Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 (Part 2)
Bunga melirik ke barisan panitia. Matanya mencari-cari Kak Dito, senior galak yang kemarin mempermalukannya. Ia sudah menyiapkan mental untuk dibentak lagi.
Tapi... aneh. Kak Dito tidak ada.
Yang memimpin barisan Arsitektur pagi ini adalah senior perempuan yang jauh lebih ramah, bernama Kak Sinta. Acaranya berjalan lancar. Tidak ada bentakan tidak perlu. Hanya instruksi yang jelas.
Ke mana Kak Dito? batin Bunga.
Di tengah sesi materi di aula, Bunga merasakan ponselnya bergetar di dalam saku roknya. Ia membukanya diam-diam di bawah meja.
Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal.
[+62 812-xxxx-xxxx]
Melati, ini Reza. Gimana hari ini? Aman? Seniornya nggak ada yang macem-macem lagi?
Mata Bunga membelalak. Vina, yang duduk di sebelahnya, ikut mengintip dan nyaris menjerit.
Bunga buru-buru membalas.
[Bunga]
Pagi, Kak Reza. Aman, Kak. Seniornya beda hari ini. Makasih ya, Kak.
Ponselnya kembali bergetar beberapa detik kemudian.
[Reza]
Syukurlah. Oh ya, soal data kamu. Aneh banget. Saya cek ke TU pagi ini, data kamu udah berubah. Statusnya udah 'Belum Kawin'. Kayaknya beneran error sistem semalam dan langsung auto-correct. Syukurlah, masalahnya selesai sebelum saya sempat turun tangan.
Jari Bunga berhenti di atas layar.
Bukan auto-correct, Kak. Itu Mas Arga.
Bunga merasakan gelombang kekaguman yang aneh. Arga tidak membual semalam. Laki-laki itu benar-benar menyelesaikannya. Dalam waktu kurang dari 12 jam. Bahkan seorang Presiden BEM pun tidak tahu apa yang terjadi di belakang layar.
Ia merasa bersalah karena telah berbohong (secara tidak langsung) pada Reza.
[Bunga]
Wah, syukurlah, Kak! Cepat banget ya. Makasih banyak ya, Kak, udah repot-repot ngecekkin.
[Reza]
Santai aja. Yang penting kamu aman. By the way, saya Teknik Sipil. Nanti kita pasti sering ketemu di proyek-proyek fakultas. Simpan aja nomor saya. Kalau Dito atau senior lain berani macem-macem lagi, langsung laporin ke saya. Oke?
Bunga tersenyum. Ia menyimpan nomor itu dengan nama 'Kak Reza (BEM)'.
[Bunga]
Siap, Kak! Makasih banyak!
"Gila, Bunga," bisik Vina, matanya berbinar-binar. "Dia ngasih nomornya! Lo harus simpan baik-baik! Ini langkah awal!"
"Langkah awal apaan, sih," elak Bunga, pipinya memerah. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku.
Meskipun ia tersanjung dengan perhatian Reza, ada bagian dari dirinya yang merasa tidak nyaman. Ia merasa sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan hanya status pernikahannya, tapi juga fakta bahwa ia memiliki "pelindung" lain yang jauh lebih kuat dan bekerja dalam diam.
Sore harinya, Bunga pulang sendirian lagi. KRL tetap padat, tapi ia sudah sedikit lebih siap mental.
Ia tiba di apartemen pukul setengah enam. Unit itu gelap. Arga belum pulang. Sepertinya meeting di proyeknya berlangsung lama.
Bunga mandi dan berganti pakaian. Ia merasa lapar. Ia membuka kulkas, mencari roti, tapi matanya tertuju pada sisa mi ayam semalam. Ia memanaskannya di microwave.
Sambil makan mi ayam sendirian di meja makan, ia merasa... kesepian.
Apartemen ini besar dan mewah, tapi terasa kosong. Ia merindukan rumah. Ia merindukan ocehan Ibunya, bahkan suara koran Ayahnya.
Pukul delapan malam, Bunga sudah mengantuk. Ia sedang bersiap-siap tidur saat mendengar suara pintu depan dibuka.
Arga pulang.
Bunga langsung keluar kamar. Ia melihat Arga berdiri di ambang pintu, terlihat seribu kali lebih lelah dari kemarin. Kemeja biru tuanya lecet di bagian bahu, ada noda debu proyek di celananya, dan rambutnya acak-acakan.
"Mas Arga baru pulang?"
Arga mendongak. Melihat Bunga, wajahnya yang kuyu sedikit melembut. "Iya. Kacau di proyek. Ada kesalahan gambar kerja."
Ia melepas sepatu kerjanya yang kotor. "Kamu sudah makan?"
"Sudah, Mas. Makan sisa mi ayam tadi."
"Bagus," gumam Arga. Ia berjalan melewatinya, menuju kamarnya. "Mas mandi dulu. Bau banget."
Bunga memperhatikannya. "Mas... sudah makan?"
Arga berhenti di depan pintu kamarnya. "Belum. Nanti gampang."
"Mau Bunga masakin... mi instan?" tawar Bunga ragu. Hanya itu yang ia bisa.
Arga menoleh, menatapnya. Ada senyum tipis di wajahnya yang lelah. "Nggak usah repot-repot. Mas bisa pesan delivery."
"Nggak repot! Sebentar doang, kok!" kata Bunga. Ia merasa kasihan melihat Arga.
Arga terlihat berpikir sejenak. "Ya sudah. Boleh. Tolong, ya. Yang pedas."
"Oke, Mas!"
Arga masuk ke kamarnya, dan Bunga bergegas ke dapur. Ia merasa berguna. Ia memasak mi instan dengan teliti, menambahkan telur dan irisan sawi yang ia temukan di kulkas.
Saat Arga keluar dari kamar mandi—sudah segar dengan kaus dan celana pendeknya—semangkuk mi instan panas mengepul sudah menunggunya di meja makan.
Arga duduk dan menatap mi itu. "Kelihatannya enak," katanya.
"Dimakan, Mas."
Arga mulai makan. Lahap sekali. Bunga duduk di seberangnya, hanya menemaninya.
"Gimana hari ini?" tanya Arga di sela-sela makannya. "Aman? Nggak ada drama?" Nadanya terdengar santai, tidak seperti semalam.
"Aman, Mas," jawab Bunga. "Kak Dito nggak masuk."
Arga hanya bergumam "Hmm" sambil terus makan, seolah itu bukan berita besar.
"Terus," Bunga melanjutkan, "data Bunga udah berubah. Udah jadi 'Belum Kawin' lagi."
"Oh, ya?" kata Arga, masih pura-pura tidak tahu. "Baguslah. Berarti benar error sistem."
Bunga menatapnya. "Mas Arga nggak usah bohong, deh."
Arga berhenti makan. Ia mendongak. "Bohong apa?"
"Bunga tahu itu Mas Arga yang urus. Kak Reza aja nggak tahu," kata Bunga. "Dan Kak Dito... Mas Arga apain dia?"
Arga menghabiskan kuah mi-nya sebelum menjawab. Ia bersandar di kursi, terlihat lebih rileks setelah perutnya terisi.
"Mas nggak apa-apain dia," kata Arga. "Mas cuma telepon teman Mas di TU. Dia kebetulan kenal sama Dosen Wali-nya si Dito. Teman Mas cuma... 'mengingatkan' Pak Dosennya kalau salah satu anak didiknya punya hobi bullying maba, dan itu bisa mempengaruhi nilai sikap di transkripnya."
Mata Bunga membelalak. "Mas Arga... se-serius itu?"
"Mas serius kalau menyangkut kamu, Bunga," kata Arga pelan. "Mas sudah janji sama Ayahmu akan jaga kamu. Itu termasuk jaga kamu dari hal-hal kayak gitu."
Bunga terdiam. Cara Arga menyelesaikannya begitu... efisien. Cerdas. Dan sedikit... menakutkan. Ia menggunakan koneksinya untuk memberi pelajaran tanpa perlu berteriak atau mengotori tangannya. Benar-benar "urusan orang dewasa".
"Makasih, Mas," kata Bunga tulus. "Makasih banyak. Bunga nggak tahu harus gimana kalau nggak ada Mas."
"Itu tugas Mas," jawab Arga, kalimat andalannya. "Sekarang masalahnya sudah selesai. Kamu bisa fokus kuliah."
"Tapi... Kak Reza..."
"Kenapa lagi dia?" tanya Arga, nada santainya sedikit menghilang.
"Dia tadi WA Bunga. Dia ngasih nomornya. Dia baik banget, Mas."
"Bagus," kata Arga datar. "Simpan aja nomornya. Berguna punya koneksi ketua BEM. Tapi ingat batasan. Dia senior kamu, dan kamu... istri orang. Walaupun pura-pura."
"Bunga tahu batasan, kok, Mas!" kata Bunga, sedikit tersinggung.
"Mas tahu," kata Arga. "Mas cuma mengingatkan."
Suasana kembali hening. Arga membawa mangkuk kotornya ke tempat cuci piring.
"Mas," panggil Bunga lagi.
"Ya?"
"Bunga... Bunga lihat sesuatu di dapur tadi."
Arga berbalik, alisnya terangkat. "Apa?"
Bunga berjalan ke dapur dan menunjuk cobek pusakanya yang tergeletak bersih di rak piring. "Mas Arga... pakai ini?"
Wajah Arga yang tadi terlihat lelah dan penuh otoritas, tiba-tiba berubah. Semburat merah tipis menjalar di lehernya. Dia terlihat... malu.
"Oh... itu," katanya, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya. Maaf, nggak izin dulu."
"Mas Arga... nyambel?" tanya Bunga tak percaya. Arga yang ia kenal adalah manusia anti-ribet yang hidup dari kopi, roti, dan delivery.
"Tadi... waktu Mas pulang," Arga menjelaskan, suaranya sedikit gugup. "Mas lihat cobek kamu di kabinet. Terus Mas... kangen sambal terasi buatan Ibu kamu. Jadi tadi Mas mampir beli terasi sama cabai di supermarket bawah. Mas coba bikin."
Bunga menahan tawa. Pemandangan Arga Pradipta, arsitek keren, mengulek sambal terasi di dapur modernnya dengan cobek batu... itu terlalu lucu.
"Gimana? Enak nggak, Mas?"
"Lumayan," kata Arga, berusaha menjaga wibawanya. "Walaupun tangan Mas pegal semua. Nggak praktis. Harusnya pakai blender."
"Ya beda rasanya!" sergah Bunga. "Mau Bunga buatin besok? Yang beneran enak?"
Arga menatapnya. "Boleh. Kalau kamu nggak sibuk." Ia tersenyum kecil. Senyum tulus yang membuat wajah lelahnya terlihat jauh lebih muda. "Sisanya masih ada di kulkas. Mas bikin sekalian buat ayam goreng."
Arga membuka kulkas dan menunjukkan sebuah wadah kecil berisi sambal terasi. Di sebelahnya, ada sekotak ayam goreng ungkep.
"Mas... masak ayam goreng juga?" Bunga semakin takjub.
"Iya. Buat makan malam kita," kata Arga. "Mas pikir kamu capek pulang OSPEK."
Bunga terdiam.
Jadi, pagi-pagi sekali Arga pergi ke proyek. Ia menelepon koneksinya di universitas, 'menghukum' seorang senior, dan mengubah data administrasi Bunga secara diam-diam. Lalu, ia pulang kerja dalam keadaan lelah, tapi masih menyempatkan diri membeli bahan dan memasak ayam goreng plus sambal terasi—memakai cobek Bunga—untuk makan malam mereka.
Semua itu... dilakukannya dalam satu hari.
Bunga menatap punggung Arga yang sedang mencuci mangkuk mi-nya. Laki-laki ini... 'suaminya' ini... seribu kali lebih rumit, lebih perhatian, dan lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.
"Mas," panggil Bunga.
"Hmm?"
"Besok... Bunga mau coba masak opor ayam. Boleh?"
Arga berbalik, mengeringkan tangannya. Ia menatap Bunga dengan tatapan yang sulit diartikan. "Yakin bisa? Nanti malah jadi bubur ayam."
"Ih, Mas Arga! Bisa, lah! Lihat Youtube!"
Arga tertawa pelan. "Ya sudah. Coba aja. Besok pagi kita belanja bahan di supermarket bawah sebelum kamu ke kampus. Mas temani."
"Beneran?"
"Iya. Mas juga kangen opor," kata Arga. "Sudah, sana tidur. Besok hari ketiga, kan? Jangan sampai pingsan."
"Siap, Mas!"
Bunga kembali ke kamarnya dengan perasaan ringan. Ia menutup pintu. Cklek.
Ia bersandar di balik pintu, tersenyum sendiri. Malam ini, ia tidak merasa kesepian sama sekali.