Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Antrean Paling Depan dan Pesanan Hantu
Jumat pagi yang cerah di pemukiman padat Jakarta Timur.
Sejak pukul 06.30 pagi, antrean di depan lapak "Dapur Nando" sudah mengular. Ibu-ibu tetangga yang biasanya masih dasteran kini tampak lebih rapi, beberapa bahkan memakai lipstik.
Penyebabnya bukan diskon, melainkan sosok pria yang berdiri di urutan paling depan antrean.
Aditya Rahardian.
Pria itu mengenakan kaos polo navy dan celana chino krem. Rambutnya ditata santai namun tetap terlihat berkelas. Ia berdiri sabar memegang uang lima puluh ribu di tangan, mengabaikan tatapan memuja ibu-ibu dan bisik-bisik genit di belakangnya.
"Bu Nayla, pembeli pertama nih. Nggak dilayanin?" goda Adit saat Nayla baru selesai menata panci.
Nayla menahan senyum, mencoba tetap profesional meski pipinya memerah. "Sabar ya, Mas. Nasinya baru mateng. Mau pesen apa?"
"Nasi uduk satu, lauknya ayam goreng, orek tempe, sama..." Adit melirik menu, "...senyum penjualnya dibungkus boleh?"
"Huuu!" sorak ibu-ibu di belakang kompak, membuat suasana riuh.
"Mas Adit gombal terus!" celetuk Bu RT sambil terkekeh. "Pepet terus Mas, jangan kasih kendor! Janda kembang nih!"
Nayla menggelengkan kepala, menyendok nasi dengan cepat untuk menutupi salah tingkahnya. "Nih, Mas. Dua puluh ribu. Kembaliannya ambil permen aja ya, nggak ada receh."
"Nggak usah kembalian. Anggep aja tip buat Nando," Adit menerima bungkusan itu dengan mata berbinar.
"Makasih. Next!" panggil Nayla, pura-pura galak.
Adit tidak langsung pulang. Ia duduk di kursi plastik kecil di samping gerobak, memakan nasi uduknya di sana sambil ngobrol dengan Nando yang sedang bersiap berangkat TK. Pemandangan CEO makan di pinggir jalan gang sempit itu menjadi tontonan gratis warga.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Nenek Ijah keluar dengan tongkatnya, matanya menyipit melihat keramaian.
"Loh? Mas Adit?" panggil Nenek.
Adit langsung tersedak, buru-buru meletakkan piringnya dan berdiri sopan. Ia menyalami tangan keriput Nenek Ijah. "Pagi, Nek. Sehat?"
Nenek Ijah menatap Adit dari ujung kaki ke ujung kepala dengan tatapan menyelidik.
"Nayla cerita semuanya semalam," kata Nenek Ijah pelan tapi tegas. Suasana mendadak hening. Ibu-ibu tetangga pasang kuping.
"Bukan TKI to? Tapi Juragan Gedung?"
Adit menunduk, siap dimarahi. "Iya, Nek. Maaf saya bohong waktu itu. Saya takut Nenek nggak nyaman kalau tau kerjaan saya."
Nenek Ijah mengangkat tongkat kayunya. Adit memejamkan mata, pasrah kalau dipukul.
Puk.
Tongkat itu mendarat pelan di bahu Adit.
"Dasar bocah nakal," omel Nenek, tapi bibirnya tersenyum. "Nenek nggak peduli kamu juragan gedung atau tukang sapu. Yang penting kamu nggak nyakitin cucu Nenek. Sekali kamu bikin Nayla nangis lagi, tongkat ini bukan cuma nyentuh bahu, tapi nyentuh jidat! Ngerti?!"
Adit bernapas lega, tersenyum lebar. "Siap, Nek! Mengerti! Saya janji bakal jagain Nayla dan Nando."
"Ya udah, abisin tuh nasinya. Keburu dingin."
Restu Nenek Ijah—benteng terakhir pertahanan Nayla—akhirnya runtuh. Pagi itu terasa sempurna bagi Adit. Ia merasa diterima bukan karena hartanya, tapi karena dirinya.
Siang harinya.
Nayla sedang membereskan dagangan yang ludes terjual ketika ponsel bisnisnya berbunyi. Panggilan WhatsApp dari nomor baru. Foto profilnya gambar bunga mawar biasa.
"Halo, Dapur Nando?"
"Halo, Mbak. Saya Bu Ratna dari Komplek Gading. Saya mau pesen nasi kotak untuk acara syukuran sunatan anak saya besok siang."
"Bisa, Bu. Mau pesan berapa kotak?" tanya Nayla semangat.
"Saya butuh 200 kotak. Menu paket lengkap yang 35 ribu ya. Ayam bakar, sambal ati, telur balado. Totalnya 7 juta kan?"
Mata Nayla berbinar. 7 juta! Itu omzet terbesar yang pernah ia dapatkan di luar acara festival kemarin. Keuntungannya bisa buat bayar kontrakan setahun.
"Bisa banget, Bu. Tapi mohon maaf, untuk pesanan besar harus DP (Down Payment) dulu 50% ya, Bu," ujar Nayla sesuai prosedur.
"Waduh, Mbak. Saya lagi di luar kota, mobile banking saya lagi error nggak bisa transfer. Saya bayar cash lunas besok pas barang sampe gimana? Saya share lokasi rumah saya, Mbak bisa cek kok rumah saya gedongan di Kelapa Gading. Saya nggak bakal nipu cuma buat nasi kotak."
Nayla ragu sejenak. Tapi nada bicara ibu itu sangat meyakinkan dan mendesak.
"Tolong ya Mbak, katering langganan saya batalin sepihak. Saya bingung nyari di mana lagi. Kasihan anak saya kalau tamunya nggak makan."
Rasa iba Nayla muncul. Ia tahu rasanya panik demi anak.
"Ya sudah, Bu. Saya percaya. Saya akan siapkan 200 kotak besok jam 11 siang diantar ke lokasi ya."
"Alhamdulillah! Makasih banyak ya Mbak Nayla. Nanti saya share loc."
Nayla menutup telepon dengan hati berbunga-bunga. Ia segera menelepon Rian untuk minta tolong diantar besok pakai mobil pickup lagi.
Sore itu juga, Nayla membongkar tabungannya. Ia belanja bahan baku besar-besaran di pasar. Ayam 20 kilo, beras sekarung, bumbu-bumbu. Hampir 3 juta modal ia keluarkan—seluruh uang pegangannya saat ini. Ia berpikir tidak apa-apa habis sekarang, besok akan balik modal dua kali lipat.
Malam itu Nayla dan Nenek Ijah begadang memasak. Adit sempat menawarkan bantuan lewat video call, tapi Nayla menolak halus, ingin mengerjakannya sendiri secara profesional.
Keesokan harinya, Sabtu Pukul 11.00 WIB.
Mobil pickup sewaan yang disopiri Rian berhenti di sebuah titik lokasi di perumahan elite Kelapa Gading. Bak belakang mobil penuh dengan tumpukan kardus nasi yang wangi.
"Ini alamatnya, Nay? Blok C No. 12?" tanya Rian bingung, menengok ke luar jendela.
"Iya, sesuai share loc Bu Ratna," jawab Nayla sambil merapikan tatanan rambutnya.
Mereka turun. Namun, pemandangan di depan mereka membuat darah Nayla surut.
Rumah di alamat Blok C No. 12 itu memang rumah gedongan. Tapi pagarnya digembok rantai berkarat. Rumputnya setinggi lutut. Ada papan lapuk tertulis: DIJUAL / DISEWAKAN.
Rumah kosong.
"Mas Rian... kok sepi?" suara Nayla bergetar.
"Coba telepon ibunya, Nay."
Nayla dengan panik mendial nomor Bu Ratna.
Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.
Ceklis satu di WhatsApp.
Foto profil bunga mawar itu sudah hilang.
Nayla mencoba menelepon lagi, lagi, dan lagi. Hasilnya nihil. Ia diblokir.
"Mungkin salah alamat? Coba tanya satpam," saran Rian, berusaha positif.
Nayla bertanya pada satpam yang lewat patroli.
"Pak, ini rumah Bu Ratna yang mau hajatan sunatan?"
Satpam itu mengernyit. "Bu Ratna? Rumah ini udah kosong lima tahun, Neng. Yang punya tinggal di luar negeri. Nggak ada hajatan apa-apa di sini."
Kaki Nayla lemas. Ia ambruk terduduk di aspal panas.
200 kotak nasi.
Modal 3 juta lebih.
Tenaga begadang semalaman.
Semuanya lenyap.
"Ya Allah..." tangis Nayla pecah. "Tega banget orang nipu saya..."
Rian ikut lemas. Ia menatap ratusan kotak nasi yang kini tak bertuan itu. Ini bukan sekadar iseng. Ini jahat.
Tiba-tiba, ponsel Nayla berbunyi lagi. Sebuah pesan SMS masuk dari nomor tak dikenal (bukan nomor Bu Ratna).
Isinya singkat, tapi mengerikan:
"Gimana rasanya uang melayang? Itu baru permulaan. Jauhi Adit, atau hidup lo bakal hancur pelan-pelan."
Nayla menatap layar ponselnya dengan horor. Air matanya berhenti seketika, berganti rasa dingin yang menusuk tulang.
Ini bukan penipuan biasa.
Ini teror.
Di kantor Rahardian Group, Adit sedang rapat santai dengan tim marketing ketika ponselnya berbunyi. Panggilan dari Rian.
"Halo, Yan? Kenapa? Kateringnya sukses?" tanya Adit ceria.
"Pak Adit... Anu Pak... Gawat." Suara Rian terdengar panik. "Nayla kena tipu orderan fiktif. 200 kotak, Pak. Orangnya ngilang. Dan barusan Nayla dapet SMS ancaman."
Wajah Adit berubah keruh seketika. Aura membunuh keluar dari dirinya.
"Share lokasi kalian sekarang. Saya ke sana."
Adit mematikan telepon, menyambar kunci mobilnya.
"Rapat bubar," perintahnya dingin pada timnya yang bengong.
Di dalam mobil sport-nya yang melaju kencang membelah jalan tol, Adit mencengkeram setir hingga buku jarinya memutih.
Ia tahu siapa pelakunya. Hanya satu orang yang punya motif sejahat ini.
"Vina," geram Adit. "Kamu bener-bener gali kuburanmu sendiri."
Kembali di depan rumah kosong.
Nayla masih duduk melamun menatap nasi kotaknya. Ia bingung harus diapakan makanan sebanyak ini. Kalau dibuang mubazir, kalau dijual lagi sudah tidak mungkin karena sudah siang.
Sebuah mobil sport hitam berhenti mendadak di depan pickup. Adit keluar, berlari menghampiri Nayla.
"Nay! Kamu nggak apa-apa?" Adit berlutut, memegang bahu Nayla.
Nayla menatap Adit dengan mata kosong. "Uangku abis, Mas. Modal belanja abis... Dan dia... dia bilang ini gara-gara aku deket sama kamu."
Nayla menyerahkan ponselnya, menunjukkan SMS itu.
Adit membaca pesan itu. Rahangnya mengeras.
"Maafin saya, Nay. Ini salah saya karena nggak habisin dia sampe tuntas kemarin," Adit memeluk Nayla erat, berusaha menyalurkan kekuatan. "Dengerin saya. Soal uang modal, saya ganti sekarang juga. Jangan tolak."
Nayla menggeleng lemah di pelukan Adit. "Nggak mau. Itu uang haram hasil nipu."
"Bukan uang dari penipunya, tapi saya yang beli dagangan kamu ini. 200 kotak ini saya beli," ujar Adit tegas. "Kita bawa ke panti asuhan terdekat. Sedekahkan atas nama Nenek Ijah biar dia sehat terus. Jadi masakan kamu nggak sia-sia, pahalanya dapet, modal kamu balik."
Nayla menatap Adit. Solusi itu... sangat Adit sekali. Bijaksana dan menenangkan.
"Mas beneran mau beli?"
"Beneran. Sekarang hapus air mata kamu. Kita bagi-bagi nasi ini. Terus habis itu, kita ke kantor polisi. Saya akan lacak nomor ini. Saya akan pastikan orang ini menyesal seumur hidupnya."
Nayla mengangguk, menghapus air matanya. Adit membantunya berdiri.
Di kejauhan, dari balik kaca mobil sedan merah yang terparkir tersembunyi, Vina memukul setir dengan kesal.
"Sialan! Kenapa Adit selalu dateng jadi pahlawan?!" teriak Vina frustrasi. "Liat aja. Gue nggak bakal berhenti sampe mental lo hancur, Nayla."
Perang terbuka telah dimulai. Vina bermain kotor, tapi ia lupa bahwa lawannya adalah seseorang yang memiliki sumber daya tak terbatas untuk membalas dendam.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️