Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Semua orang di dunia ini, sekarang setiap bangun pagi yang pertama kali dilihat adalah hape. Tapi hari ini Quin tidak melakukannya, karena dia memutuskan untuk tidak melihat medsos selama acara You Are My Idol berlangsung. Atau mungkin untuk selamanya? Karena bagi Quin medsos hanya lah tempat orang-orang untuk pamer. Untuk menunjukkan apa yang orang lain tidak bisa dapatkan. Padahal mungkin yang diunggah mereka di medsos adalah sesuatu yang didapatkan secara kebetulan. Atau dalam kata lain hanya sebuah topeng kebahagiaan.
“Daaah..,” ujar Quin setelah salim kepada Papanya. Ia lalu membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke sekolah.
Di depan gerbang dia melihat ke arah warung Bu Neneng. Tidak ada orang di sana. Apa yang Quin pikirkan? Apa dia mengira Dima akan duduk di sana? Membalas pesan Quin saja tidak.
Dengan langkah cepat - hampir seperti orang yang sedang lomba jalan cepat - Quin menyusuri lorong sekolahan. Beberapa anak kelas 10 tampak memperhatikannya sambil membicarakannya. Quin tidak suka hal itu, tapi dia mencoba untuk mengabaikannya.
Di depan pintu kelas 11 - 2, Shanaz sedang membersihkan hapusan papan tulis. “Quiiiin!” Teriak Shanaz begitu dia melihat Quin.
Quin menghindari Shanaz yang ingin memeluknya karena masih memegang penghapus papan tulis.
“Kok nggak mau dipeluk?” tanya Shanaz bete.
“Emang lu kira gue papan tulis?”
Shanaz nyengir lalu berkata, “Bangga gua punya temen kaya lu!”
“Dima gimana?” Tanya Quin sambil berbisik dan melihat ke sekeliling, mencari apakah Dima sudah masuk sekolah.
“Nggak tau. Mungkin belum masuk sekolah.”
Quin bergegas meninggalkan Shanaz yang agak sedikit heran karena tidak biasanya hal yang ditanyakan Quin pertama kali adalah Dima.
Di kelas, murid-murid sudah mengisi kursi-kursi. Termasuk gengnya Jejen. Tidak ada Dima di sana. Quin terlalu malu - alias gengsi - untuk menghampiri Jejen, Danu, atau Givan untuk menanyakan kabar Dima. Dia lalu duduk di sebelah Nisa.
Ketika dia hendak bertanya soal Dima, teman-teman sekelas yang lainnya termasuk Meta dan Hana sibuk melingkari Quin dan bertanya soal para juri yang ganteng dan cantik sekaligus berbakat itu. Terpaksa Quin menceritakan apa yang terjadi di balik panggung, pada dua hari kemarin di stasiun Image Fiction TV. Begitu selesai dia bercerita karena bel masuk berbunyi, guru Matematika yang pertama kali mengajar malah memulai hari dengan meminta Quin menceritakan apa yang terjadi di balik panggung. Terpaksa Quin menceritakan ulang.
–
“Kamu mau besuk Dima?” Tanya Nisa ketika jalan menuju ke gerbang sekolah.
Jejen dan gengnya sama sekali tidak membicarakan kondisi Dima. Entah karena memang mereka tidak tahu atau mereka memang tidak mau ada orang yang tahu.
Quin mengangkat kedua bahunya, “Kata kamu gimana?”
“Mau aku temenin?”
“Hmmm,” Quin galau. Kalau datang sendiri rasanya agak aneh, tapi kalau datang berdua, seperti tidak bisa datang sendiri saja.
“Kalau kamu mau datang sendiri ya nggak apa-apa sih,” kata Nisa yang ternyata sudah chatingan dengan Arka. Kemarin setelah acara selesai, Arka minta nomor hapenya Nisa ke Quin. Quin memberikannya tentu saja setelah Nisa mengijinkannya.
“Nggak! Temenin ya?” Tanya Quin memegang lengan Nisa. “Kan kalau sama kamu, kaya kita besuk dia sebagai perwakilan teman-teman sekolah.”
“Bisa. Bisa,” kata Nisa tersenyum sambil mengangguk. Dia tahu itu cuma akal-akalan Quin saja, tapi dia tidak menyangkalnya.
Mereka kemudian jalan ke arah rumahnya Dima. Nisa melihat jendela kamar Quin. Dia baru sadar kalau ternyata rumah dan kamarnya Quin tampak jauh kalau di lihat dari arah jalanan, karena dihalang oleh halaman belakang rumah Quin.
“Votingan puisinya Dima, turun lagi,” kata Nisa sambil melihat hapenya.
“Oh ya?” Quin melongo ke hapenya Nisa.
Nisa heran, “Kamu nggak buka IG?”
“Aku menghindari baca komentar netijen di IG.”
“Kenapa? Bagus-bagus kok!”
“Ah nggak.”
Nisa ingin membahasnya lebih lanjut, tapi mereka tiba di depan rumah Quin. Nisa lari ketakutan begitu melihat ayam Haji Berkah berkeliaran.
“Hus! Hus!” Teriak ibunya Dima yang muncul membantu Quin mengusir ayam-ayam itu. “Takut ya?”
“Iya, tante,” jawab Nisa yang sedang berlindung di belakang punggungnya Quin.
“Dia sama ayam berani kalau udah bentuk goreng aja, Tante,” jawab Quin mencoba melucu.
“Iiih! Nggak gitu!” Nisa kesal.
Ibunya Dima tertawa lalu mengajak Quin dan Nisa masuk, “Ayo masuk.”
“Makasih, Tante,” ujar Nisa dan Quin berbarengan. Dengan kaus kaki yang masih dipakai, mereka masuk ke ruang tamu.
“Duduk dulu. Tante panggil Dima ya,” kata Ibunya Dima lalu masuk ke ruang dalam.
“Kita nggak apa-apa, nggak bawa apa-apa?” Tanya Quin teringat sepertinya tidak bagus kalau membesuk orang sakit dengan tangan hampa.
“Nggak apa-apa. Kan aku bawa kamu!” Kata Nisa sambil mengedipkan matanya sebelah.
Quin menggelengkan kepala dan memutar matanya.
–
“Ada Quin di bawah,” kata Ibunya Dima di ambang pintu. “Mau ketemu apa nggak?”
Dima yang terbaring di kasur, terdiam, badannya masih terasa sakit.
“Kalau nggak mau, ibu bilang kamu masih istirahat.”
“Nggak. Aku nggak apa-apa,” kata Dima mencoba bangkit. Meski bingung karena tadi pagi belum mandi dan tampaknya seperti orang gua, Dima berusaha untuk menemui Quin. Apa adanya. Tidak peduli apa yang akan dipikirkan Quin tentangnya, tapi menemuinya dengan keadaan seperti ini lebih baik daripada tidak membalas atau memberikan kabar sama sekali. Setidaknya dia bisa mengucapkan selamat, karena Quin masuk ke babak selanjutnya.
–
Quin dan Nisa duduk di ruang tamu. Ayam Haji Berkah masuk ke ruang tamu, karena pintunya terbuka. Nisa melompat kaget. Quin bangkit dan mengusirnya, lalu menutup pintu. Bersamaan dengan Dima datang, “Itu namanya Robert.”
Quin dan Nisa menoleh ke Dima yang terlihat masih ada memar di pipinya. Dima duduk di kursi.
“Sehat, Dim?” Tanya Quin yang kemudian menyesal telah memberikan pertanyaan basa-basi yang bodoh. Tentu saja dia tidak sehat, kalau sehat, sudah ke sekolah.
“Alhamdulillah, masih bisa ngeliat siaran ulang YAMI di youtube,” katanya berusaha melucu.
“Besok udah sekolah?” Tanya Nisa ketika Quin duduk di sebelahnya, di depan Dima.
“Nggak ah. Nggak mau sekolah.”
“Kenapa?” Tanya Quin cemas.
“Males! Banyak tugas, mending juga rebahan!”
“Yeee!” Kata Quin dan Nisa bersamaan. Mereka lega, setidaknya Dima masih bisa melucu.
“Tapi gue jadi nggak bisa bantuin kamu latihan lagi, Quin.” Dima seperti tampak menyesal.
“Nggak usah! Dia udah dilatih sama Afgan!” Kata Nisa menggodai Quin.
“Yeee, besok gue dilatih sama Kak Yura!” Sahut Quin.
“Enak ya, ketemu sama orang-orang hebat,” jawab Dima tersenyum.
“Gara-gara siapa ya?” Tanya Nisa menggodai lagi.
“Iya, gara-gara elu! Makasih ya Dim!” Kata Quin pada Dima. “Nanti pas live besok, gue mau ngomongin puisi elu, biar elu dapet voting yang banyak juga.”
“Emang boleh?” Tanya Dima heran, yang merasa tidak mungkin promosi hal lain di acara YAMI.
“Bolehin, lah,” jawab Quin.
“Mending di medsos aja sih, Quin,” sahut Nisa. “Usahain YAMI itu fokusnya di elu, bukan di orang lain.”
“Tuh, denger temen lu!” Kata Dima bangga.
“Ya udah. Gue promote elu di medsos aja,” kata Quin pasrah.
“Emang kenapa sih elu nggak mau buka medsos, Quin?” Tanya Nisa lagi.
“Loh, elu nggak mau buka medsos, Quin?” Dima yang baru tahu, jadi ikutan heran. Tapi mungkin dia jadi tahu kenapa Quin tidak membalas pesannya di medsos.
Quin tertunduk sejenak, “Gue males baca komen hate.”
“Emang ada komen hate apaan?” Tanya NIsa sambil melihat hapenya, membaca medsos Quin.
“Udah gue apus,” jelas Quin.
“Emang ada yang komen apa?” Tanya Dima serius, seperti ingin membantu Quin menghalau orang jahat.
“Ada yang bilang, aku kepilih karena ordal,” jawab Quin singkat.
Nisa dan Dima tampak terkejut. Mereka kemudian mencaci maki dengan bertubi-tubi seperti mobil yang kejar-kejaran di jalan tol, saling ingin duluan padahal tidak ada tujuan.
“Biarin aja, Quin, jangan digubris!” Kata Nisa kemudian.
“Entah lah,” jawab Quin sambil menghela napas. Sulit rasanya menjelaskan apa yang terjadi di belakang panggung. Dan dia juga tidak bisa menuduh siapa pun jadi penyebab adanya gosip itu. Meski dia mencurigai seseorang, tapi buktinya tidak ada.
Bersambung.
queen Bima
mantep sih