NovelToon NovelToon
The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masa Lalu Arabella

...BAB 21...

...MASA LALU ARABELLA...

Malam sudah lewat tengah. Pesantren sunyi, hanya suara serangga dan semilir angin yang menemani. Cahaya bulan mengintip malu-maludari balik awan, menerangi taman kecil di sudut halaman.

Di bangku kayu tua yang menghadap kolam, Arabella duduk sendiri. Gamisnya tertiup angin pelan, hijabnya rapih seperti biasa, tapi matanya... kosong. Menatap langit seperti sedang mencari sesuatu. Atau... seseorang?

Tangannya menggenggam erat secangkir teh yang kini sudah dingin. Nafasnya tertahan, lalu keluar pelan-pelan. Di antara suara dedaunan yang bergoyang, dia berbisik sendiri.

Hah... Kenapa kamu pergi pas aku mulai yakin, sih?

Dulu, ada seorang laki-laki yang mengejarnya dengan sepenuh hati. Melangkah dalam doa, hadir di setiap jeda waktunya. Arabella yang dulu sangat ragu, akhirnya lambat laun mulai membuka diri. Mulai percaya dan mulai... Mencintai seseorang itu. Tapi pada saat hatinya jatuh dalam diam, seseorang itu malah menghilang. Tanpa kabar. Tanpa salam. Tanpa alasan. Hilang bak ditelan bumi.

“Hahaha... Ck.. Ck.. Ck... lo emang bego banget, Bell.” Gumamnya tersenyum hambar masih menatap bintang menertawakan nasibnya. “Kenapa juga lo masih berharap dia muncul lagi? Kan mungkin aja dia udah lupa sama lo!”

Di atas lantai dua, tak jauh dari taman, Ustad Izzan berdiri di balkon n’dalem hendak menutup pintu sebelum tidur. Tapi pandangannya tertahan pada sosok Arabella yang duduk sendiri. Wajahnya tak bisa dia lihat jelas, tapi bahasa tubuhnya berbicara banyak rindu, luka dan cinta yang belum selesai.

Sementara itu, Ustad Azzam, yang baru saja selesai mengambil air dari dapur pondok, berdiri di ambang jendela. Dia juga melihat ke arah taman.

Dua laki-laki baik, dua Ustad yang diam-diam menyimpan perasaan untuk gadis yang bernama Arabella. Tapi malam ini mereka melihat sisi Arabella yang berbeda, bukan Arabella yang tengil, lucu dan penuh semangat, melainkan Arabella yang rapuh, yang hatinya masih terikat pada seseorang dari masa lalu.

Ustad Izzan memejamkan mata sejenak.

“Hah... Apa saya cukup kuat untuk menyaingi bayangan laki-laki yang ada di hatinya?”

Ustad Azzam menatap air di gelasnya, matanya meredup.

“Apa cinta saya harus diam... hanya karena saya datang terlambat?”

Arabella menunduk, menatap tangan sendiri.

“I hate you...” bisiknya lirih.

Tapi kenapa dengan bodohnya gue masih nunggu... dan masih nyebut nama lo dalam doa gue...

Angin malam menyapu wajahnya, seperti tangan tak terlihat yang menenangkan. Tapi juga menyampaikan keresahan dua hati lain yang ikut membeku di malam sunyi. Dan malam itu juga di bawah langit yang sama, tiga hati bicara dalam diam.

Yang satu rindu seseorang yang hilang. Yang dua lagi... mencintai seseorang yang belum bisa dimiliki. Dan langit, seperti biasa hanya bisa jadi saksi. Tenang, namun tau segalanya.

*****

Dini hari di pesantren selalu terasa damai. Langit masih gelap, udara segar menyelusup lewat jendela-jendela kayu, dan suara adzan awal dari mushola menggema, membelah keheningan. Namun pagi ini... ada yang berbeda.

Biasanya, saat gema adzan pertama berkumandang, Arabella lah yang paling bangun duluan. Tapi kali ini... tempat tidur Arabella tetap sunyi. Dia masih terlelap, memeluk guling, napsnya pelan. Dan pipinya yang terpantul cahaya remang... jejak air mata masih membekas.

Sari berdiri di samping tempat tidur Arabella dengan alis berkerut.

“Ini.... Bella serius tidur? Bukan pura-pura buat ngeprank kita kan?” heran Sari.

Elis memeriksa kening Arabella. “Gak demam. Tapi liat deh... pipinya basah, apa dia abis nangis?”

Dina duduk di ujung kasur, memperhatikan wajah sahabat mereka yang biasanya tidak pernah diam.

“Biasanya kalau dia nangis, itu karena ketawa kebanyakan... tapi ini beda.” Lirih Dina.

Mereka bertiga saling pandang. Hening. Selama ini mereka melihat Arabella sebagai sosok absurd, konyol, jahil dan penuh warna. Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, mereka menyadari .

“Ternyata Bella juga manusia... dan dia pandai sekali menyembunyikan sebuah luka.” Lirih Dina.

“Eh, Aku jadi kepikiran omongan Nisa waktu di rumah sakit... soal cowok yang pernah deket sama Bella tapi pergi gitu aja.” Ucap Sari dengan nada khawatir.

“Yang katanya pernah perjuangin Bella sampai Bella jatuh cinta... terus dia ilang tanpa kabar?” terka Elis.

“Kalau benar itu penyebabnya... berarti selama ini Bella masih nyimpen semuanya sendiri. Ketawa buat nutupin sakit.” Tebak Dina.

Mereka bertiga terdiam lebih lama dari biasanya.

“Gimana kalau nanti setelah subuh... kita ajak dia duduk bareng. Tanya balik-baik. Gak maksa, Cuma... biar dia tau dia nggak sendiri.” Tanya Elis menatap Sari dan Dina.

“Setuju. Dia harus tau kita bukan Cuma teman ketawa. Tapi juga tempat dia boleh nangis." seru Dina.

“Dan tempat dia cerita... tentang laki-laki itu, tentang luka yang gak pernah selesai.” Tambah Sari.

Mereka kembali menatap Arabella, yang mulai menggeliat kecil dalam tidurnya, lalu menarik guling lebih erat. Di tengah kegelapan dini hari, sebelum cahaya pertama menyentuh bumi, tiga sahabat memutuskan satu hal, Ya... mereka akan menjadi pelindung bagi hati yang selama ini terlalu kuat berpura-pura bahagia.

Karena dibalik tawa paling riuh... terkadang tersembunyi air mata yang paling sunyi.

*****

Jam dinding menunjukkan pukul 05.01 ketika mata Arabella terbuka lebar.

“ASTAGH—!”

Dia bangkit dengan gaya sit-up mendadak, rambut acak-acakan terjepit hijab yang entah sejak kapan melilit lehernya, dan ekspresi panik maksimal terpampang jelas di wajahnya.

“Sholat Subuh berjamaah...” gumamnya, lalu melirik jam lagi.

“Udah bubar pasti...”

Dengan langkah tergesa namun tetap berusaha menjaga adab (walau lebih mirip lari-lari kecil di atas kasur), Arabella wudhu dan sholat sendiri di kamar.

Selesai sholat, dia hanya bisa menatap sajadah dengan tatapan kosong.

“Hah... Ya Allah... kenapa gue bisa molor kayak guling semalem?”

Sementara itu di masjid pesantren, para santri sudah selesai berjamaah dan kini duduk rapih mengikuti kajian subuh berjamaah dan kini duduk rapih mengikuti kajian subuh bersama Ustadzah Rahmah, guru mengaji yang dikenal disiplin, tegas, dan... ya, secara resmi sering berseberangan frekuensi dengan Arabella.

Satu persatu nama santri dipanggil dari daftar kehadiran.

“Elis.”

“Hadir.”

“Sari.”

“Hadir.”

“Dina.”

“Hadir.”

“Arabella.”

...

Hening.

Ustadzah Rahmah mengangkat wajah dari lembar absen, alisnya terangkat.

“Arabella?”

Semua kepala mulai saling melirik. Beberapa santri mulai melihat ke arah tiga sahabat sekamarnya. Ustadzah Rahmah menatap mereka dengan sorot mencurigakan.

“Kemana Arabella? Apa dia masih tidur? Atau memang sengaja malas ikut mengaji? Atau jangan-jangan... dia menghindar karena tau hari ini saya yang memimpin kajian?”

Suasana masjid mendadak kaku. Sari dan Elis melirik Dina. Dina melirik Elis. Elis melirik Sari. Sampai akhirnya, Dina menarik napas dan berkata dengan celetukan tenangnya.

“Bella lagi ngerjain tugas kuliah, Ustadzah. Soalnya jam 7 dia dan jadwal kuliah pagi. Jadi dia sholat di kamar biar bisa langsung siap-siap.”

Seketika beberapa santri manggut-manggut pura-pura paham, walau ekspresi mereka antara bingung, kagum dan ingin ngakak tapi takut dosa. Ustadzah Rahmah diam sejenak, menimbang-nimbang antara marah atau menerima alasan itu. Lalu dia mendecak kecil.

“Kalau begitu, sampaikan pada Arabella... ngaji itu bukan pilihan. Tugas kuliah boleh dikerjakan, tapi sholat berjamaah dan kajian tetap prioritas utama. Jangan sampai sibuk dunia, lupa akhirat.”

“Siap Ustadzah.” Jawab Dina sopan.

Tapi begitu Ustadzah kembali menunduk ke catatan kajian, Elis membisik ke Dina dengan lirih.

“Kamu penyelamat pagi ini.”

“Kalau nggak, bisa-bisa Arabella dikira kafir rebahan.”

Sari menambahkan pelan, “Atau tersangka kasus lari dari pengajian.”

Mereka bertiga tertawa kecil. Namun di dalam hati, mereka tau... pagi ini Arabella tidak seperti biasanya. Dan entah kenapa, mereka semua yakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabat absurd mereka itu.

Arabella sudah bersiap, dan kini keluar kamar dengan langkah pelan tapi mantap terdengar menyusuri lorong kamar santri putri yang saat itu sunyi. Para santriwati sedang berkumpul di masjid untuk mengaji, membuat lorong terasa lengang dan damai... sampai muncul satu sosok dengan tas selempang besar, sepatu kets dan wajah datar tapi mata yang penuh rencana.

Arabella.

Dengan gamis santai dan hijab yang dibuat simple, Arabella berjalan santai menuju gerbang, siap berangkat kuliah. Tas kuliahnya menggantung di pundak, sementara satu tangannya menenteng botol minum yang sudah ditempeli stiker.

Jangan diminum kalau mau jadi bodoh.

Sesekali, dia menyapa beberapa Ustad dan Ustadzah yang kebetulan lewat.

“Pagi, Ustad Hamzah, semoga belum ketularan ngantuk,” katanya sambil menunduk sopan, senyum setengah menahan tawa.

“Assalamualaikum, Ustadzah Rina. Hari ini auranya pink banget, cocok sama hati yang InsyaAllah sudah move on.”

Ustadzah Rina Cuma senyum bingung, belum sadar disindir atau dipuji.

Arabella melenggang keluar menuju halaman parkir khusus santriwati yang kuliah, lalu mendekati moge pink kesayangannya yang setia, yaitu si Cupi.

“Selamat pagi Cupi sayang... mari kita mengaspal demi ilmu dan nilai A,” sambil nyengir dan mengelus mogenya.

Arabella menghidupkan mesinnya, helm pink langsung dipasang, dan dia mulai melajukan si si cupi ke arah gerbang pesantren. Tapi... sebelum benar-benar keluar gerbang, Arabella berhenti sejenak. Matanya menyipit nakal saat melihat Pak Aming, penjaga gerbang yang sedang duduk santai sambil menyeruput kopi dan memandang langit pagi.

Dengan cekatan, Arabella mematikan mesin dan mendorong mogenya pelan-pelan... mendekat dari belakang...

“DOOOORRR!”

Teriaknya tepat di samping telinga Pak Aming.

“YA ROBIIIII!!!”

Kopi hampir tumpah, sandal terbang satu, dan topinya nyaris jatuh saking kagetnya.

Arabella langsung tertawa terbahak-bahak sambil menopang tubuhnya di stang moge.

“Maaf, Pak Aming... ini bentuk kasih sayang. Biar jantungnya tetap olahraga.”

Pak Aming Cuma bisa menggeleng-geleng, setengah kesal. Setengah geli.

“Dasar kamu, Bell. Nanti jantung saya beneran copot loh, kamu yang tanggung jawab!”

“Tenang, Pak. Saya sudah belajar CPR dari youtube, kok.” Jawab Arabella santai, lalu kembali menghidupkan si Cupi.

Dengan gaya khasnya, dia melambaikan tangan sambil berteriak,

“Doakan saya dapat A dan jodoh ya, Pak Aming!”

Dan dengan itu, Cupi pun meluncur meninggalkan gerbang pesantren, membawa Arabella menuju kampus... dan mungkin, menuju hari penuh keabsurdan lain yang menunggu di luar sana.

..... Matahari baru mulai meninggi saat pondok pesantren tiba-tiba menjadi lautan kekagetan dan bisik-bisik penuh penasaran. Sebuah mobil SUV hitam yang mewah dan mengkilap perlahan memasuki halaman utama pondok. Santri putra yang baru keluar dari masjid usai kajian terdiam, memandang dengan rasa iri dan kagum.

Tapi yang paling heboh dan mendadak hilang khusyuk tentu saja... para santriwati.

“Astagfirullah... itu orang atau sinetron berjalan?” bisik salah satu santri putri sambil mengintip dari balik jendela asrama.

"Tolong, siapa pun dia, aku siap dijodohkan secara syar’i.” Kata santri lain sambil buru-buru merapihkan kerudung.

“Beneran Indo? Kok bisa kayak karakter drama Turki?!”

Mobil berhenti pelan. Seorang pria bertubuh tinggi semampai keluar dengan santai. Kulitnya bersih, rambut coklat gelap disisir rapih, sorot mata tajam tapi lembut, dan aura karismatik yang bikin santri dan Ustadzah mendadak salting masal.

Ilustrasi

“Siapa itu?!” jadi kalimat yang mendominasi seluruh penjuru pondok.

Ustadzah-Ustadzah yang biasanya serius kini ikut-ikutan memperbaiki hijab dan berdiri agak dekat jendela ruang guru. Bahkan ada yang pura-pura nyapu di halaman depan, padahal matanya terus menatap ke arah pria itu.

Sementara di sisi lain pondok, di beranda tempat biasa para Ustad muda nongkrong usai kajian, suasana mendadak meledak. Ustad Izzan, Ustad Azzam, Ustad Jiyad dan Ustad Hamzah baru saja hendak kembali ke kamar mereka masing-masing ketika mereka melihat sosok pria itu turun dari mobil. Mereka spontan...

“LAH?! ASTAGFIRULLAH— ITU KAN....!”

Ustad Izzan langsung maju cepat, senyum sumringah menghiasi wajahnya.

“KAISAR?!”

Pria itu menoleh dan tersenyum lebar. “Assalamualaikum, sepupu ganteng!” katanya sambil membuka tangan lebar. Ustad Izzan langsung memeluknya dengan tawa lebar.

“Subhanallah... ini beneran antum Kai?” tanya Ustad Jiyad tak percaya.

“Kaisar Ar-Rayyan” kata Ustad Azzam dengan nada setengah kagum, setengah pasrah melihat sekeliling pondok seperti konser dadakan.

“Putra adik kandung Kiyai Hasyim, dan sahabat lama kita... akhirnya kembali lagi ke pesantren ini.”

Senyum Kaisar meluas, memandang pondok yang penuh kenangan masa kecilnya.

“Hahaha... Bisa aja kalian... by the way, Pesantren ini nggak banyak berubah ya... cuma... tatapan para santriwati makin mengerikan aja sekarang.”

Semua Ustad tertawa. Sementara itu, dari kejauhan... para santri, Ustadzah bahkan beberapa penjaga pondok saling berbisik.

“Siapa nama dia?”

“Kaisar? Nama atau gelar sih?”

“Astaga, aku baru sadar kenapa jodoh belum datang... mungkin dia tersesat dan baru nemu jalannya sekarang.”

Tapi satu hal yang pasti. Pondok pesantren resmi geger. Dan mereka tak tau... kejutan ini belum apa-apa dibanding apa yang akan terjadi saat Kaisar dan Arabella akhirnya bertemu.

1
Tara
jodohmu kaga jauh ...smoga cepat bucin ya...🤭🫣🥰😱🤗👏👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!