Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Apakah enak dilihat?" tanya Lucien sambil melirik tajam ke arah Storm.
"Iya. Ternyata di sini dan di sana, ketampanannya sama saja. Dan aku sama sekali tidak menyangka bisa bertemu dengannya di era ini," jawab Storm sambil maju menghampiri pria yang begitu mirip dengan Nic.
"Nic… akhirnya aku bertemu denganmu di sini," kata Storm, lalu tanpa ragu memeluk pria itu erat.
Prajurit tersebut terdiam seketika. Ia tidak berani bergerak. Matanya membulat, jelas terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu.
"Apakah kau tahu… aku sangat kesepian? Tidak ada teman, tidak ada siapa pun yang memarahiku, atau bahkan memanggil namaku," lanjut Storm lirih, hampir seperti pengakuan—tanpa menyadari bahwa di belakangnya, Lucien sedang menahan emosi yang kian membara.
Rahang Lucien mengeras. Tangannya mengepal.
"N-nona, saya adalah Ahao, bukan Nic. Mungkin Anda salah orang," ucap pria itu gugup, matanya melirik sekilas ke arah atasannya yang duduk dengan amarah yang jelas tertahan.
Storm perlahan melepaskan pelukannya, namun matanya masih terpaku pada wajah pria itu. Garis rahangnya, cara ia berdiri, bahkan sorot matanya… semuanya terlalu familiar.
"Nic… ternyata saat kau mengenakan seragam prajurit pun kau tetap tampan," bisik Storm, setengah tak percaya. "Apakah kau juga seperti aku… terlahir kembali di era ini?"
"Terlahir kembali? Apa maksud Anda, Nona?" tanya Ahao dengan wajah bingung, sekaligus semakin gugup akibat tatapan tajam sang jenderal.
"Ah Zhu, apa belum cukup?" suara Lucien memotong, rendah tapi sarat tekanan. "Seorang wanita memeluk prajuritku di hadapanku. Di mana letak harga dirimu?"
Kata-kata itu menyambar kesadaran Storm seperti petir di siang bolong.
Ia menarik langkah mundur satu tapak.
"Benar… dia bahkan tidak mengenalku. Lalu mengapa wajahnya begitu mirip? Hanya kebetulan… atau Nic di tahun 2025 adalah reinkarnasi Ahao?"
"Maaf, Jenderal," ucap Storm akhirnya, menundukkan sedikit kepalanya. "Ahao sangat mirip dengan seseorang yang pernah kukenal."
Ahao ikut menunduk gugup. "Maaf, Jenderal… saya tidak dekat dengan nona ini."
Lucien menatap Storm lama, membaca sesuatu yang tak bisa diungkap, lalu mengalihkan pandangannya pada Ahao.
"Pergi," perintahnya singkat.
Ahao segera melangkah pergi, namun sebelum benar-benar hilang dari pandangan, Storm masih sempat menoleh sekali lagi ke arahnya—seolah mencari bayangan seseorang yang tak lagi ada di dunia ini.
"Dia sudah pergi jauh, tapi kau masih saja menatap ke arahnya," suara Lucien terdengar tegas, dingin seperti besi yang baru ditempa. "Apa perlu aku kurung dia di kamarmu, supaya kau bisa melihatnya sampai puas?"
"T-tidak perlu!" jawab Storm gugup. Tanpa berani menatap mata sang jenderal lebih lama, ia langsung berbalik dan berlari menjauh, menghilang dari hadapan Lucien.
Langkahnya tergesa menyusuri lorong panjang kediaman. Napasnya belum teratur saat akhirnya ia sampai di kamar. Begitu pintu tertutup, Storm menyandarkan punggungnya di sana dan mengembuskan napas panjang sambil memegangi dadanya yang berdebar tidak karuan.
"Aneh sekali… kenapa dia begitu emosi?" gumamnya lirih. "Padahal aku hanya memeluk anak buahnya. Aku juga tidak memeluk dia…"
Ia terdiam sejenak, mengingat kembali sorot mata Lucien tadi. Tatapan itu bukan hanya marah—tetapi juga gelap, dalam, dan menyesakkan.
"…Tapi tatapannya tadi benar-benar menakutkan. Memang jenderal yang satu itu memiliki aura yang mengintimidasi siapa pun."
Storm berjalan perlahan ke tepi ranjang, duduk, lalu menatap kedua tangannya sendiri yang masih terasa gemetar.
"Benar juga, sepertinya Nic masih hidup. Ahao dan Nic adalah orang yang berbeda. Tidak mungkin dia terlahir kembali. Aku merindukan rumahku. Kapan aku bisa kembali? Atau aku memang sudah meninggal karena kecelakaan itu?"
"Kalau aku memang sudah meninggal… maka aku akan tinggal di era ini selamanya. Tapi aku tidak mau selalu berada di sisi Jenderal itu. Hidupku tidak akan bebas… tidak seperti yang kuinginkan," ucap Storm pelan pada dirinya sendiri, rasa getir memenuhi dadanya.
Bayangan tatapan Lucien semalam kembali terlintas di pikirannya, membuat jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Keesokan harinya.
Di suatu tempat tersembunyi…
Beberapa pria berkumpul dengan raut wajah yang mengeras. Di antara mereka, ada yang memiliki bekas luka panjang di pipi, ada pula yang kehilangan satu mata. Aura kekerasan begitu kental di udara, bercampur dengan asap cerutu yang menggantung di langit-langit ruangan.
Di ujung ruangan, di atas kursi besar berukir, seorang pria berjenggot duduk santai sambil mengisap cerutunya. Matanya menyipit, penuh perhitungan.
"Tuan," lapor salah satu anak buahnya sambil menunduk. "Kami mendapat informasi bahwa Lucien Fang mengalami cedera akibat insiden kemarin. Dia telah kembali ke kediamannya. Dan… ada seorang dokter yang berada di sisinya."
"Dokter?" smoker kecil keluar dari sudut bibir pria itu. "Seorang jenderal ditemani dokter pribadinya? Sepertinya kondisinya cukup parah. Kalau tidak, mana mungkin ada dokter di rumahnya."
Anak buah lain maju selangkah. "Tuan, bagaimana kalau kita tangkap saja dokter itu? Kita paksa dia bicara tentang kondisi Lucien?"
Pria berjenggot itu terdiam sejenak, lalu tersenyum miring. Tatapan matanya berubah tajam dan berbahaya.
"Hm… bawa dokter itu kemari." Ia mengepulkan asap terakhir.
"Dan jika dia berani melawan… bunuh saja."
Ruangan sontak kembali senyap, namun ketegangan justru semakin terasa.
***
Di saat yang sama, jauh dari tempat itu, Storm masih belum menyadari bahwa orang yang akan mereka incar… adalah dirinya.
Langkah Storm menggema pelan di atas jalan berbatu yang sepi. Angin sore menyapu ujung mantel tipisnya, membuatnya menarik kain itu lebih erat ke tubuhnya. Entah kenapa, sejak beberapa menit lalu, dadanya terasa tidak nyaman.
Seperti ada… mata yang mengikutinya.
Ia melirik ke jendela toko yang sudah lama tutup, memanfaatkan pantulan kaca buram itu. Bayangan dirinya tampak samar, namun di belakangnya… sekelebat gerakan cepat menghilang.
Storm mempercepat langkahnya sedikit.
"Tenang. Mungkin hanya perasaanku saja," batinnya, meski jantungnya semakin berdegup keras.
Suara langkah lain terdengar pelan—teratur—menyesuaikan langkahnya.
Bukan satu orang.
Ia bisa merasakannya.
Tiga… atau lebih.
Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Tangannya meraba saku, memastikan jarum kecil dan botol obatnya masih ada. Jika terjadi sesuatu, setidaknya ia punya cara untuk melawan—meski kecil.
Di persimpangan jalan depan, dua orang berdiri seolah hanya sedang mengobrol. Namun tatapan mereka terlalu waspada… terlalu siap.
Perangkap.
Storm berpura-pura tenang, lalu tanpa peringatan berbelok ke gang sempit di sebelah kanan.
Namun begitu ia melangkah masuk—
Sosok tinggi tiba-tiba muncul di hadapannya, menghalangi jalan.
“Kau jalan sendirian, Nona Dokter…” suara rendah itu terdengar mengancam.
“Jenderalmu tidak mengajarimu untuk lebih waspada?”
Di belakangnya, langkah-langkah kaki lain semakin mendekat… menutup jalan keluar.
"Siapa kalian?" tanya Storm ia memperhatikan tangan mereka yang masing-masing memegang senjata tajam.