Drabia tidak pernah di sentuh suaminya selama menikah. Karena sebelumnya Ansel mendengar gosib tentang dirinya yang pernah tidur dengan pria lain sebelum menikah.
Di saat Ansel akan menceraikannya, Drabia pun meminta satu hal pada Ansel sebagai syarat perceraian. Dan setelah itu jatuhlah talak Ansel.
Apakah yang di minta Drabia?, akan kah Ansel memenuhi permintaan Drabia?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha cute, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Tancap gas
Ansel masuk ke dalam mobilnya, menyandarkan kepalanya ke setir mobil. Menagis terisak menyesali apa yang sudah ia lakukan.
"Drabia!" tangisnya
Drabia dan Pak Ilham tidak bisa memaafkannya, bahkan tidak bisa menemuinya.
**
Pagi sekali Ansel melangkahkan kakinya kembali ke lorong rumah sakit dimana ruang rawat Drabia berada. Dia membawakan sarapan untuk istri dan mertuanya. Tadi malam dia tidak pulang dan memilih tidur di mobilnya.
"Tolong berikan ini pada mereka" ucap Ansel memberikan kantong plastik di tanganya ke pria yang masih setia berjaga di pintu.
"Baik,Pak" Pria itu mengambil kantong plastik itu dari tangan Ansel.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Ansel langsung berlalu dari depan ruangan Drabia. Dia tidak bisa harus di rumah sakit terus, kerena ada amanah besar yang harus di pertanggung jawabkannya.
"Kalian makanlah itu" ucap Pak Ilham saat pria yang berugas menjaga Drabia itu menyerahkan makanan yang di titip Ansel padanya.
"Tapi Pak, ini bukan untuk kami" tolak Pria itu tidak enak hati jika harus memakan makanan yang untuk majikannya.
"Kalau kalian tidak mau, berikan pada orang lain." Pak Ilham yang sudah selesai bersiap ingin ke kantor, segera keluar dari ruang perawatan Drabia.
Drabia sendiri pun hanya diam dan mengingat bagaimana Ansel selama ini yang tidak mau menyentuh makanan yang di masaknya sama sekali.
Karma itu sangat kontan, pikirnya.
Sampai di perusahaan, Pak Ilham langsung masuk ke ruangannya. Ternyata di sana sudah ada Ansel berdiri menunggunya menghadap kaca jendela ruangan itu.
Ansel yang mendengar Pak Ilham sudah datang, langsung memutar tubuhnya, ke arah pria paru baya itu.
"Ayah" panggil Ansel.
"Ngapain kamu ke ruanganku?" cetus Pak Ilham menatap Ansel tajam.
Ansel melangkahkan kakinya mendekati Pak Ilham, dan langsung menurunkan tubuhnya tepat di depan pria itu.
"Beri aku kesempatan memperbaiki rumah tanggaku dengan Drabia, Ayah. Aku janji akan menyayanginya Ayah. Aku janji tidak akan menyakitinya lagi" mohon Ansel memegang tangan Pak Ilham.
"Drabia sendiri sudah tidak mau denganmu lagi. Dan juga kamu tidak mencintainya, untuk apa?. Tidak mungkin 'kan hanya karena kamu mengetahui dia masih perawan, kamu langsung mencintainya?. Kamu langsung berpaling dari gadis calon istri idamanmu itu. Hebat sekali kamu" decis Pak Ilham.
"Setelah menyakiti Drabia, sekarang kamu ingin mempermainkan perasaan wanita lain. Kamu pikir hanya kamu yang punya perasaan, orang lain tidak!." Pak Ilham menggeleng gelengkan kepalanya.
Ansel sendiri terdiam tanpa bisa mengatakan apa pun.
Pak Ilham menghempaskan pegangan tangan Ansel hingga terlepas, kemudian berjalan ke arah meja kerjanya.
"Jangan pikir, aku masih bertahan bekerja di sini demi kamu atau demi gaji yang besar. Aku hanya memikirkan nasib karyawan perusahaan ini. Karena kamu belum sepenuhnya bisa menjadi peminpin di sini" ucap pak Ilham sebelum mendudukkan tubuhnya.
Ansel tidak menyerah, ia pun mendekati Pak Ilham kembali.
"Ayah! aku minta maaf. Lebih baik Ayah memukulku sampai mati, dari pada Ayah tidak mengijinkanku bertemu dengan Drabia" bujuk Ansel mengulurkan tangannya memijat mijat bahu pria yang sudah banyak berjasa baginya itu.
"Awas tanganmu itu!" gemas Pak Ilham menepis tangan Ansel dari bahunya. Namun Ansel kembali memijat bahunya.
Dulu waktu Ansel masih belajar mengurus perusahaan. Ansel sering melakukan itu, jika Pak Ilham memarahinya karna pekerjaannya tidak beres.
"Aku tau Ayah pasti lelah bekerja keras belasan Tahun mengurus perusahaan ini" ucap Ansel mengulas sedikit senyumnya.
"Percuma kamu merayuku, Drabia sendiri yang tidak mau denganmu lagi." Tidak di pungkiri enak sekali pijatan menantu sialannya itu.
"Yang paling penting, restu dari Ayah dulu" tangan Ansel pun semakin bersemangat memijat pundak dan leher belakang pria itu.
Pak Ilham mendengus, pintar sekali anak sialan itu mengambil hatinya.
"Coba Drabia mengatakan kalau dia masih perawan. Aku pasti melakukannya dengan..."
"Jadi kalau dia tidak perawan lagi, kamu pikir tidak apa apa melakukannya tancap gas gitu? Hah!" potong Pak Ilham sebelum Ansel menyelesaikan kalimatnya. Gemas, ingin sekali membuang anak bodoh itu ke laut merah.
"Ayah, aku janji akan memperlakukan Drabia dengan baik" mohon Ansel meneduhkan pandangannya.
"Sudahlah Ansel, kamu tidak mencintai putriku. Kamu hanya menyesal dan merasa berhutang nyawa." Pak Ilham menarik napasnya panjang dan mengeluarkannya perlahan.
Ansel diam menyelami hatinya. Apakah dia mencintai Drabia saat ini. Atau dia hanya menyesal dan merasa berhutang budi.
"Ini salahku, karena memintamu menikahi putriku yang hina." Pak Ilham menghela napas lagi." Aku pikir dengan menikahkannya denganmu, kamu bisa memperbaiki nama baiknya, kamu akan membimbingnya, menjadi imam yang baik untuknya. Tapi kamu malah ikut ikutan menghinanya dan bahkan tega berlaku kasar.
"Kamu sudah terlalu meyakitinya Ansel, kamu menyakiti hati dan fisiknya. Sekarang biarkan dia bebas dari rasa sakit itu" Pak Ilham menatap wajah Ansel dengan raut wajah sedih, kecewa dan terluka.
"Tapi Yah..."
"Ayah mohon, beri dia waktu untuk mengobati lukanya" potong Pak Ilham cepat.
Ansel terdiam, merasakan hatinya sakit jika harus benar benar melepas Drabia. Jantungnya berdetak kencang, membuat dadanya sesak seakan mau pecah.
Tidak tidak tidak tidak!, dia tidak mau melepas Drabia. Ansel menggeleng gelengkan kepalanya. Meski belum tau pasti dengan perasaanya. Tapi dia tidak mau menyesal untuk yang kedua kali.
Ansel kembali berlutut di depan Pal Ilham, memohon supaya memberinya kesempatan terakhir.
"Ayah! aku mohon, beri aku kesempatan. Bukan karna aku menyesal Ayah, tapi murni dari hatiku. Aku ingin memperbaiki rumah tangga kami" pinta Ansel dengan berurai air mata.
Melihat wajah memohon Ansel yang terlihat sungguh sungguh, tentu Pak Ilham tidak tega melihatnya. Wajah menyedihkan itu mengingatkannya ke tiga belas Tahun yang lalu. Ansel terbangun dari koma, Ayahnya sudah tiada. Dan Pak Ilham lah yang menawarkan diri untuk menjadi Ayah dari anak yatim itu.
" Berdirilah Nak" ucapnya menahan air mata yang hampir terjatuh.
"Ayah merestuimu kembali. Tapi Nak, jangan sekarang, dia masih terluka. Beri dia waktu untuk mengobati lukanya." Pak Ilham menjeda kalimatnya sebentar, lalu berbicara lagi." Dan juga bukankah kamu harus meyelesaikan masalahmu dengan tunanganmu?. Buktikan Nak, buktikan kalau kamu bersungguh sungguh, dan pastikan perasaanmu, kalau kamu mencintai Drabia. Karena dia butuh di cintai."
Wajah Ansel langsung sumiringah, ia pun menghapus air matanya dan langsung memeluk Pak Ilham.
"Trimakasih Yah!, Ansel janji tidak akan menyakitinya lagi. Ansel janji Yah" tangsi Ansel terisak. Terharu mendapatkan orang sebaik Pak Ilham.
"Coba saja kalau kamu masih berani menyakiti putriku. Kupastikan juniormu itu lepas dari tempatnya" ancam pria paru baya itu.
Ansel melepas pelukannya, lalu mengecup pipi pria itu dan langsung kabur masuk ke ruangannya.
"Kurang ajar!" umpat Pak Ilham melap pipinya bekas bibir Ansel yang menempel.
*Bersambung