Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Namun, ketenangan itu kini terasa seperti ilusi.
Zayyan menyandarkan dahinya ke kemudi, kedua tangannya mengepal di atas pahanya. Rasa bersalah menghantam seperti gelombang tak berujung. Ia tahu, jika ia tetap di sisi Aluna, maka ayahnya akan benar-benar menepati ancaman itu. Ia tahu apa yang mampu dilakukan keluarganya—mereka punya uang, pengaruh, dan koneksi untuk membungkam bahkan membinasakan siapa pun.
“Aku nggak sanggup ngelihat semua ini hancur… cuma karena aku,” gumam Zayyan lirih.
Matanya kembali mengarah pada Aluna, dan saat itulah—tatapan mereka bertemu.
Aluna mendongak dari pekerjaannya. Pandangannya tertuju pada kaca jendela butik. Tatapan itu kosong, bingung, tapi juga menyiratkan kecemasan. Seolah hatinya menangkap ada yang tidak beres. Dan benar saja, detik berikutnya, Aluna bergegas keluar.
Zayyan cepat keluar dari mobil, tapi tidak berkata apa-apa. Keduanya berdiri dalam diam di depan butik yang perlahan mulai diterangi cahaya kuning keemasan dari lampu dalam ruangan.
"Zayyan?" Aluna memecah keheningan dengan suara yang lirih. Tatapannya menyapu wajah lelaki itu yang tampak jauh lebih kusut dari biasanya. Mata Zayyan merah, seakan menyimpan lautan air mata yang tak bisa tumpah. "Kau... Apa kau baik-baik saja?"
Zayyan menatap Aluna seperti menatap segalanya yang ia miliki di dunia ini. Satu-satunya tempat ia bisa kembali. Tanpa peringatan, tubuh Zayyan maju dan memeluk Aluna erat. Terlalu erat, seakan dunia akan merenggutnya jika ia sedikit saja mengendurkan pelukan itu.
Aluna terpaku. Tubuhnya membeku dalam pelukan hangat yang tiba-tiba ini. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tidak menanyakan lebih lanjut. Tapi detik berikutnya, perlahan, ia membalas pelukan itu. Tangannya melingkari tubuh Zayyan dengan lembut, mengusap punggung lelaki itu perlahan.
Pelukan itu terasa lama. Seolah waktu ikut diam bersama mereka. Udara malam yang dingin tak cukup kuat untuk mengusir kehangatan yang menyelimuti di antara dua insan yang saling mencari perlindungan. Tapi pada akhirnya, kenyataan tetap harus dihadapi.
Zayyan melepaskan pelukannya perlahan. Pandangannya masih mengambang, seolah enggan kembali ke dunia yang keras. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah tengah mencari sisa keberanian yang tertinggal.
Aluna menatapnya lekat-lekat. "Zayyan... apa yang sebenarnya terjadi? Apakah semuanya baik baik saja?"
Suara itu terdengar lembut, seperti embun yang menyentuh permukaan luka. Tapi pertanyaan itu menghantam tepat di dada Zayyan. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya, berusaha menelan kalimat-kalimat yang ingin meluncur tapi ia tahan.
"Nggak ada apa-apa," ujarnya pelan. "Aku cuma... rindu kamu Aluna."
"Apakah kau yakin tidak ada yang lain?" tanya Aluna
"Ya, aku yakin." jawab Zayyan dengan tegar.
Aluna tidak percaya begitu saja, tapi ia juga tahu kapan seseorang belum siap untuk bicara. Maka ia hanya mengangguk pelan dan menggenggam tangan Zayyan, mengajaknya masuk ke butik.
Keesokan harinya, pagi di butik Aluna dimulai seperti biasa. Aluna sibuk memeriksa potongan kain dan menata pola untuk pesanan khusus. Tapi ketenangan itu buyar seketika ketika suara bel pintu butik berbunyi dan dua sosok yang tak asing melangkah masuk ke dalam butik.
Bu Ratna dan Tasya.
Aluna terdiam. Tangannya seketika beku di atas meja. Napasnya tercekat saat mengetahui siapa yang saat ini tengah datang ke butik miliknya.
"Aluna," sapaan datar keluar dari mulut Bu Ratna, suaranya tidak setegang dulu, tapi masih menyimpan bayang-bayang yang sulit dilupakan.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/