Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 21|The Tears of Us
Ruangan keluarga dipenuhi kehangatan yang menjalar disetiap sudut rumah. Keluarga kecil yang masih mencari jalan untuk bahagia dan terbuka ini duduk bersama sambil sesekali tertawa menonton serial kartun yang mengundang tawa.
"Papa bisa main alat musik tidak?" suaranya memecah momen yang baru saja hening setelah tawa. Elliot memegang tengkuknya, lalu mengarahkan pandangan ke arah lain. Pura-pura tidak mendengar.
Anala tertawa melihat tingkah Elliot yang sengaja mengelak dengan gaya. Ia merangkul bahu Nathael dan membisikkan sesuatu ditelinga mungilnya. "Papa bisanya main voli, sayang. Kalau make alat musik nanti pecah gendang telinga kita dengernya."
Bisikan yang malah terdengar seperti suara pengumuman itu membuat Elliot merasa malu. "Cowok mah nggak main alat musik, tapi dominan di olahraga." balasnya tidak mau kalah, ia jelas mendelik kesal.
Sementara itu, Nathael menyandarkan tubuhnya ke sofa lalu bergantian ke kiri dan ke kanan menatap kedua orangtuanya. "Kata buk guru, bulan depan ada penampilan ayah dan anak. Nael jadi bingung mau nampilin apa didepan semua orang."
"Jangan khawatir, Nael. Papa bisa jumping serve depan mereka kok."
Anala langsung gemas dengan melempar Elliot menggunakan bantal sofa. "Stress!" katanya frustasi. "Bulan depan ada peringatan hari seni sedunia, jadi sekolah Nael mah siapin acara untuk nampilin kekompakan ayah dan anak lewat duet seni."
Seketika Elliot langsung tercengang. Matanya sampai membulat dengan mulut menganga. "Eh, serius?"
Anala mengangguk cepat. Tangannya masih mengelus puncak kepala Nathael yang kini bersandar di dadanya. "Iya, tadi orang tua murid pada bahas itu." Ia menoleh sedikit pada Elliot, sengaja dengan seringai jahatnya. "Jadi siapin diri kamu. Jangan sampai anakku diketawain orang gara-gara papanya yang nggak punya jiwa seni ini."
Elliot mendecih pelan sambil membatin. Cih, dia benar-benar tau kelemahan suaminya. matanya menyipit dengan raut tak puas dan nyaris bikin keributan, tapi ia mengubah kejengkelan itu dengan senyuman sabar.
Ia merangkul sang anak lalu membawanya lebih dekat. "Jadi rencananya Nael mau nampilin apa?" tangannya sudah memeluk erat tubuh mungil itu. Nael yang duduk di pangkuannya langsung mendongak. "Nael mau main biola, Pa."
Elliot pun mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya udah nanti Papa belajar dulu ya, janji nggak akan bikin acara Nael kacau."
"Tapi kata Mama, Papa kan nggak bisa main alat musik."
"Sayang... Papa itu cepat belajar, nanti Mama akan bantu Papa belajar main alat musik. Nael juga harus semangat latiannya ya?" suara Anala ikut menenangkan Nathael yang khawatir dengan penampilan panggungnya.
Mata Nathael pun melebar, semakin yakin setelah mendengar langsung dari mamanya. "Siap, Mama!" jawabnya senang. Sementara Elliot makin murung karena mendadak harus belajar alat musik sebulan ke depan.
***
Setelah berpisah dengan Nathael, keheningan diantara mereka langsung terasa cepat. Suhu ruangan pun ikut mendingin menyelimuti dua orang yang tidak seperti pasangan suami istri ini.
Anala melirik Elliot yang sudah duduk dan bersandar di headbed sambil membaca sebuah buku ditangannya. Ia meneguk ludah sambil ragu-ragu berdiri dan ikut naik ke tempat tidur.
"Elliot." panggilnya begitu sudah ikut duduk dan kini memandang Elliot dengan jarak yang lebih dekat. Pria itu mengangkat pandangan yang tersanggah lewat gagang kacamatanya.
Anala menatapnya sedikit lama, tangannya menggenggam sprei untuk sekedar melepas ragu. Ia mengulum bibir sebelum bicara. "Apa aku boleh nanya sesuatu?" Elliot mengamati bibir yang ragu untuk bicara itu, lalu mengangkat satu alisnya. "Tentang apa?"
Jantung Anala berdebar kuat, mendadak rasa dingin menjalar diujung jarinya. "Aku mau kamu ceritain semua hal tentang kita dimasa lalu."
Elliot terdiam dengan mata membulat. Perlahan tatapannya berubah, jadi lebih sendu dan lagi-lagi menutup banyak luka dan trauma. Ia membuka kacamata lalu menutup buku itu. Meletakkannya diatas nakas. "Sampe mulut berbusa juga nggak akan ada gunanya."
"Ada! aku perlu tau semuanya supaya pelan-pelan bisa ingat semua hal yang terjadi."
Elliot tidak berniat meladeni. Ia sudah mengambil sikap untuk siap berbaring. "Aku nggak ada waktu buat bercanda Anala." Kakinya sudah masuk diantara kasur dan bed cover, namun Anala menahan tangannya. "Atau nggak, kasih tau aku kapan tepatnya sikapku berubah?"
Wanita itu menatapnya dengan tatapan putus asa. Pupil matanya bergetar begitupun dengan rasa frustasi lewat bibirnya yang sengaja digigit pelan. "Aku mohon, El."
Elliot terdiam lalu memutuskan untuk menjauhkan kembali bed cover itu. Suasana hening melanda mereka Ia tak menatap Anala, namun masih bersedia menjawab dengan lembut. "Mungkin setelah kamu keluar dari rumah sakit."
Sontak rasa senang memenuhi Anala. Ia memegang tangan Elliot, membawanya untuk bicara empat mata sambil berhadapan. "Oke, tolong ceritakan apa saja yang terjadi sebelum hari itu."
Mendadak rasa sesak menjalar di dadanya. Ia meneguk ludah, merotasi pandangan ke arah lain. "Aku ngantuk, mau tidur." Namun Anala terlalu gigih. Ia terus memohon hingga Elliot tak pernah bisa mengelak. "Please! aku perlu tau apa yang salah sama diriku, El." makin lama, suara memohon nya makin terdengar lirih dan sakit.
"Kamu serius?"
"Iya. Tolong cerita apa yang terjadi sebelum aku benar-benar berubah dimata kamu."
Setelah memastikan kondisinya, Elliot pun menilik keseriusan dari dalam mata Anala. Ia menemukan sebuah tekad yang tak mudah goyah. Ia menatapnya lekat, agak lama dan mendalam. Otaknya seolah sedang memikirkan kata-kata yang tepat, begitupun dengan bagian mana harus dimulai.
Elliot menarik nafas dalam, matanya menatap langit-langit sebelum bicara. "Waktu itu kita lagi LDR. Aku kebetulan punya proyek di luar negeri dan kamu disini, dirumah kita ditemani Mami."
Anala mengerutkan keningnya. "Kenapa kok kamu nggak bawa aku?"
Pria itu menggeleng ringan, matanya tak berani lurus pada Anala. "Aku nggak bisa bawa kamu karena disana aku nggak punya orang buat bantu jaga kamu. Aku nggak mungkin biarin kamu tinggal sendirian di apartemen sementara aku kerja."
Jawaban itu membuat Anala terdiam. "Aku nggak mau kamu dan calon anak kita dalam bahaya. Makanya aku minta Mami buat jagain kamu disini." suara Elliot seperti menahan sesuatu yang berat, terlihat dari tangannya yang tiba-tiba mengepal kuat.
Anala tau, dia memperhatikan semuanya. "Waktu itu aku udah hamil berapa bulan?"
"Delapan menuju sembilan bulan." jawabnya sambil sesekali tersenyum tipis khas nostalgia. "Saat itu aku benar-benar nggak bisa tenang, aku kerja lebih keras supaya selesai lebih cepat. Aku mau sesegera mungkin pulang ke rumah."
Senyum getirnya semakin kentara. Helaan nafasnya juga terdengar makin berat. Kepalan tangannya sudah menekan kasur dengan kuat. "Tapi ternyata semuanya terlambat. Kamu melahirkan tanpa ada sosok suami yang menemani."
Anala tau suara yang tercekat itu efek dari emosi terpendam yang tak bisa ia salurkan. Elliot terus bicara dengan nafas yang perlahan memburuk. "Aku tau itu berat dan menyakitkan buat kamu, begitupun dengan rasa bersalahku. Tapi yang lebih menyakitkan dari itu adalah kamu koma selama seminggu."
Rahangnya mengeras hingga urat lehernya terlihat menonjol. Giginya gemeretuk berusaha menelan kembali ledakan perasaan yang membuncah. "Setelah kamu sadar, kamu nggak mau lihat aku. Kamu bahkan nggak mau menggendong Nael." setelah kalimat itu, matanya memerah. Air mata menggenang disana.
"Kamu bahkan harus berdebat dulu dengan Papa agar mau menyusui Nael."
Anala terkejut, pupil matanya mengecil. Ia memejamkan mata sambil menelan semua rasa bersalah dalam dirinya.
"Aku pikir kamu marah karena aku nggak bisa temenin kamu lahiran, jadi aku coba buat bujuk kamu. Sejuta kali aku minta maaf, tapi memang bukan itu yang kamu mau."
Sebelum lanjut bicara—Elliot menarik nafas dalam-dalam, tenggorokannya terasa kering kerontang. Matanya terpejam bersama helaan nafas yang menembus ruang. "Kamu nggak pernah mau menatap aku lagi. Lalu kamu bertemu Yohane dan berakhir jatuh cinta sama dia."
Elliot menyerah, air matanya benar-benar tumpah. Tangan kokohnya menyeka butiran halus itu dengan kasar. menggigit bibirnya agar tak mengeluarkan tangisan menjengkelkan. Ia menunduk, tak berada berhadapan dengan mata cintanya. "Aku udah berusaha buat bikin kamu jatuh cinta lagi, tapi aku gagal, La. Perasaan kamu buat aku udah berubah."
Anala seperti ditusuk sembilu. Hatinya sakit, terasa pedih hingga ke tulang. Ia menggigit bibirnya, menggelengkan kepala tanda tak benar. "Enggak El. Kamu selalu jadi satu-satunya."
Perlahan kekuatannya runtuh, amblas dihantam emosi. Tangisnya menyeruak ke permukaan, menimbulkan jejak yang membasahi pipi. Ia menarik Elliot, memeluknya dengan erat. "Aku minta maaf. Setiap kali aku dengar cerita orang lain tentang sikapku dimasa lalu, aku nggak bisa berhenti jijik sama diriku sendiri."
Suaranya parau, hatinya pun ikut kacau. Setiap kali berucap, ia selalu menggeleng, meyakinkan dirinya bahwa ia tak menginginkan hal itu. “Aku selingkuh, aku ninggalin kamu dan bahkan aku juga ninggalin anak kita."
Tangisnya makin pecah, tubuhnya bergetar hebat dalam pelukan Elliot. Anala membiarkan tubuhnya hanyut dalam kesedihan mendalam. Setidaknya Elliot masih memeluknya—mendengarkan segala penyesalan yang datang dari bagian terdalam jiwanya.
"Aku nggak minta kamu buat maafin aku, tapi aku janji hal itu nggak akan terjadi lagi. Setiap hari aku hidup sambil dihantui rasa bersalah, El. Aku merasa dicekik oleh sesuatu yang bahkan nggak bisa aku ingat."
"Aku minta maaf. Benar-benar maaf sudah menyakiti kamu separah ini." Tangannya makin erat memegang Elliot. Pelukan hangat ini menjalar didalam jiwanya.
Sejenak keheningan melanda, memberikan kesempat untuk bernafas lebih lama. Elliot melepaskan pelukan mereka—berusaha menatap Anala, melihat bagaimana hancurnya wanita yang kini meraung tangis didepannya.
"La, kamu beneran nggak ingat tentang itu?"
Suara Elliot menyadarkan Anala. Ia mengangguk seperti anak kecil. "Aku nggak bohong El, aku benar-benar nggak ingat apapun setelah kita selesai prom night waktu itu."
"Apa itu efek dari koma yang kamu alami saat itu?" tanyanya pelan penuh pertimbangan. "Tapi saat itu dokter bilang nggak ada masalah apapun dengan ingatan kamu."
Anala menggeleng tak tau. "Aku juga nggak tau, El. Mungkin benar karena koma itu, atau mungkin ada sesuatu lain yang bikin aku nggak sengaja melupakan sebagian ingatan itu."
"Sekarang—apa kamu benar-benar nggak mencintai Yohane?" pertanyaan yang terdengar ragu itu membuat Anala sedikit terkekeh. Sekali lagi ia mengangguk, kali ini dengan anggukan yang jelas dan berulang. "Aku bahkan mual cuma denger nama dia. Kamu sendiri tau gimana aku benci sama dia."
Tapi nampaknya Elliot masih belum percaya. "La...?" ulangnya lagi dengan mata yang nyaris putus asa. Namun Anala dengan cepat menggenggam tangannya, meyakinkan Elliot untuk tidak berpikir jauh.
"Aku nggak minta kamu percaya El, sungguh. Nggak apa-apa kalau kamu masih ragu karena aku yang akan bikin kamu yakin. Aku yang akan buktikan kalau semuanya bukan omong kosong."
Setidaknya setelah ucapan gamblang itu, terpatri senyum kelegaan diwajah Elliot. Ada rasa haru, sakit, dan penyembuhan yang ia temukan dalam satu waktu. Ia berharap bahwa malam ini bukanlah mimpi, malam dimana ia bisa membahas segala yang terpendam dalam jiwanya hingga hampir lima tahun.