NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21

Keesokan paginya, Devan sudah tiba di kantor lebih cepat dari biasanya. Kursinya langsung ia tarik, lalu ia menjatuhkan tubuhnya ke sandaran dengan malas. Komputer menyala di depannya, beberapa berkas tuntutan sudah terbuka. Namun setiap kali matanya menyapu tulisan, kelopak matanya justru terasa makin berat. Ia beberapa kali menguap lebar, bahunya naik turun pelan.

Ruangan masih cukup sepi ketika Rangga datang. Ia menaruh tasnya, lalu mendekat sambil mengangguk sopan. Devan tidak menoleh, tapi ia tahu Rangga sedang menatapnya dengan ragu.

“Kenapa?” tanya Devan datar, masih sibuk mengetik.

“Kasus kemarin…” jawab Rangga pelan. Devan akhirnya melirik sebentar. “Udah saya pelajari,” lanjutnya.

Devan mengangguk sekali, singkat. Rangga mengatur duduknya, tubuhnya tegak, siap melaporkan apa pun yang ia pelajari semalaman. Namun baru ia buka mulut, Devan sudah mengangkat tangan kecil-kecilan.

“Oke, cukup.”

Rangga langsung terdiam, bingung. “Maksudnya, pak?”

“Kamu udah mempelajarinya. Itu udah cukup.” Nada Devan datar, bukan memuji, bukan meremehkan, tapi seperti menyampaikan hal yang wajar. Devan memang sengaja menyuruhnya mempelajari kasus itu hanya untuk dibaca, bukan dipresentasikan. Toh, kasus itu ia kerjakan sendiri. Kalau ada bagian yang Rangga tidak mengerti, Devan yakin Rangga akan bertanya nanti.

Jemari Devan tiba-tiba berhenti mengetik. Ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. Ia menghela napas pelan, lalu memutar kursinya menghadap Rangga.

“Kamu mau bantu saya kerjakan kasus?” tanyanya lirih, hampir seperti rahasia kecil yang hanya boleh didengar satu orang.

Rangga membeku sejenak, matanya melebar. “Saya, pak?”

Devan mengangguk pelan. Ia mengibas tangannya, memberi isyarat agar Rangga mendekat. Suaranya menurun setingkat lebih rendah.

“Kasus ini masih rahasia. Belum ada surat perintah dari kejaksaan. Jadi jangan sampai ada yang tahu.”

Rangga menelan ludah, tampak menimbang-nimbang. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, tapi ia juga tahu ini bukan hal ringan. Namun sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka. Salah satu rekan Devan masuk sambil membawa setumpuk berkas.

Devan langsung duduk tegak dan memberi isyarat halus agar Rangga kembali ke mejanya. “Nanti kita bahas,” katanya singkat.

Rangga mengangguk dan segera kembali ke tempatnya.

Devan mencoba fokus lagi pada layar laptop. Namun beberapa menit kemudian, sebuah suara muncul dari rekannya yang baru masuk tadi.

“Kamu gak tidur lagi?” katanya sambil mengernyit, seperti sudah hafal dari setiap helaan napas Devan.

“Hm.” Jawaban Devan pendek, tanpa emosi.

“Udah dibilang kan, pergi ke dokter. Cuti sehari juga gak bikin kantor ini runtuh,” omelnya lagi. Nada dan ekspresinya benar-benar seperti seorang ibu memarahi anaknya yang keras kepala.

Devan hanya menghela napas dan mendengarkan. Rekan itu memang selalu memperhatikannya seperti keluarga. Kadang menyebalkan, tapi sering kali menjadi satu-satunya orang yang peduli.

Devan memang sudah lama mengidap gangguan tidur. Kadang butuh waktu berjam-jam untuk terlelap. Kadang baru tidur sebentar, ia terbangun tanpa alasan. Ia pernah pergi ke psikiater, mencoba obat tidur, menjalani terapi, sampai mengikuti saran-saran aneh yang katanya bisa membantu.

Tapi hasilnya sama saja.

Tubuhnya lelah, matanya berat… tapi tidur tidak pernah datang ketika ia butuh. Bahkan olahraga pun hanya membuat badannya lelah tanpa membuatnya lebih mengantuk.

Ia sudah mencoba hampir semuanya.

Mungkin suatu hari, ia akan menemukan cara yang benar-benar berhasil.

Begitu jam makan selesai, Devan mengajak Rangga ke pengadilan. Rangga duduk di kursi hadirin, tepat di belakang Devan. Suasana ruang sidang terasa tegang dan hening.

Tanpa menoleh sepenuhnya, Devan berkata pelan, “Kamu catat bagian penting selama sidang.”

Rangga langsung mengangguk. Ia mengeluarkan tablet, menyiapkan stylus, dan bersiap mencatat begitu palu sidang diketuk.

***

Sementara itu, di sisi lain kota, di rumah Jovita, wanita itu tengah merapikan kamarnya. Buku-buku berserakan di lantai, beberapa pakaian tergeletak di kursi, dan kardus-kardus masih terbuka di mana-mana seperti habis dibongkar lalu ditinggalkan begitu saja. Ia sedang menumpuk buku ke rak ketika terdengar ketukan pelan di pintu.

Airin muncul sambil mendorong pintu sedikit. “Semalam kamu ke mana? Kenapa pulangnya larut banget?” tanyanya, nada ingin tahunya jelas. “Kakakmu nanya, tapi aku gak tahu kamu pergi ke mana, jadi aku gak bisa bikin alasan.”

“Ke rumah teman,” jawab Jovita singkat sambil tetap memasukkan buku ke rak. “Teman aku jaksa. Aku minta bantuannya buat urus masalahku.”

“Temanmu jaksa? Siapa?” tanya Airin, alisnya terangkat.

“Devan. Mungkin kakak pernah dengar. Dia sering ke sini waktu aku SMA,” kata Jovita.

Airin menyipitkan mata, mencoba mengingat. Ia memang sudah lama dekat dengan keluarga itu, bertahun-tahun berteman dengan Noah dan Jovita. Ia juga sering berada di rumah itu ketika masih pacaran dengan Noah dulu, termasuk saat Devan beberapa kali datang bersama teman-teman Jovita.

“Ah… yang laki itu?” akhirnya Airin ingat. “Terus kenapa gak ngabarin?”

“Aku ketiduran,” ucap Jovita santai, seolah itu bukan hal besar.

Airin langsung mengernyit skeptis. “Kamu ketiduran? Di rumah teman laki-laki?” tanyanya sambil menatap Jovita lebih lama dari biasanya. “Kok bisa sampai ketiduran?”

Gerakan Jovita otomatis terhenti. Ia menoleh, menatap Airin, lalu tertawa hambar.

“Gak ada apa-apa. Aku cuma ngantuk habis makan, terus gak sengaja ketiduran,” jelasnya dengan nada yang dibuat setenang mungkin.

Tapi Airin belum mengalihkan pandangan. Masih curiga.

“Serius,” ulang Jovita, sedikit menekankan nadanya. “Kita gak ngapa-ngapain.”

Setelah beberapa detik, Airin akhirnya menghela napas panjang. “Lain kali kabari dulu. Kakakmu hampir marah semalam,” ujarnya.

Jovita mendecih pelan sambil memasukkan buku terakhir ke rak. Rautnya berubah kesal.

“Aku udah dewasa, bukan anak SMA lagi. Kenapa lebay banget?” gumamnya, nada protesnya jelas.

Suasana kamar kembali hening sejenak. Hanya suara kardus yang digeser terdengar. Sampai akhirnya Airin kembali membuka suara.

“Omong-omong… aku butuh orang buat posisi bakery. Kamu mau?”

Jovita langsung menoleh cepat, matanya membesar penuh harap. “Mau! Mau banget,” jawabnya cepat, hampir seperti refleks.

“Tapi cuma bisa paruh waktu,” tambah Airin.

Ekspresi Jovita sedikit meredup. Ia mengernyit, terlihat menimbang-nimbang sebentar. Lalu akhirnya ia menarik napas dan mengangguk mantap.

“Gak apa-apa. Setidaknya aku gak nganggur-nganggur amat.”

Matahari terus bergerak ke arah barat. Begitu persidangan berakhir, Devan keluar dari ruang sidang dengan langkah berat, bahunya sedikit turun karena lelah. Rangga mengikuti beberapa langkah di belakangnya sambil membawa map.

Akhir-akhir ini Devan sering bertemu Rosmala di gedung itu, dan hari itu pun mereka kembali berpapasan. Rosmala yang baru keluar dari ruang berbeda langsung menghentikan langkahnya ketika melihat putranya.

“Kamu sidang juga?” tanya Rosmala.

Ia menatap wajah Devan yang tampak kusut dan letih, lalu menghela napas panjang, nada khawatirnya tidak bisa disembunyikan.

“Kamu masih bisa hidup setelah ini? Pulang ke rumah, kamu keliatan gak keurus,” katanya.

“Aku cuman lelah,” balas Devan singkat, suaranya berat dan agak serak.

Mata Rosmala kemudian beralih ke Rangga yang berdiri di belakang Devan. “Siapa dia?”

“Ah, anak magang di kantor,” jawab Devan. Ia menoleh sedikit ke arah Rangga. “Ini ibuku, dia pengacara,” katanya mengenalkan. Rangga mengangguk sopan dengan senyum kecil.

“Oh iya, ada yang mau kutanyakan,” kata Devan sambil memijat pelipisnya, baru teringat sesuatu. “Kamu duluan ke mobil, aku mau bicara dengan ibuku.”

Rangga menurut, langsung berjalan menuju parkiran.

Devan dan Rosmala bergeser ke dekat taman kecil yang berada di sisi gedung. Devan kembali menguap sebelum akhirnya membuka suara.

“Mama nyuruh orang lagi buat ngawasin Jovita?” tanya Devan, nada serius mulai mengisi wajahnya.

“Enggak,” kata Rosmala.

Namun Devan tidak langsung percaya. Rahangnya mengeras. “Katakan sebenarnya. Aku udah tau, ada yang ngikutin dia,” ucapnya lagi, kali ini lebih tegas.

“Beneran, mama gak nyuruh siapapun. Lagian buat apa mama nyuruh orang buat ngawasin mantanmu?” kata Rosmala sambil terkekeh kecil, mencoba meremehkan tuduhan itu.

Devan menatap wajah ibunya dalam-dalam, mencari tanda-tanda kebohongan. Rosmala membalas tatapannya dengan yakin.

“Kamu curiga sama mama?” tanya Rosmala.

Devan masih menatapnya beberapa detik, lalu akhirnya hembusan napas panjang keluar dari mulutnya. Ekspresinya mereda, seolah ia mulai percaya bahwa ibunya memang tidak terlibat.

“Terus siapa dia?” pikirnya dalam hati, penuh kebingungan.

“Yaudah, kalau gitu aku pergi sekarang.”

Devan beranjak berdiri, namun baru beberapa langkah, suara Rosmala kembali menahannya.

“Temui Mawar. Dia mau ketemu kamu,” katanya.

Langkah Devan terhenti sebentar. Ia tidak menoleh sama sekali, hanya diam sepersekian detik sebelum kembali melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rosmala mendengus pelan, antara kesal, capek, dan menerima kenyataan bahwa anaknya memang keras kepala sejak dulu.

***

Siang hari di hari Sabtu, Devan melangkah masuk ke area lapas untuk menemui seseorang. Temannya duduk di balik meja kecil ruang kunjungan. Teman kecilnya. Dan ia sendiri yang memasukkan ke tempat ini.

“Kabarmu baik?” tanya Devan sambil duduk. Suaranya pelan, tidak ingin terdengar sok iba.

“Hm. Tinggal di sini gak begitu buruk,” jawab temannya santai, seolah benar-benar bisa menerima hidupnya di balik jeruji.

Devan mendecih kecil, mengangguk tanpa percaya. Tentu saja bagi temannya, tempat ini terasa ‘lebih mudah’. Tidak perlu memikirkan bagaimana mendapatkan makan atau tempat tidur. Semua disediakan. Ironis, tapi begitulah kenyataannya.

“Sebentar lagi kamu bebas, kan? Apa rencanamu?” tanya Devan, nada suaranya datar namun tidak menghakimi.

Temannya tersenyum miring. “Gak tau. Mungkin aku bakal merampok lagi biar kamu memasukkanku ke sini lagi.”

Nada bercandanya terdengar ringan… tapi ada bagian yang terasa sangat sungguh-sungguh.

Devan menghela napas panjang. “Jangan bilang begitu. Aku gak mau bertemu denganmu di pengadilan lagi.”

Percakapan mereka selesai tidak lama setelah itu. Saat Devan tiba di area parkir lapas dan hendak membuka pintu mobilnya, ia terhenti. Ada seseorang berdiri tidak jauh dari sana.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!