Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Buruk
Eri sudah kembali kuliah di Jakarta. Ia bertekad menyelesaikan kuliah S2-nya secepat mungkin. Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: membahagiakan mamanya. Ia tidak akan membuka pintu hatinya untuk gadis manapun sebelum cita-citanya tercapai, yaitu menggantikan mamanya menjadi tulang punggung keluarga. Ia ingin mamanya menikmati masa tua dengan tenang di rumah, tanpa perlu bekerja lagi.
Siang itu, saat Eri pulang kuliah, ia seperti melihat Pak Prasetyo dan Bu Dinda di jalan dekat kampus. "Tapi, apa mungkin mereka ada di Jakarta?" batin Eri. Bukankah mereka tinggal di Bandung? Namun, setelah mengamati lebih seksama, Eri yakin: itu benar-benar Pak Prasetyo dan Bu Dinda.
"Ngapain mereka di sini?" Eri kembali bertanya-tanya dalam hati. Dengan rasa penasaran dan curiga, Eri mengikuti mereka.
Mereka menuju ke sebuah rumah yang tidak jauh dari kampus tempat Eri kuliah. Setelah memastikan keduanya masuk ke rumah itu, Eri pun pergi. Dalam hati, ia terus bertanya-tanya, "Untuk apa mereka di Jakarta? Ada perlu apa?" Instingnya mengatakan bahwa kedatangan mereka ke Jakarta pasti punya tujuan tertentu.
"Apa mereka punya niat jahat pada mama dan diriku?" Entah mengapa, Eri merasa tidak enak setelah melihat kehadiran mereka di Jakarta. Ia berharap tidak akan terjadi apa-apa pada dirinya dan mamanya.
Sesampainya di rumah, Eri melihat mobil mamanya sudah terparkir. Itu artinya, mamanya sudah pulang dari kantor. Benar saja, saat Eri masuk ke dalam rumah, ia melihat mamanya duduk santai di ruang tengah sambil menonton TV.
"Eh, kamu sudah pulang, Er?" tanya Bu Henny saat melihat Eri.
"Sudah, Ma. Kebetulan hari ini hanya ada satu mata kuliah," jawab Eri sambil mencium tangan mamanya dengan takzim.
"Mama juga kok jam segini sudah pulang?"
"Mama tadi izin pulang lebih awal karena ada jadwal check-up kesehatan," jawab Bu Henny santai.
"Tapi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Ma? Mama sehat-sehat saja, kan?" tanya Eri dengan nada khawatir.
"Nggak, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Mama sehat-sehat saja, cuma check saja. Kamu nggak usah khawatir!"
"Syukurlah kalau begitu. Oiya, Ma, waktu aku pulang kuliah tadi, aku lihat Pak Prasetyo dan perempuan yang bernama Dinda itu masuk ke sebuah rumah!"
"Pak Prasetyo dan perempuan bernama Dinda... Maksudmu, bapak dan ibunya Dea?" tanya Bu Henny.
Bu Henny sengaja menyebut dengan panggilan "bapak ibunya Dea" karena ia tahu, jika ia menyebut "papamu," emosi Eri pasti akan kembali meledak.
"Iya, Ma. Mama sekarang perlu berhati-hati karena aku punya firasat yang tidak enak atas kehadiran mereka di Jakarta ini. Jangan-jangan mereka punya rencana jahat pada kita, mengingat perempuan bernama Dinda itu sangat licik. Perempuan itu tidak segan-segan untuk menghancurkan hidup kita, kan dulu dia terang-terangan merebut Papa dari Mama!" tutur Eri.
"Iya, mungkin mereka ada perlu di Jakarta ini!" balas Bu Henny, berusaha menenangkan Eri. Bu Henny berusaha bersikap santai dan tenang, tapi sebenarnya, di dalam hatinya juga terselip rasa khawatir. Ia tahu betul bagaimana sifat Dinda. Perempuan itu licik dan tegaan, tanpa punya perasaan sama sekali. Baginya, yang penting adalah keuntungan bagi dirinya sendiri.
"Tapi, aku harap Mama harus berhati-hati demi mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada Mama!" ucap Eri dengan nada khawatir. "Pokoknya, mulai sekarang Mama tidak boleh pergi sendirian tanpa ditemani siapa pun!" katanya tegas.
"Lah, kan selama ini juga ditemani Pak Dahlan!" sergah Bu Henny.
"Iya sih, tapi kadang-kadang Mama pergi sendirian tanpa diantar Pak Dahlan. Itu yang membuat aku sekarang khawatir. Soalnya, sekarang di Jakarta ini ada dua orang yang dulu menghancurkan kehidupan kita dan besar kemungkinannya mereka masih mempunyai niat jahat pada kita. Itu yang membuat aku khawatir, kecuali kalau Mama maunya sama suami Mama yang baru!" ucap Eri dengan nada menggoda.
"Suami Mama? Memangnya kamu mengizinkan kalau Mama menikah lagi, hah!" balas Bu Henny sambil tertawa terkekeh.
"Yaa, itu terserah Mama!" jawab Eri dengan nada ragu.
Bu Henny menatap wajah putranya itu dengan tatapan sendu. "Mama tidak akan pernah menikah lagi sampai kapan pun karena Mama masih trauma pada pernikahan Mama sama papamu. Tidak gampang mencari laki-laki yang benar-benar tulus dan ikhlas menerima kita apa adanya. Suatu saat nanti pasti akan ada sumber masalah yang bisa menjadi konflik, dan Mama sudah trauma akan hal seperti itu. Selain itu, Mama tidak mau anak Mama tersayang akan semakin terluka karena mendapat perlakuan buruk dari papa kandungnya saja sudah terpuruk, apalagi dari papa tiri, meskipun perlakuan dari papa tiri itu belum tentu paling buruk dan menyakitkan. Bagi Mama, cukup kamu saja, Mama teman Mama!" tutur Bu Henny.
Mendengar penuturan sang mama, hati Eri merasa terharu. Dipeluknya sang mama dengan erat sambil berkata, "Terima kasih, Ma. Terima kasih atas pengorbanan Mama yang begitu besar untuk Eri!"
"Semua itu Mama lakukan karena Mama sangat menyayangi anak Mama ini. Mama ingin anak Mama tetap bahagia!" balas Bu Henny sambil mengusap-usap rambut Eri.
Ada secercah bahagia di hati Bu Henny melihat Eri sekarang lebih semangat menjalani hidup. Bu Henny berharap ini bisa menjadi awal yang lebih baik untuk Eri, putra tunggalnya itu, yang kini seperti mendapat dorongan semangat hidup.
Malam harinya, Eri tidak bisa tidur nyenyak. Perkataan mamanya dan bayangan Pak Prasetyo dan Bu Dinda terus berputar di kepalanya. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk melindungi mamanya
***********