jani yang kini hanya menghela napasnya karena menurut dia itu 'Norak'.
Arkan masih datar, bahkan pertanyaan-pertanyaan dari muridnya tidak dijawab jika memang tidak penting. Karena pada dasarnya juga Arkan tidak menyukai hal-hal berbau basa-basi atau membicarakan hal yang tidak berguna.
Namun mata hitam lekat itu kini menatap ke arah mata coklat milik Jani yang duduk di meja yang dia jadikan tumpuan spidolnya. Tapi tidak lama, karena Jani segera memutuskan kontak mata mereka dengan cepat.
Arkan berbalik dan menuju papan tulis, benar saja kan, selain menganggu jam pulang Arkan kini mengganggu ketenangan otak anak muridnya di hari pertama sekolah. Dengan santainya dia menulis 4 soal matematika di papan tulis. Membuat mereka semua panik karena langsung disuguhkan oleh pelajaran matematika yang belum pernah mereka pelajari.
"Siapa juara kelas di sini?" Tanya Arkan.
"Janiiiiiiii!!" Teriak mereka antusias, bukan apa-apa, mereka mempunyai firasat kalau Jani lah yang akan dipintai Arkan menjawab soal-soal di depan kan menguntungkan untuk mereka kalau menumbalkan murid paling pintar
Dan benar saja. "Kerjakan poin satu sampai poin empat."
Jani kaget sih dan dia pun terdiam, benar-benar belajar nih jadinya? Tolong dong ini nyawa Jani sudah di rumah, kenapa dia pula yang harus mengerjakan? Kesal sekali rasanya, tapi setiap dipanggil begitu Jani tidak bisa menolak.
"Tidak bisa?" Tanya Arkan yang merasa tidak mendapat respon dari gadis itu.
"B-bisa, Pak," jawab Jani ragu-ragu.
Tanpa bicara Arkan mengulurkan spidol ke arah Jani agar dia segera maju ke depan. Jani lagi-lagi menghela napasnya, benar-benar menguji kesabaran sekali guru-gurunya hari ini.
Perlahan Jani maju ke depan seraya mengambil spidol dari tangan Arkan. Dengan sedikit gemetar dia menulis jawaban di papa tulis beserta rumus-rumusnya. Berharap kalau jawabannya benar, karena kalau boleh jujur dia juga belum terlalu menguasai pelajaran ini.
Arkan mengangguk-nganggukkan kepalanya sembari bersidekap dada. Memang tidak salah dinamakan kelas IPA 1, ternyata berisi anak-anak unggulan. Padahal yang Arkan tulis adalah matematika kelas 12 yang belum pernah dipelajari di kelas 11. Entah bagaimana Jani bisa mengerjakannya.
"Sudah, Pak." Jani menghampiri Arkan sembari mengembalikan spidol milik pria itu.
"Bagus, siapa nama kamu?" Tanya Arkan.
"Jani," jawab Jani singkat.
Arkan mengambil buku absensi dan mencari nama Anjani di sana. Namun tak kunjung menemukannya. Anjani yang melihat itu langsung meralat. "Clarissa Putri Anjani."
"Baik, kamu saya beri 10 poin pertama. Karena selama mata pelajaran saya, semuanya memakai sistem poin. Termasuk sikap kalian!" Tegas Arkan.
Semua orang mulai berbisik-bisik. Ingin tak terima tapi tidak berani protes, tapi kalau mereka menerima yang ada tertekan. Ah sudahlah, mereka pasrah saja.
"Silahkan duduk," ucap Arkan menginstruksi Jani.
"Terima kasih, Pak Arkan." Jani menunduk pelan setelah itu dia kembali duduk.
Jani bernapas lega, untung saja di tempat lesnya dia sudah belajar. Jadi dia tidak harus menanggung malu karena tidak bisa menjawab.
Kurang lebih satu jam Arkan pakai untuk perkenalan dan menjelaskan beberapa aturan baru untuk mereka. Cukup jengah memang, apalagi Arkan adalah tipikal guru cuek, dingin dan tegas. Tapi pesonanya mampu menghipnotis para kaum wanita hingga tidak ada berani yang protes.
Jani keluar kelas dengan senyum sumringah, bagaimana tidak? Bagas sang pacar sudah menunggunya di depan kelas. "Maaf telat, nunggu lama ya?"
"Gapapa, gak lama kalau buat kamu," imbuhnya dengan senyum yang lembut.
"Bucin-bucin! Panas banget!" Celetuk Nanda.
"Susah emang kalau cuma numpang di bumi, kita balik aja yuk!" Ajak Della.
Jani dan Bagas terkekeh, pemandangan seperti ini sudah tidak asing bagi mereka. Padahal mereka hanya bicara biasa saja kalau menurut mereka ya. Tapi di pandangan orang lain mungkin berbeda.
"Makanya cari pacar!" Seru Bagas.
"Maaf kita stay halal sampai sah bestie, udah ah. Kita balik duluan, udah pusing nih kepala gara-gara matematika," ucap Nanda setengah berbisik karena memang Arkan yang masih di dalam ruangan untuk mengecek data siswa.
Mereka pun terkekeh, setelahnya Della dan Nanda pamit pulang duluan meninggalkan dua sejoli yang tengah dimabuk asmara itu.
"Besok istirahat ada tanding futsal, kamu datang ya?" Pinta Bagas.
Jani mengangguk seraya memberikan senyum terbaiknya. "Tentu, nanti aku datang. Aku nonton paling depan!"
"Anjani, ikut saya ke ruangan." Sebuah suara tiba-tiba menginstruksi dari belakang.
Jani membalikkan pada sumber suara. "Ada apa ya, Pak? Saya melakukan kesalahan?"
"Tidak, saya perlu bantuan kamu dalam beberapa hal," ucapnya dengan wajah yang minim ekspresi.
"T-tapi saya mau pulang, Pak." Bukannya menolak perintah guru, tapi kan tidak enak kalau harus membuat Bagas menunggu.
Muka datar tanpa ekspresi dengan alis yang berkedut sedikit, itu memang menjadi andalannya kalau Jani pikir-pikir. Tapi jujur saja, wajah dengan seperti itu menyebalkan sekali menurut Jani. Seperti cowok sok cool!
"Tidak ada tapi atau minus 50 poin," ucapnya lugas.
Jani menahan napasnya, yang benar saja? Poinnya saja baru sepuluh dan gurunya ini akan mengurangi 50? Sudah gila! "Hah?! Jangan, Pak. B-baik saya bantu."
Arkan menatap gadis itu dengan lamat, dia juga menyembunyikan smirk-nya saat Jani menurut. Setelahnya dia berjalan duluan diikuti Jani dan Bagas di belakangnya.
Mereka sampai di ruangan Arkan. Tapi mata tajam itu kini melirik ke arah Bagas. "Kamu pulang saja, saya akan lama untuk bicara dengan murid saya."
"Tapi, Pak-"
"Saya rasa Om dan Tante belum mengizinkan kamu memiliki kekasih, lalu?" Tanya Arkan yang entah kenapa membuat mereka berdua bergidik ngeri, namun menimbulkan pertanyaan di otak Anjani.
Memang sih dia pernah mendengar kalau Bagas adalah keponakan dari pemilik yayasan. Ruangan Arkan pun terpisah sendiri seperti ini, apa dia anak Kepala Yayasan? Aneh saja guru baru bisa mendapat fasilitas seperti ini.
Dengan perasaan campur aduk dan tidak enak Jani mengisyaratkan Bagas untuk pulang. Tidak enak juga kan kalau Bagas nanti sampai terkena teguran dari orang tuanya dan setelah kepergiaan Bagas barulah dia dipersilahkan duduk.
"Tolong buatkan rekapan absensi di buku ini dan deskripsikan teman-teman kamu dengan 3 kata."
Jani melongo, tapi untuk? Tidak waras, ini pasti membutuhkan waktu yang sangat lama. Ah dia sudah ingin pulang ini. "Pak ini boleh dikerjakan di rumah? Besok pagi-"
"Sekarang."
Jani menggigit bibir bawahnya seraya menahan kesal. Tapi bagaimana pun dia tidak bisa membantah, kan? Lihat saja, Arkan akan masuk ke list guru yang harus dia hindari mulai sekarang!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
fajar Rokman.
mampir.. ceritanya bagus
2023-08-28
0
Erina Munir
guru....bokissss...ini mah thoorr
2023-05-12
0
Jeny Juwan Alfa
knp noveltoon sekarang jd sepi ya.
2023-03-01
0