Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
“Sah.”
Kata itu terdengar jelas, tegas, dan tidak bisa ditarik kembali.
Leonard berdiri perlahan. Di hadapannya, Leora masih berdiri dengan tile tipis menutupi wajahnya. Jemarinya terangkat, sedikit ragu sebelum akhirnya menyentuh kain itu—bukan karena takut, melainkan karena ada perasaan asing yang menyusup tanpa ia undang.
Tile itu tersingkap.
Wajah Leora terlihat sepenuhnya.
Untuk sesaat, Leonard lupa menarik napas.
"…ternyata Leora memang cantik, batinnya jujur.
Harus kuakui."
Bukan kecantikan yang mencolok, melainkan ketenangan yang membuat seseorang ingin berhenti sejenak. Dewasa. Anggun. Seolah perempuan di hadapannya telah lebih dulu berdamai dengan takdir yang bahkan Leonard sendiri masih berusaha pahami.
Tepuk tangan pecah. Sorakan hangat mengisi ruangan. Leonard menoleh sekilas dan menangkap tatapan ibunya Minjae yang berdiri sambil bertepuk tangan dengan mata berkaca-kaca. Tatapan penuh cinta itu membuat dadanya menghangat, meski kesadaran lain ikut menyusup perlahan.
Mulai hari ini, hidupnya tidak lagi sepenuhnya miliknya.
Ia menatap ke depan kembali, wajahnya tetap tenang. Ia akan menjalani semua ini—dengan caranya sendiri.
Dan tepat di saat Leonard menegakkan bahunya untuk menerima peran barunya, di sisi lain dada Leora justru terasa semakin sempit.
Udara di sekelilingnya seakan menekan, meski sorakan dan tepuk tangan terus menggema. Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa berat—bukan oleh kainnya, melainkan oleh arti di baliknya.
Bukan pernikahan ini yang kuinginkan…
Leora menahan napas. Ia ingin menangis, tapi tidak bisa. Tidak sekarang. Tidak di hadapan begitu banyak mata yang memandangnya sebagai pengantin sempurna.
Tatapan Leonard terasa jatuh padanya—tenang, dalam, sulit dibaca. Tidak dingin, tapi juga tidak penuh janji. Dan itu justru membuat dadanya semakin sesak.
Ia mengalihkan pandangan, lalu bertemu mata Minjae.
Senyum ibu itu lembut, penuh penerimaan, seolah berkata tanpa suara bahwa Leora aman di sini. Bahwa ia tidak sendiri sepenuhnya.
Itu hampir meruntuhkannya.
Leora tersenyum kecil—senyum yang terlatih, rapi, dan menyimpan luka paling sunyi. Mulai hari ini, ia adalah istri Leonard Alastair. Bukan karena cinta, bukan karena pilihan, melainkan karena takdir yang tidak memberinya jalan lain.
Dan di tengah tepuk tangan yang meriah, dua orang yang berdiri berdampingan itu sama-sama diam—masing-masing membawa perasaan yang tidak pernah mereka ucapkan, namun kini terikat dalam satu ikrar yang sama.
Pembawa acara kembali melangkah ke tengah panggung, senyumnya lebar, suaranya penuh semangat yang menular.
“Sebagai penutup rangkaian sakral ini,” ucapnya,
“kami persilakan kedua mempelai untuk saling memberikan ciuman—sebagai simbol penyatuan dan awal perjalanan baru.”
Sorakan langsung pecah.
Tepuk tangan menggema, beberapa tamu berdiri, suasana berubah menjadi meriah dan hangat. Namun di tengah riuh itu, Leora justru membeku.
Ia menegang.
Tubuhnya sedikit mundur, refleks menolak. Jarinya menggenggam bunga lebih erat, rahangnya mengeras. Ia menoleh singkat ke pembawa acara, seolah berharap ada jalan keluar.
Namun sang pemandu tersenyum tenang.
“Itu bagian dari prosesi, Nyonya. Sebuah simbol.”
Leora menelan napas.
Perlahan, ia mengangkat pandangannya ke Leonard. Tatapan mereka bertemu—singkat, canggung, penuh jarak yang belum sempat terjembatani. Leonard terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke bangku tamu.
Ke arah Minjae.
Ibunya menatapnya lembut, lalu mengangguk pelan. Sebuah dorongan tanpa kata.
Leonard menarik napas singkat.
Tanpa memperpanjang momen, ia melangkah mendekat dan—dengan gerakan cepat, singkat, dan nyaris tanpa jeda—memberikan ciuman simbolis itu.
Sorakan kembali membahana.
Presdir Lee dan Presdir Damian hanya menatap dari kursi mereka, wajah keduanya lembut, penuh kepuasan dan kelegaan, seolah ikatan di hadapan mereka akhirnya lengkap.
Namun begitu Leonard menjauh, Leora refleks menelan ludah.
Dadanya terasa tidak nyaman. Ada rasa asing yang membuat tenggorokannya mengeras—perasaan yang tidak ia suka, bahkan ia benci. Bukan karena lelaki itu tidak rupawan. Bukan pula karena Leonard bukan sosok yang dikagumi banyak orang.
Justru karena lelaki tampan dan terkenal kejam itu kini adalah suaminya.
Leora tetap berdiri tegak, tersenyum sopan di hadapan sorakan dan kamera internal keluarga, sementara di dalam dirinya, ia tahu satu hal pasti:
Ia harus belajar hidup dengan ikatan ini—meski hatinya belum siap menerimanya.
Leonard mengelap bibirnya dengan tangannya.
"Cuih, bahkan aku sendiri tidak sudi" Ucapnya pelan dengan menatap Leora yang mendengar perkataan nya
"Kau kira aku mau berciuman dengan lelaki seperti mu?" Saut Leora dengan memalingkan wajahnya ke arah para tamu
"Ini hanya sah tertulis tapi bukan berarti kita benar-benar sah dalam detik ini" Ucap Leonard
"Terserah" Ucap Leora lalu langsung melangkah maju meninggalkan Leonard dan berjalan ke arah Presdir Damian atau ayahnya.
Leora melangkah turun dari panggung dengan langkah yang masih terasa asing. Riuh tepuk tangan perlahan mereda, berganti dengan bisik-bisik hangat para tamu. Pandangannya tertuju pada satu sosok di barisan depan.
Ayahnya.
Damian berdiri begitu melihat Leora mendekat. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, namun saat jarak mereka menyempit, ketegaran itu runtuh dalam satu gerakan sederhana. Ia memeluk tubuh putrinya erat—pelukan seorang ayah yang jarang ia perlihatkan di hadapan banyak orang.
Damian mengecup kening Leora perlahan.
“Maafkan Ayah,” ucapnya rendah, hampir berbisik. “Ayah tahu ini berat.”
Kalimat itu menjadi titik runtuh terakhir.
Leora yang sejak tadi menahan segalanya akhirnya kalah. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Ia membalas pelukan ayahnya, mencengkeram jas Damian seolah takut terlepas. Bahunya bergetar, napasnya tersengal—semua emosi yang ia kubur sejak pagi tumpah dalam satu waktu.
Damian mengusap punggungnya dengan sabar.
“Kamu harus bersiap,” lanjutnya, suaranya tetap tegas meski penuh kehangatan. “Ini jalanmu, Leora. Jalan terbaik yang Ayah tentukan—untukmu, dan untuk kemajuan Damian Group.”
Leora mengangguk kecil di dada ayahnya, meski hatinya belum sepenuhnya menerima kata terbaik itu. Ia tahu—di dunia mereka, cinta sering kali kalah oleh strategi, dan pernikahan bukan hanya tentang dua orang, melainkan tentang masa depan yang lebih besar.
Damian sedikit menjauh, menatap putrinya dengan mata yang jarang terlihat selembut ini.
“Kamu kuat,” katanya singkat. “Lebih kuat dari yang kamu kira.”
Leora mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk lagi. Di hadapan ayahnya, ia belajar satu hal pahit sejak hari ini:
Menjadi pewaris berarti belajar berdiri—bahkan ketika hati ingin runtuh.
Leora masih berdiri di dekat ayahnya ketika sebuah sentuhan lembut mendarat di lengannya.
“Leora.”
Suara itu halus, dewasa, dan penuh ketenangan.
Leora menoleh dan mendapati Minjae Alastair berdiri di hadapannya. Wanita itu tersenyum kecil—senyum seorang ibu yang tidak menghakimi, tidak memaksa, hanya hadir.
Minjae membuka kedua tangannya.
Tanpa berkata apa pun, Leora melangkah masuk ke dalam pelukan itu.
Berbeda dari pelukan ayahnya yang kokoh, pelukan Minjae terasa hangat dan menenangkan. Telapak tangan Minjae mengusap punggung Leora perlahan, ritmenya stabil, seolah memberi ruang bagi Leora untuk bernapas kembali.
“Kamu tidak perlu kuat setiap saat,” ucap Minjae pelan. “Di sini, kamu boleh lelah.”
Kalimat itu membuat mata Leora kembali berkaca-kaca. Ia menunduk sedikit, mengangguk kecil, berusaha menahan air mata yang tersisa.
Minjae sedikit menjauh, kedua tangannya kini memegang bahu Leora dengan lembut. Tatapannya penuh penerimaan.
“Apa pun alasan pernikahan ini,” lanjutnya tenang, “kamu bukan sendirian. Mulai hari ini, aku ada di pihakmu.”
Leora menatap wanita di hadapannya—ibu dari lelaki yang kini menjadi suaminya. Untuk pertama kalinya sejak pagi, dadanya terasa sedikit lebih longgar.
“Terima kasih, Ibu,” ucapnya lirih.
Minjae tersenyum lagi, kali ini lebih hangat.
“Selamat datang di keluarga Alastair,” katanya. “Tidak semua hal harus kamu pahami hari ini. Pelan-pelan saja.”
Leora mengangguk. Di tengah dunia yang terasa ditentukan oleh keputusan besar dan kepentingan perusahaan, kata-kata sederhana itu menjadi jangkar kecil—tidak menghapus rasa sakit, tapi cukup untuk membuatnya bertahan.
Dan dari kejauhan, Leonard melihat pemandangan itu tanpa ikut campur. Ia tidak mendekat, tidak berbicara—namun untuk pertama kalinya, ia tahu satu hal pasti:
Ibunya telah menerima Leora sepenuhnya.