Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH TIGA : PORAK-PORANDA
Mandala tersadar. Dia terdiam sejenak, sebelum memutuskan berlalu dari sana tanpa pamit.
“Ma-maaf,” ucap Gita, gugup bercampur tak enak. Dia bergegas menyusul Mandala, yang melangkah cepat keluar rumah.
“Mas!” panggil Gita cukup nyaring.
Namun, Mandala tidak menggubris, bahkan terus berjalan tanpa menoleh sama sekali.
“Mas Maman!” panggil Gita lagi, seraya terus berusaha menyusul pria itu.
“Tunggu, Mas! Mas Maman!”
Mandala tertegun, lalu menoleh. “Namaku Mandala, Gita!” protesnya kesal.
Gita ikut tertegun. Ditatapnya Mandala yang tengah dikuasai amarah. Entah apa yang merasuki pria itu sehingga tiba-tiba hilang kendali.
“Tenanglah, Mas,” ucap Gita lembut. Padahal, ada rasa takut yang menyelimuti hatinya. Dia pernah beberapa kali menyaksikan seperti apa Mandala ketika lepas kontrol.
“Aku tidak bisa tenang, Gita!” Nada bicara Mandala terdengar sangat menakutkan. Membuat nyali Gita makin menciut. “Menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak mau menyakitimu!”
Namun, Gita tetap berdiri di tempatnya. Dia berusaha menguatkan diri, bertahan demi sesuatu yang sebenarnya tidak pasti. Entah mengapa, Gita tetap di sana. Peduli pada pria dengan emosi labil.
“Kusuruh kamu menyingkir dari hadapanku, Gita!” sentak Mandala tak suka karena Gita tidak mendengar perintahnya.
Namun, Gita bergeming, seakan menantang kemarahan Mandala. Gadis cantik itu tetap menatap dengan sorot teduh penuh harap.
“Pergi, Gita!” sentak Mandala lagi. “Jika tidak, aku akan melakukan tindakan kasar padamu!” gertaknya.
“Baiklah. Seret dan lemparkan aku ke jalanan, Mas. Silakan,” tantang Gita pelan, tapi pasti. Meski ada rasa takut Mandala melakukan apa yang dirinya katakan, tetapi dia berusaha bertahan dan ingin melihat sampai di mana batas amarah pria itu.
Mandala yang awalnya menatap tajam penuh amarah, perlahan berangsur tenang. Sorot matanya pun berubah, tak semenakutkan sebelumnya. “Kenapa masih di hadapanku?” tanyanya pelan, tapi penuh penekanan.
“Karena aku ingin tetap berada di hadapanmu,” jawab Gita pelan.
“Untuk apa? Aku tidak membutuhkan wanita murahan sepertimu! Pergilah berkencan dengan Wira si bajingan itu dan bersenang-senanglah!” Nada bicara Mandala kembali terdengar sangat menakutkan. Rupanya, dia belum terlepas dari amarah.
“Mas ….” Sepasang mata Gita mulai berkaca-kaca.
“Jangan menangis di hadapanku! Pela•cur sepertimu sangat menyedihkan! Wanita sialan tak tahu diri!” maki Mandala teramat kasar. Umpatan yang terlontar dari bibirnya sungguh keterlaluan sehingga membuat ketegaran Gita langsung porak-poranda.
Perlahan, Gita menjauh. Kenyataan menamparnya dengan begitu keras. Predikat sebagai pela•cur ternyata sangat sulit dilepaskan, meski telah mencoba melepaskan diri dari jerat penuh dosa tersebut.
Tak ada lagi yang bisa Gita lakukan. Jika sudah mendengar sebutan itu dari bibir Mandala, kepercayaan dirinya seketika musnah. Gita memilih pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Mandala dengan kemarahannya.
Bagai adegan dalam film drama. Kesedihan selalu bersamaan dengan awan mendung, seperti gambaran wajah yang bermuram durja. Rintik hujan seolah melambangkan air mata, yang diturunkan langit karena tengah berduka.
Gita melangkah seorang diri menyusuri trotoar. Padahal, tadi dia berangkat bersama Mandala. Seharusnya, pria itu bertanggung jawab mengantar dan memastikan dirinya pulang dalam keadaan selamat.
“Apa yang terjadi? Kenapa Mandala semarah itu padamu, Sayang?” tanya Arum, setelah Wira membaringkannya di tempat tidur.
Wira menggeleng pelan. “Emosi Mandala memang labil sejak dulu. Jangan terlalu dipikirkan,” jawabnya tenang.
“Tapi, dia membentakmu dengan sangat kasar.” Arum tak terima atas sikap Mandala terhadap Wira. Meski begitu, nada bicaranya tetap lembut dan penuh kasih.
“Sudahlah. Jangan dipikirkan. Maaf karena kamu harus menyaksikan ketidaknyamanan tadi.” Wira tersenyum kalem, seraya membelai lembut rambut sang istri. “Sebaiknya, kamu istirahat dulu. Bagaimana jika kuambilkan buku bacaan?”
Arum mengangguk setuju, meskipun kata hatinya mengatakan ada sesuatu yang Wira tutupi. Namun, dia tak tahu bagaimana cara membuat pria itu bicara jujur.
Apakah memang benar ada masalah pribadi antara Mandala dengan Wira? Ataukah seperti yang Wira katakan bahwa emosi Mandala yang tidak stabil?
Keresahan yang Arum rasakan sama seperti Subagyo. Pria tua itu berdiri mematung dekat jendela. Tatapannya menerawang ke luar, pada rintik hujan yang sebenarnya terlalu menenangkan untuk situasi panas seperti tadi.
Di satu sisi, Subagyo bahagia atas kepulangan Mandala. Di sisi lain, dia merasakan penyesalan yang teramat dalam. Jika bisa, mantan jenderal bintang empat itu akan memutar waktu dan menangani semua sehingga tidak menimbulkan kisruh berkepanjangan.
Menjelang petang, rintik hujan mulai reda. Namun, jejak kehadirannya masih terlihat jelas di trotoar yang basah. Hawa sejuk pun belum sirna, seakan sengaja bertahan demi mendinginkan hati dan pikiran yang panas.
Suasana mulai gelap. Langit kehilangan warna terangnya, meski lampu-lampu telah dinyalakan.
Sama seperti yang Mandala rasakan saat ini. Seribu penyesalan menyeruak dalam dada. Dia yang sudah tersadar dari amarah, memikirkan semua kata menyakitkan terhadap Gita.
Mandala merutuki diri yang tak bisa menahan gejolak. Setan yang ada dalam dirinya begitu kuat, memberikan pengaruh dan berkuasa sesuka hati. Kendali makhluk terkutuk itu melebihi akal sehat, yang sepertinya hampir habis digerogoti api dendam karena rasa sakit hati.
Ya. Berkali-kali, ucapan kasar Mandala berhasil menghancurkan perasaan Gita, membuat gadis itu menangis meratapi diri yang dianggap kotor.
“Makan dulu, Git.” Ratih sudah selesai menyiapkan dua mangkuk mie instan lengkap dengan telur dan sayuran.
“Aku tidak lapar, Rat,” tolak Gita pelan.
“Tapi, aku khawatir karena kamu ….”
“Aku tidak apa-apa. Luka kecil tidak akan membuatku mati.”
“Kamu yakin ini hanya luka kecil?”
Bukannya menjawab, Gita justru kembali menangis. Setelah sempat berhenti selama beberapa saat, air matanya tercurah lagi karena teringat sikap serta kata-kata kasar Mandala, yang teramat menyakitkan dan membuatnya sadar tidak memiliki kepantasan untuk berharap.
“Git ….” Ratih tak tahu harus berkata apa. “Aku ingin sekali membantumu, tapi tak tahu bagaimana caranya.”
Gita yang berbaring dengan posisi membelakangi Ratih, menggeleng pelan. “Aku ingin sendiri dulu, Rat.”
“Ya, sudah. Panggil saja jika kamu butuh sesuatu.”
Ratih beranjak dari duduk sambil membawa semangkuk mie instan buatannya. Dia berniat makan di dapur.
Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu. Ratih yang sudah selesai makan, bergegas membukanya. Dia cukup terkejut karena mendapati Mandala yang datang bertamu.
“Aku ingin bicara dengan Gita,” ucap Mandala datar.
“Maaf, Mas. Dia sedang tidak ingin diganggu,” tolak Ratih, tanpa bertanya terlebih dulu kepada Gita.
“Apa dia ada di dalam?” tanya Mandala, tak peduli dengan ucapan Ratih.
“Ya, tapi Gita sedang beristirahat. Dia menangis sejak tadi. Entah apa yang sudah Mas Maman lakukan sehingga dia ____”
“Gita! Aku ingin bicara denganmu!” seru Mandala cukup nyaring, tanpa memedulikan ucapan Ratih.