NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bb 21

Aira mengangguk pelan. Tangan Pak Hadi menyentuh bahunya sebentar, memberi ketenangan yang selalu berhasil menurunkan tensi emosinya.

“Papa tahu kamu kaget… bahkan mungkin keberatan,” ucap Pak Hadi hati-hati. “Tapi Papa juga tahu, kamu anak yang paling bisa diajak bicara.”

Aira menatap gelas tehnya. “Pa… tiba-tiba banget. Aku belum siap. Aku… belum tahu harus apa.”

Pak Hadi mengangguk. “Wajar, Nak. Papa pun kaget waktu Ustadz Fathur bilang begitu. Tapi Papa merenung semalaman. Mama juga. Kami merasa… ini bukan hal yang buruk.”

Aira diam, memelintir ujung bajunya.

“Aira, dari dulu kamu selalu percaya sama Papa. Papa mungkin tidak sempurna, tapi Papa selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu.” Suaranya tetap lembut, hangat, dan menenangkan. “Ustadz Fathur itu orang baik. Papa lihat sendiri caranya bicara, caranya menghormati. Bahkan cincin yang dia kasih itu… sudah lebih dari cukup menunjukkan kesungguhannya.”

Aira menggigit bibir. “Tapi Pa… Aku takut. Hidup Aku aja masih absurd.”

Pak Hadi tertawa kecil. “Nak, hidup siapa yang nggak absurd? Papa muda dulu juga chaos.”

Aira tak bisa menahan senyum tipis.

Pak Hadi mencondongkan badan sedikit. “Kamu boleh jujur sama Papa. Kalau kamu benar-benar tidak mau, bilang. Papa tidak akan memaksa. Tapi kalau kamu hanya takut karena kaget… Papa minta, jangan menutup hati dulu. Coba pikirkan dengan tenang.”

Aira menghela napas panjang. Suara Papanya membuat semua badai di kepalanya mendadak jinak.

Ia menatap Ayahnya. “Pa… Aku percaya sama Papa. Selalu. Tapi Aku juga pengen yakin kalau ini bukan cuma keputusan yang terburu-buru.”

Pak Hadi mengangkat tangan, mengusap rambut anak gadisnya dengan sayang. “Tidak ada yang buru-buru, Nak. Kita masih bisa bicarakan pelan-pelan. Yang penting kamu tenang dulu.”

Aira akhirnya mengangguk.

Di antara semua kegaduhan hidupnya, suara lembut ayahnya selalu berhasil jadi penenang.

***

Siang harinya.

Siang ini matahari lumayan terik, tapi angin kampung membuat hawa tetap adem. Aira berdiri di depan pagar rumahnya sambil menjemur bantal yang pagi tadi basah karena botol minumannya jatuh ketika ia bangun dalam keadaan setengah sadar.

“Beginilah hidup…” gumamnya sambil menepuk-nepuk bantal. “Belum nikah udah ribet urusan rumah tangga versi bantal.”

Baru ia membalik bantal, terdengar suara langkah santai.

“Heh, kamu… tumben keliatan siang-siang,” sapa seorang pemuda...pacarnya anak Pak RW yang kemarin. Senyumnya mekar terlalu besar. “Sendirian aja? Cerah banget kalau kamu yang jemur bantal.”

Aira memutar matanya malas. “Mas, bantal doang nih yang dijemur. Jangan ikut-ikutan mengembang juga.”

Si pemuda malah tertawa. “Aduh, Neng, makin lama makin...”

BRUUM!

Suara motor berhenti mendadak.

Anaknya Pak RW turun dari motor dengan muka masam setengah gurun Sahara. Tatapannya langsung mengarah ke pacarnya... lalu ke Aira dari atas sampai bawah.

Aira hari ini kebetulan pakai crop top warna pastel dan celana kulot panjang. Santai, adem, dan menurut Aira normal. Tapi jelas bukan menurut “Ratu Cemburu Kampung” itu.

“Kamu!” bentaknya.

Aira kaget. “Hah? Saya napaaa?”

Pacarnya langsung mundur dua langkah, seolah tahu badai sudah tiba.

“Kamu ngapain GANJEN sama pacar saya?” tuduh si cewek dengan tangan berkacak pinggang.

Aira langsung mendengus. “Mbak… saya cuma jemur bantal. Mbak pikir saya ini apa? Nyihir sapa-sapa pake bantal?”

“Jangan pura-pura polos! Tadi saya lihat dia senyum-senyum ke kamu!”

Aira menatap pacarnya. “Mas, tolong. Jangan senyum-senyum lagi. Di sini ada korban perasaan.”

Si pacar buru-buru mengibaskan tangan. “Nggak, nggak, aku cuma... ”

“Dan kamu,” tunjuk anak Pak RW ke Aira lagi, “pake baju begitu segala! Ya pantes dia ngeliatin!”

Aira langsung manyun. “Mbak… tolong ya. Saya ini cuma pake crop top, bukan crop niat.”

Si perempuan semakin sewot. “Kamu sengaja membuat pacar saya melihat kamu!”

Aira meletakkan bantal, lalu berdiri tegak.

“Nah, itu salahnya, Mbak. Pacarnya yang liat, kok saya yang disalahin? Mata dia, kenapa saya yang diservis?”

Pacar si cewek menutup wajah karena tahu betapa benar... dan betapa bahaya... jawaban itu.

“Udah, Mas,” lanjut Aira sambil menunjuk pacarnya, “nanti Mbaknya meledak, saya pula yang dituduh jadi korek apinya.”

Si perempuan hampir melompat saking kesalnya. “SAYA NGGAK MELEDAK!”

“Oh iya, maaf,” Aira mengangkat tangan sopan. “Mendidih. Lebih tepat.”

Pacarnya menahan tawa sampai terbatuk-batuk.

“Neng! Kamu itu perempuan tapi kok… kok mulutnya—”

“Berlapis fakta, Mbak,” potong Aira. “Tapi tenang, saya nggak suka pacar orang. Jadi mau Mbaknya ngegas sampai puter balik pun, saya tetap jemur bantal di sini.”

Si perempuan itu mendengus keras, naik motor, lalu berteriak, “AA, NAIK! KITA PULANG!”

Pacarnya buru-buru ikut, tapi sebelum pergi dia sempat melirik Aira dan berbisik lirih, “Maaf ya… dia emang begitu.”

Aira melambaikan tangan. “Santai, Mas. Semoga hubungan kalian panjang… sabarnya.”

Motor pun melaju pergi... meninggalkan Aira, bantal basah setengah kering, dan satu kampung yang tahu:

Aira tetap Aira.

Kalau diganggu, balasannya auto bikin orang panas dingin.

***

Malam harinya.

Malam ini rumah sudah tenang. Lampu ruang tengah redup, angin malam masuk lewat jendela, membuat suasana adem. Aira duduk bersila di atas karpet, memandangi buku-buku kuliahnya yang ia keluarkan dari kardus tadi sore.

Ia memegang ijazahnya sambil menghela napas.

“Hmmm… sayang juga ya gelar gue nganggur begini. Jurusan ekonomi pula…” gumamnya sambil bolak-balik map ijazah. “Apa gue buka les anak-anak kampung? Atau kursus ngitung cepat? Atau ngapain ya… masa sarjana ekonomi jadi spesialis jemur bantal?”

Ia menggeleng. “Tapi kalau buka les… anak kampung sini banyak yang butuh sih. Lumayan…”

“Udah benar mau jadi istri, Ra.”

Aira langsung menjerit kecil. “IH, Mama! Mau bikin gue copot jantung?!”

Bu Maryam tertawa kecil sambil mengelap tangannya yang basah setelah mencuci piring. Ia duduk di samping Aira.

“Iya, Ra. Lebih baik jadi istri. Pahalanya besar. Apalagi kalau suaminya orang baik.”

Aira manyun. “Ilmu aku gimana, Ma? Masa cuma jadi...”

“Bisa kamu terapkan dalam rumah tanggamu nanti,” jawab Bu Maryam lembut. “Ekonomi rumah tangga itu pakai ilmu. Ngatur keuangan keluarga juga pakai ilmu. Cuma karena bentuknya beda, bukan berarti sia-sia.”

Aira mendesah. “Hmm… iya sih… tapi ngomongin nikah mulu, Ma. Kepala aku kayak kena kompor.”

Tiba-tiba Aira mendongak dan nyeletuk dengan polosnya. “Tapi… dipikir-pikir… dia ganteng juga sih, Ma.”

Bu Maryam langsung melirik dengan alis naik. “Oh?”

Aira cepat-cepat memperjelas, “Tapi dia nunduk mulu. Jadi aku nggak bisa lihat jelas. Kalau naik dikit dikit lah mukanya…”

“Bagus itu,” kata Bu Maryam sambil senyum. “Dia jaga pandangan. Lelaki begitu yang baik. Tapi memang… dia tampan kok, Ra.”

“Hmm… masa, Ma?”

“Mama bukan mau ngedorong kamu jatuh cinta, ya…” Bu Maryam mencondongkan badan. “Tapi jujur, Ra. Dia itu mirip seseorang yang ada di gambar-gambar kamu itu, loh.”

Aira berkedip. “Gambar-gambar yang mana?”

“Yang kamu pajang di binder. Yang kamu bilang ‘husband material versi aku’ itu.”

Aira memegang dada. “MAA... jangan buka aib!”

Bu Maryam terkekeh. “Hati-hati, Ra… lama-lama kamu naksir juga tuh sama ustadz.”

Aira mencebik tapi pipinya jelas memerah.

“Ma… jangan bicara aneh-aneh. Aku tuh cuma stres mikirin cincin dadakan aja.”

“Terserah kamu… tapi Mama lihat tadi malam pas dia bicara, kamu pikirannya ke mana-mana.”

“Ke mana?”

“Ke wajahnya.”

Aira sontak menutup wajah dengan bantal yang sudah kering.

“Astaghfirullah… Ma, jangan fitnah anak sendiri! Tapi… ya… dikit sih.”

Bu Maryam tersenyum, menepuk bahu Aira. “Nah. Udah mulai kelihatan.”

Aira makin meringis. “Ya Allah… aku tuh cuma mau mikirin masa depan gelar s1-ekonomi aku. Kenapa malah jadi s1-kegeeran begini…”

***

Di sisi lain.

Malam semakin larut, namun Pondok Al-Munawwar tetap hidup dengan suara santri yang mengaji murajaah sebelum tidur. Lampu-lampu di serambi memancar lembut. Ustadz Fathur baru saja selesai mengajar halaqah malam, melipat kitabnya dengan hati penuh getaran.

Semenjak pulang dari rumah Aira kemarin malam, keputusannya terasa semakin nyata. Ia harus menghadap Kyai Huda... sosok yang sudah ia anggap ayah sendiri.

Dengan langkah mantap namun gugup, ia menuju kediaman Kyai. Di depan pintu, ia mengetuk pelan.

Tok… tok…

"Assalamualaikum..."

“Waalaikumsalam. Masuk aja, Tadz,” suara Kyai Huda sudah mengenal ketukan murid kesayangannya itu.

Ustadz Fathur masuk dan duduk sopan di hadapan Kyai Huda yang sedang membaca kitab.

“Ada apa malam-malam begini?” tanya Kyai Huda sambil tersenyum, tapi sorot matanya membaca kegelisahan Fathur.

Ustadz Fathur menunduk dalam. “Pak yai… saya ingin meminta izin.”

Kyai Huda mengangkat kepala. “Izin apa?”

“Saya berniat menikah, pak yai.”

Kyai Huda terkejut namun tersenyum samar. “Lho… kan Neng Azwa masih mondok. Mau dipercepat?”

Bersambung

1
Rian Moontero
lanjuuuttt😍
Ijah Khadijah: Siap kak. Ditunggu kelanjutannya
total 1 replies
Ilfa Yarni
ya udah nanti ustadz tinggal drmh Aira aja toh Aira ank tunggal pasti orang tuanya senang deh
Ilfa Yarni
wallpapernya oke banget rhor
Ijah Khadijah: Iya kak. Ini diganti langsung sama Platformnya.
total 1 replies
Ilfa Yarni
bukan sama itu kyai sama Aira ank yg baru dtg dr kota
Ilfa Yarni
ya udah Terima aja napa sih ra
Ilfa Yarni
cieeee Aira mau nikah nih yee
Ilfa Yarni
cieee Aira dilamar ustadz Terima doooong
Ilfa Yarni
wah itu pasti laporan sijulid yg negor Aira td tuh
Ilfa Yarni
bagus Aira sebelum mengkoreksi orang koreksi diri dulu
Ilfa Yarni
klo dikmpg begitu ra kekeluargaannya tinggi
Ijah Khadijah: Betul itu. maklum dia belum pernah ke kampung kak
total 1 replies
Rina Nurvitasari
ceritanya bagus, lucu, keren dan menghibur TOP👍👍👍 SEMANGAT
Ijah Khadijah: Terima kasih kakak
total 1 replies
Ilfa Yarni
km lucu banget aura baik dan tulus lg sampe2 ustadz Fatur mengkhawatirkan km
Ilfa Yarni
aura jadi bahan ledekan dan olk2an mulu kasian jg eeeustadz Fatur nunduk2 suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
woi para santri Aira ga genit kok memang ustadz Fatur yg minjemin motornya
Ilfa Yarni
aduh Aira hati2 tar km jatuh lg
Ilfa Yarni
cieee begitu yg tadz okelah klo gitu nikah dulu dgn neng aira
Ilfa Yarni
Aira harus percaya diri dong km cantik lho warga kmpg aja mengakuinya aplg ustdz Fatur heheh
Ilfa Yarni
aaah ustadz Fatur sering amat nongki nongki dgn orangtua Aira suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
hahahahaha ke sawah pake baju kondangan aira2 km ya bikin ngakak aja
Ijah Khadijah: Salah kostum🤭🤭
total 1 replies
Ilfa Yarni
gitu aja ngambek Aira namanya jg ank ank
Ijah Khadijah: Iya kak.🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!