NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Seiring Waktu / Romansa / CEO
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rienss

“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebelum Hatinya Kembali Berkhianat

“Sorry, Tara. Acara ngopi kita jadi berantakan.”

Dirga yang tengah menyetir dengan satu tangan menghela napas kecil. Sesekali ia menoleh ke arah Tara yang duduk di sampingnya sambil memeluk tas di pangkuan.

Gadis itu tersenyum. “Tidak masalah, Pak,” sahutnya ringan sembari menatap Dirga sejenak.

“Aku janji akan menggantinya lain hari.”

Tara hanya mengangguk, lalu ia mengalihkan pandangan ke arah jalanan yang lumayan padat di depannya petang itu.

Perjalanan mereka berakhir sekitar dua puluh menit kemudian, ketika mobil yang dikemudikan Dirga menepi di depan sebuah rumah kost-an dua lantai yang menjadi tempat tinggal Tara.

Dirga mematikan mesin, sementara Tara segera melepas sabuk pengaman yang dikenakannya. Namun ketika tangan gadis itu hendak meraih handle pintu, suara Dirga menahannya.

“Ehm... tunggu sebentar, Tara.”

Tara menoleh, mengurungkan niatnya sejenak. “Iya, Pak?”

“Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya sedikit ragu.

Tara menaikkan alisnya. “Apa itu, Pak?”

Hening beberapa detik, sampai akhirnya suara Dirga kembali terdengar. “Bisakah kau... tidak memanggilku ‘Pak’ saat kita berada di luar jam kerja?”

Tara sempat terdiam, dahinya berkerut samar. “Tapi, Pak...”

“Please, Tara.” Dirga menatapnya lebih dalam kali ini. “Aku hanya ingin menciptakan suasana yang lebih santai saat berada di luar jam kantor. Bukan sebagai atasan dan bawahan, tapi sebagai teman.”

Tara tak langsung menjawab, ia menapa pria itu sesaat, menimbang-nimbang permintaan sederhana itu.

“Apa itu terlalu sulit buatmu?” tanya Dirga lagi dengan suara yang lebih lembut. “B_bukan begitu, Pak. Hanya saja...”

“Please, Tara.”

Tara menghela napas sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk. “Baik, Pak. Maksud saya... Mmm...D_dirga,” ujarnya canggung.

Senyum Dirga mengembang lebar. “Itu lebih baik. Terima kasih, Tara.”

Tara mengulas senyum. “Kalau begitu saya pemisi. Terima kasih atas tumpangannya, Dirga.”

Dirga mengangguk pelan, senyumnya masih belum pudar di wajahnya yang tampan. “Hati-hati.”

Begitu pintu terbuka, Tara bergegas turun. Sebelum menutup pintu ia melambaikan tangannya ke arah Dirga. “Bye... sampai jumpa besok.”

Dirga membalas lambaian tangan itu dari balik kemudi, “Bye...”

Dirga menatap kepergian Tara hingga gadis itu masuk ke halaman kost sebelum akhirnya menyalakan mesin mobilnya kembali. Dan sampai saat itu, senyum di wajahnya belum juga surut, justru semakin dalam.

Dirga bersiul sembari melangkah ringan ketika memasuki kediaman Hardinata. Beberapa pelayan yang melintas sempat menyapanya sopan bercampur penasaran. Akhir-akhir ini, pewaris termuda rumah itu selalu pulang dalam suasana hati yang bagus.

Tanpa menunda, Dirga menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat ruang kerja Alan berada. Siap mendengarkan ceramah singkat sang kakak yang tadi menelponnya untuk segera pulang. Sementara dirinya harus mengantar Tara terlebih dahulu dan seikit keinginan untuk berlama-lama bersama dengan gadis itu.

Begitu pintu ruangan terbuka, Dirga mendapati sang kakak sedang duduk di sofa ruangan itu dengan kemeja bagian atasnya sedikit terbuka, satu tangan memegang cangkir kopi, dan tatapan tajamnya tertuju padanya.

“Kau sudah pulang?” tanya Alan dengan suara datar.

Dirga mengangguk, kemudian menutup pintu di belakangnya pelan. “Iya, Bang,” jawabnya ringan lalu melangkah menghampiri Alan. “Tadi aku harus mengantar teman terlebih dahulu.”

“Teman?” Alan menaikkan alis kemudian mengangkat pandangannya, menatap sang adik dengan tajam. “Maksudmu... gadis itu. karyawan baru di perusahaan kita. Benarkan?”

Dirga sempat membeku sejenak sebelum menjawab. “Abang tahu?”

Sudut bibir Alan terangkat sedikit ke atas. Tapi tidak ada jawaban darinya untuk pertanyaan yang barusaja Dirga lontarkan. Alan justru menanyakan hal yang membuat adiknya itu terdiam. “Kau menyukainya?”

Hening. Hanya bunyi detak jam dinding dan desis suara pendingin ruang yang justru terdengar sumbang.

Dirga menelan ludah, berusaha menyusun kata-kata. “Bang itu...”

Ia lalu tersenyum kecil, mencoba berkelit. “Kami cuma... ya, aku senang bicara dengannya. Dia itu orangnya menyenangkan. Tapi bukan berarti...”

“Bukan berarti kau menyukainya?” potong Alan dengan tatapan yang masih belum lepas dari sang adik.

Dirga terdiam. Senyum di wajahnya perlahan memudar. Ia menunduk sejenak, mencoba mencari jawaban yang bisa terdengar masuk akal.

Tapi di dalam hatinya, Dirga merasa ucapan Alan benar. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di hatinya saat ini, sesuatu tak tak pernah ia sangka sebelumnya sejak pertama kali melihat Tara.

Baginya, Tara berbeda.

Gadis itu tidak seperti wanita-wanita yang selama ini dikencaninya. Bisa dibilang, ketertarikan seorang Dirga Hardinata pada mereka hanya sebatas pada fisik dan kepuasan hasrat semata, setelah beberapa kali tidur bersama ia akan bosan lalu mencampakkannya.

Tapi dengan Tara... ada batas yang bahkan ia sendiri enggan melewatinya.

Alan menatap Dirga lama, sebelum akhirynya ia kembali berucap dengan nada tegas. “Hati-hati, Dirga.”

Dirga mengakat pandangan, membalas tatapan Alan.

“Abang hanya tidak ingin kau bermain-main dengan perasaan wanita. Terlebih... dengan gadis itu,” lanjut Alan yang terkesan memperingatkan

Dirga mengerutkan kening. “Maksud Abang apa?”

“Dirga, kau paham maksudku,” sahut Alan cepat. “Dia bukan tipe perempuan yang pantas kau jadikan pelampiasan. Dan aku tidak ingin mendengar kabar bahwa kau membuat kekacauan dengannya.”

Dirga tersenyum miring. “Bang, Abang bicara begitu seolah mengenal Tara begitu baik lebih dari aku.”

“Tidak perlu mengenal terlalu dalam untuk tahu seperti apa dia, Dirga,” balasnya Alan cepat. Ia lalu  berdiri dan membalikkan badan, menatap ke luar jendela besar ruangannya. “Jangan mendekatinya terlalu jauh,” ucapnya tanpa menoleh sedikitpun. “Anggap saja itu nasihat... atau sebuah peringatan.”

Dirga terpaku di tempatnya, menatap punggung sang kakak yang kini terlihat kaku. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi menurutnya ada yang ganjil dari ucapan Alan barusan.

Keheningan merayap di antara mereka selama beberapa saat, sebelum akhirnya Dirga menghela napas sebelum suaranya kembali memecah suasana.

“Kalau Abang khawatir aku akan mempermainkannya, Abang tidak perlu cemas. Dengan dia, aku tahu batas, Bang.”

Dirga sempat menunggu reaksi Alan, tapi kakaknya itu tetap diam, bahkan tidak menoleh sedikitpun. Ia lalu mendengus pelan sebelum akhirnya berbalik dan melangkah menuju pintu.

Begitu tiba di ambang pintu, Dirga sempat berhenti dan menoleh kembali pada sang kakak yang masih menatap keluar jendela.

“Selamat malam, Bang,” ucapnya datar lalu menutup pintu di belakangnya perlahan.

Begitu pintu tertutup, ruangan luas itu kembali sunyi.

Alan masih berdiri di tempatnya. Punggungnya masih tegak, namun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Tatapannya tajam menembus jendela, namun ada sesuatu yang menakan di dalam dadanya, sesak yang bahkan tak bisa ia beri nama.

Sesaat ia menutup mata, dan seketika itu bayangan wajah Tara kembali melintas di kepalanya. Mata sembab Tara saat pernikahan mereka kala itu, juga senyum hangat Tara di depan meja resepsionis beberapa hari lalu. Semua itu menghantui ketenangannya.

“Ini konyol,” gumam Alan ketika akhirnya ia membuka mata, berusaha mengusir bayangan wajah gadis itu.

“Jangan bodoh, Alan... di hatimu hanya ada Lira. Hanya dia.”

Sejak malam itu, Alan bertekad untuk tidak lagi memikirkan Tara. Tidak ketika sedang bekerja, tidak ketika berada di rumah terlebih ketika ia sedang berada di sisi Lira, istrinya.

Namun, semakin keras ia mencoba mengusir bayangan itu, semakin sering wajah Tara menyusup ke dalam pikirannya.

Dalam setiap jeda sunyi di ruang kerjanya, dalam pantulan kaca lift, bahkan dalam nada suara Lira yang kadang membuatnya teringat pada cara Tara menatapnya.

Alan tahu, perasaan semacam itu berbahaya. Dan ia bertekad untuk tidak akan membiarkan siapapun mengguncang ketenangan hidup yang telah ia bangun bersama Lira.

Maka, satu-satunya jalan adalah dengan menjauh.

Ia harus menyingkirkan sumber kekacauan itu dari hidupnya.

Maka, suatu pagi, Alan mulai mempertimbangkan langkah paling logis yang bisa ia ambil.

Memindahkan gadis itu. Jauh dari jangkauannya.

Ia membuka data internal Zeal Industries, menelusuri daftar posisi di kantor cabang, Surabaya, Medan, bahkan cabang luar negeri hanya untuk menemukan celah di mana ia bisa menempatkan Tara tanpa menimbulkan kecurigaan.

Bagi Alan, itu bukan sekadar keputusan profesional, tapi bentuk penyelamatan. Untuk dirinya, untuk rumah tangganya bersama Lira.

Namun ketika matanya menemukan nama Tara yang terpampang di daftar karyawan yang berpotensi untuk dimutasi, jarinya sempat terhenti sejenak di atas touchpad sebelum menekan tombol submit untuk permohonan mutasi.

Muncul sebuah keraguan kecil, membuat dirinya menunduk dan mengatupkan rahangnya.

Ia harus segera menekan tombol itu, sebelum hatinya kembali berkhianat.

1
Rahmat
Dirga rebut tara dr pria pengecut seperti alan klau perlu bongkar dirga biar abang mu dlm masalah
Rahmat
Duh penasaran gimana y klau mrk bertemu dgn tdk sengaja apa yg terjadi
ida purwa
nice
tae Yeon
Kurang greget.
Rienss: makasih review nya kak. semoga kedepan bisa lebih greget ya
total 1 replies
minsook123
Ngakak terus!
Rienss: terima kasih dah mampir kak. Salam kenal dan semoga betah baca bukuku ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!