Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Dua Minggu kemudian…
Kondisi Miranda perlahan menunjukkan perubahan. Wajahnya tak lagi semuram dulu, dan tatapan kosong di matanya mulai tergantikan oleh sedikit kesadaran. Ia kini dipindahkan ke ruang rawat biasa, meninggalkan kamar isolasi yang selama ini menjadi dunianya yang sunyi.
Namun, untuk alasan keamanan, Miranda masih harus mengenakan pakaian restrain. Bukan karena ia berbahaya bagi orang lain, tapi karena terkadang… ia masih bisa berbahaya bagi dirinya sendiri.
Sesekali, tangan itu bergetar, seolah ingin meraih sesuatu yang tak kasat mata, atau mungkin seseorang yang tak lagi ada di sana.
Selama dua minggu itu, ada satu sosok yang diam-diam selalu datang, Damar.
Ia tak pernah masuk ke dalam, hanya berdiri di balik kaca pengawas, menatap Miranda dari kejauhan. Setiap kali melihat perempuan itu duduk diam di ranjangnya dengan pakaian restrain, dada Damar terasa sesak.
Miranda… apa pantas kamu ada di tempat seperti ini? batinnya bergetar.
Ia menggenggam kuat jemarinya yang bergetar, menahan dorongan yang sama selalu muncul, keinginan untuk membawanya pergi.
Baginya, Miranda bukan orang gila. Ia hanya perempuan yang terlalu hancur karena takdir yang tak berpihak padanya.
Dan melihatnya terkurung di balik tembok dingin rumah sakit jiwa itu terasa seperti menyaksikan bunga yang dipaksa layu di bawah kaca.
Saking kuatnya keinginan itu, Damar bahkan diam-diam mulai mencari tahu, bagaimana caranya membawa Miranda keluar dari rumah sakit ini.
Bahkan ia sampai menanyakan prosedur pada perawat dengan alasan samar, bahkan sempat menghubungi kenalannya yang bekerja di instansi kesehatan.
Setiap langkahnya seakan dipenuhi resiko, tapi hatinya menolak berhenti.
Ia tahu, keputusannya mungkin gila… tapi melihat Miranda terkurung di balik dinding putih itu jauh lebih menyakitkan daripada menanggung risiko apa pun..
Begitu pula dengan Jodi.
Siang itu, ia duduk di ruang kerjanya, memandangi catatan medis Miranda yang terbuka di mejanya. Matanya menelusuri setiap baris tulisan, setiap angka tekanan darah, setiap catatan kemajuan, dan entah kenapa, hatinya terasa berat.
Miranda kini sudah jauh lebih tenang. Tak lagi mengamuk, tak lagi berteriak memanggil nama Gala. Kadang ia bahkan bisa tersenyum… dan tentunya Miranda kini sudah memanggil dirinya dengan sebutan mas dokter.
Untuk sesaat, terlintas di benaknya.
Apakah Miranda masih harus terus di sini?
Ia tahu protokolnya, tahu risiko medis dan etikanya. Tapi sisi lain dalam dirinya yang bukan seorang dokter, melainkan seorang manusia, mulai berbisik pelan,
Mungkin… Miranda hanya butuh kebebasan untuk sembuh sepenuhnya. Apa aku harus membawanya keluar pergi dari sini?
“Baiklah…” gumam Jodi pelan, matanya tak lepas dari lembar catatan medis di tangannya. “Kalau keadaan Miranda terus membaik seperti ini… aku sendiri yang akan membawanya keluar dari tempat ini.”
Nada suaranya pelan, tapi tegas, seolah sedang membuat janji, bukan pada siapapun, melainkan pada dirinya sendiri.
Setelah menutup catatan medis Miranda, Jodi menarik napas perlahan. Tangannya refleks meraih ponsel di meja. Layar yang semula gelap tiba-tiba menyala, menampilkan satu pesan masuk.
Alina, setelah dua Minggu tinggal di rumah orang tuanya akhirnya Alin menyerah, ia menghubungi Jodi duluan. Rasanya ia tidak kuat kalau harus berpisah dari Jodi.
Sungguh Alin pikir, Jodi akan datang menjemputnya, membujuknya untuk pulang.
Namun yang terjadi jauh dari bayangannya.
Jodi tidak muncul. Tidak juga menelepon.
Dua minggu penuh ia dibiarkan dalam sepi, seolah kehadirannya tak lagi penting. Seolah Jodi benar-benar tak peduli..
“Mas Jodi… apa kamu sudah nggak peduli lagi sama aku?”
Pesan itu muncul di layar ponselnya, singkat tapi terasa berat.
Jodi terdiam cukup lama sebelum menghela napas pelan. Matanya menatap layar itu seolah mencoba membaca lebih dari sekadar kata-kata.
Akhirnya, jemarinya bergerak mengetik balasan.
“Kenapa kamu tanya seperti itu, Lin? Bukannya kamu sendiri yang memilih pergi?”
“Maaf, waktu itu Alin cuma… butuh waktu buat tenang,” balas Alina pelan lewat pesan. Jemarinya gemetar, menatap layar ponselnya yang terasa makin berat di genggaman.
Beberapa detik berlalu, tapi centang dua itu masih belum berubah warna. Hening.
Jodi membaca pesan itu tanpa segera membalas. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap kosong langit-langit ruangannya. Dalam hati, ia tahu Alina terluka… tapi ia juga tahu, dirinya pun sedang berperang dengan perasaan yang bahkan tak bisa ia jelaskan.
Hingga akhirnya Jodi mengetik pelan, napasnya terasa berat di dada.
“Kalau kamu memang butuh waktu, aku nggak akan ganggu, Lin…”
Beberapa detik kemudian, notifikasi kembali muncul.
“Mas… sekali lagi Alin minta maaf,” tulis Alina. Huruf demi huruf seperti bergetar di layar. “Alin kangen sama mas. Alin mau pulang. Alin mohon, mas Jodi jemput Alin ke rumah…”
Belum sempat Jodi membalas pesan itu, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama “Alin ❤️” terpampang jelas di layar, membuat dadanya seketika mengencang.
Jodi menatap layar itu lama, jemarinya sempat berhenti di udara, ragu apakah harus menjawab atau membiarkannya berdering sampai mati.
Namun suara nada dering yang terus memecah kesunyian ruang kerjanya membuat pertahanannya runtuh juga.
Dengan helaan napas berat, ia akhirnya menggeser ikon hijau di layar.
“Halo, Lin…” suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan yang disembunyikan di antara rindu dan rasa bersalah.
“Mas Jodi!!” suara Alin terdengar dari seberang, lembut tapi sarat kegelisahan, ada nada manja yang berusaha menutupi gugupnya.
“Iya, Lin… mas dengar,” jawab Jodi pelan, suaranya nyaris datar.
“Mas Jodi, apa masih marah sama Alin?” suara Alin bergetar, seolah menahan tangis. “Alin minta maaf… iya, Alin ngaku salah waktu itu. Tapi kenapa mas Jodi diam aja? Mas... tolong ngomong sesuatu, jangan bikin Alin ngerasa kayak gini...”
Di sisi lain, Jodi terdiam lama. Hanya suara napasnya yang terdengar, berat,seolah ada ribuan kata yang berdesakan di tenggorokannya tapi tak satu pun sanggup keluar.
“Mas… mas Jodi memang nggak kangen sama Alin, ya?” suara Alin mulai parau, nyaris bergetar di ujung kata. “Dua minggu loh, mas… Alin nunggu kamu. Tiap hari Alin berharap kamu datang, ngetuk pintu, terus bilang suruh Alin pulang. Tapi nyatanya… kamu nggak pernah datang, mas.”
Keheningan menjawabnya. Hanya ada tarikan napas berat dari seberang, lalu sunyi lagi.
“Mas Jodi…” suara Alin terdengar lembut namun bergetar, menahan perasaan yang hampir pecah. “Alin udah lupain semuanya kok, beneran. Semua yang pernah bikin kita berantem, semua kata yang nyakitin itu… Alin udah buang jauh-jauh.”
Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan, suaranya makin pelan, seperti takut kalimatnya tak sampai.
“Alin cuma pengin mulai lagi dari awal, mas… Alin gak mau kehilangan kamu. Alin sayang sama mas Jodi..”
“I-iya… mas juga sayang sama kamu, Alin,” ucap Jodi akhirnya, suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan yang ragu.
“Beneran, mas?” suara Alin berubah lembut, nyaris seperti anak kecil yang takut harapannya dipatahkan. “Kalau gitu… jemput Alin sekarang, ya? Alin udah kangen banget sama mas.”
Hening sejenak. Hanya terdengar napas Jodi di seberang.
“Iya, nanti mas jemput,” jawabnya akhirnya.
Senyum tipis muncul di wajah Alin, dan dengan nada manja ia berkata, “Jangan lama-lama ya, mas… Alin udah nggak sabar pengin peluk mas, pengin cium mas lagi.”
Deg…
Seketika bayangan malam panas bersama Alin berkelebat di benak Jodi. Napasnya tercekat. Ingatan tentang kulit Alin yang hangat di bawah jemarinya, desah pelan di telinganya, dan tatapan matanya yang penuh pasrah, semuanya menyeruak begitu saja.
Jujur saja, tak bisa ia pungkiri… ada bagian dari dirinya yang masih menginginkan itu. Menginginkan Alin. Bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang tak pernah ia pahami sepenuhnya, antara rasa bersalah, keterikatan, dan nafsu yang belum benar-benar padam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...