Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu dekat
Chandra datang ke hotel membawa dua paper bag berisi sarapan. Aroma bubur hangat dan roti panggang memenuhi ruangan ketika ia masuk ke kamar. Sarah baru saja selesai merapikan tempat tidur, sementara Susan dan Selin masih duduk di sofa, sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Aku bawain sarapan,” ucap Chandra sambil meletakkan paper bag di meja. “Kalian makan dulu.”
Sarah menoleh, lalu tersenyum kecil. “Makasih, Chandra.”
Chandra tidak langsung duduk. Tatapannya menyapu ruangan, seolah mencari seseorang yang jelas tidak ada di sana. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya bertanya, “Ada kabar dari Jema?”
Sarah terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Nggak ada. HP-nya nggak bisa dihubungi dari semalam.”
Raut wajah Chandra langsung berubah. Kerut di dahinya semakin dalam. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di tepi sofa. Jujur saja, meskipun ia belum resmi menikah dengan Sarah, Chandra sudah menganggap Susan dan Selin seperti anaknya sendiri. Ia memperlakukan mereka dengan sabar, dengan perhatian yang sama seperti anak-anaknya di rumah.
Apalagi, jauh di dalam hatinya, Chandra selalu punya ruang kosong yang tak pernah benar-benar terisi. Dulu, saat almarhumah istrinya mengandung anak ketiga mereka, ia begitu berharap anak itu perempuan. Ia ingin punya putri. Seseorang yang bisa ia lindungi, ia banggakan, ia antar ke sekolah, ia jemput dengan senyum. Namun takdir berkata lain. Harapan itu ikut terkubur bersama kepergian istrinya.
Mungkin itu sebabnya Jema begitu mudah membuatnya khawatir.
Kekhawatiran Chandra justru membuat Susan dan Selin semakin tidak nyaman. Tatapan mereka mengeras. Ada rasa kesal yang tak lagi mereka sembunyikan.
Chandra berdiri, menatap Susan dan Selin bergantian. Nadanya lembut, tapi penuh penekanan.
“Susan, Selin… kalau kalian lihat Jema di sekolah hari ini, suruh dia pulang bareng kalian.”
Keduanya menoleh cepat.
“Kasihan dia,” lanjut Chandra. “Papa nggak tahu dia tidur di mana semalam. Sudah makan atau belum juga papa nggak tahu.”
Susan menunduk, menggenggam ponselnya lebih erat. Selin memalingkan wajah, rahangnya mengeras.
“Papa cuma minta satu hal,” tambah Chandra pelan. “Apa pun yang terjadi, dia tetap saudara kalian.”
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menggantung di kamar hotel itu—dan di dalam keheningan itu, kebencian Susan dan Selin pada Jema tumbuh semakin dalam, perlahan tapi pasti.
---
Di sisi lain, Jema terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak. Sepanjang malam, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ia takut Nathan kabur—meskipun kunci motor sudah ia simpan. Ia juga takut jika Nathan melakukan sesuatu yang tidak-tidak padanya.
Namun, kenyataannya jauh berbeda dari yang ia bayangkan.
Sepanjang malam itu, Nathan sama sekali tidak melakukan apa pun. Laki-laki itu justru tertidur begitu nyenyak di sofa usang, seolah semua beban di kepalanya runtuh bersamaan dengan lelapnya mata.
Jema duduk di kasur kecil, menatapnya cukup lama. Perlahan, ia bangkit, melipat selimut yang semalam dipakainya, lalu mengembalikannya ke tempat semula—ke sofa tempat Nathan tidur tadi malam.
Nathan masih belum bangun.
Jema duduk di samping sofa, niatnya ingin membangunkan Nathan, tapi entah kenapa ia tidak tega. Akhirnya ia memilih duduk diam, memandangi wajah laki-laki itu dari jarak dekat.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan.
Tiba-tiba Nathan menggerakkan kepalanya. Tanpa sadar, kepalanya bersandar di bahu Jema.
Jema terkejut.
Ia menoleh cepat ke arah Nathan. Laki-laki itu masih terlelap. Napasnya teratur. Jema tidak berani bergerak, bahkan untuk sekadar menarik bahunya. Ia duduk kaku, takut membangunkannya.
Beberapa menit kemudian, Nathan mengangkat kepalanya perlahan. Lehernya terasa pegal. Ia mengerjapkan mata, masih setengah terpengaruh kantuk, lalu menoleh ke samping.
Tatapan mereka bertemu.
Dalam keadaan setengah sadar, tangan Nathan berpindah ke sisi tubuh Jema. Gerakannya refleks, seperti ingin meraih atau memeluk. Aroma manis itu kembali tercium—aroma yang sejak semalam terasa ramah di indra penciuman Jema, menenangkan tanpa alasan.
“Nathan?” panggil Jema pelan.
Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Nathan.
“Nathan?”
Panggilan itu menyadarkannya sepenuhnya.
Nathan membuka matanya lebar-lebar. Terkejut. Seketika ia menarik tangannya menjauh dari paha Jema, seolah baru menyadari posisi mereka yang terlalu dekat.
“Sorry…” ucap Nathan singkat.
Suasana mendadak canggung. Jema menarik tangannya kembali ke pangkuannya, sementara Nathan mengalihkan pandangan, berusaha mengusir rasa kantuk—dan sesuatu yang lain—dari pikirannya.
“Lo nggak ke sekolah hari ini?” tanya Nathan sambil berdiri dari sofa.
Jema menatapnya sebentar, lalu menunduk. “Gimana mau pergi… seragam gue gimana?”
Nathan terdiam sejenak, lalu berkata, “Ayo kita ambil barang-barang lo di rumah itu.”
Jema mengangkat wajahnya. “Gimana caranya?”
“Kalau cuma ngambil barang-barang doang, ya nggak masalah,” jawab Nathan ringan.
Namun Jema kembali menunduk. Ragu jelas terlihat di wajahnya.
“Kunci motor gue…” ucap Nathan sambil menadahkan tangannya ke arah Jema.
Jema langsung mengernyit. “Kok tanya gue? Gue mana tahu.”
Nathan menatapnya datar. “Kan lo yang ambil tadi malam.”
“Hah?” Jema refleks membelalakkan mata.
Nathan melangkah mendekat, jarak mereka kini terlalu dekat untuk ukuran pagi yang masih sunyi. Dengan santai, ia menunjuk ke arah dada Jema menggunakan jari telunjuknya.
“Mau gue yang ambil,” katanya pelan, “atau lo sendiri yang ambil?”
Wajah Jema langsung memerah. Ia reflek menutup dadanya dengan kedua tangan.
“Nathan! Lo mesum!” serunya kesal.
Dengan cepat, Jema membalikkan badan, membelakangi Nathan. Tangannya merogoh bagian dalam bajunya dan mengambil kunci motor yang sejak semalam ia simpan di sana.
Sementara itu, Nathan buru-buru menoleh ke arah lain, berdeham kecil, pura-pura sibuk menatap dinding bengkel yang kusam.