Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#21
"Ma, ke mana dia? Sejak kapan dia pergi?"
Satu pertanyaan yang cukup membuat hati Nisa merasa lega. "Dia ... mama gak tahu, Fi. Dia pergi tanpa bilang-bilang dulu sama mama. Jadinya, mama gak tau deh."
"Kok bisa sih, Ma? Gak mungkin kalau-- "
"Hanafi. Apa yang tidak mungkin? Kamu lupa seperti apa sikap istrimu akhir-akhir ini?"
Afi hanya bisa terdiam beberapa saat lamanya. Setelah beberapa menit berlalu, dia langsung beranjak meninggalkan tempat di mana dia berdiri tanpa berucap sepatah kata terlebih dahulu.
"Afi. Mau ke mana kamu?"
"Mencari Anin."
"Lho, tapi 'kan, kamu baru pulang, Fi. Gak sarapan dulu?"
"Gak."
"Ya ampun, kak. Gak perlu di cari kali, dia bukan anak kecil lagi. Orang sudah tua juga. Sudah tahu yang mana yang baik dan yang mana yang buruk. Udah bisa jaga diri," ucap Hana dengan nada malas.
Ucapan Hana langsung membuat Afi menghentikan langkah. Dia menoleh untuk memberikan adiknya tatapan tajam. Nisa yang paham akan maksud dari tatapan itu, langsung memanggil Hana.
"Hana. Jangan banyak bicara."
"Lah, apa yang aku katakan itu benak kok, Ma. Dia-- "
"Hana!"
"Mama ih," ucap Hana dengan wajah kesal sambil menghentakkan kakinya. Tak lupa, gadis itu langsung memutar tubuh dengan kesal.
Namun, baru juga Hana berhasil memunggungi Afi, sebuah panggilan masuk langsung menghentikan langkah kakinya. Panggilan yang langsung memaksa tangan Hana menjawab dengan cepat. Siapa lagi orangnya kalau bukan ipar kesayangannya.
"Halo, kak Desi."
"Han, kamu di mana?" Suara panik langsung terdengar.
"Di rumah, kak. Ada apa?"
"Afi ada di sana?"
"Ada."
"Kenapa, kak? Ada masalah apa? Kok suara kakak terdengar kek panik gitu?"
"Lena, Han. Lena."
"Lena kenapa?" Gugup Hana bukan kepalang. "Kenapa Lena, kak?" Dia ulangi lagi pertanyaannya karena cemas.
"Lena jatuh. Kepalanya berdarah."
"Astaga. Kami ke sana sekarang juga, kak Desi."
"Kak Afi. Lena jatuh, kak. Kepalanya berdarah. Kita harus ke sana sekarang juga."
"Apa? Lena jatuh?" Hanafi dam Nisa menjawab hampir bersamaan.
Tentu saja mereka panik. Cucu kesayangan, keponakan satu-satunya sedang terluka. Tanpa pikir panjang lagi, mereka bertiga langsung meninggalkan rumah.
Wajah panik dari mereka bertiga langsung terlihat. Tak terkecuali, wajah Hanafi. Rasa cemasnya akan Nindi hilang secara tiba-tiba karena rasa cemasnya pada keponakan kesayangannya itu.
Sebenarnya, ini bukan yang pertama Hanafi bersikap seperti ini. Selalu saja, Selena yang akan jadi prioritas utama bagi mereka semua. Baik saat Ali masih hidup, hingga saat Ali sudah tiada. Bagi mereka, Lena adalah yang paling penting.
Sama halnya dengan waktu itu. Waktu ketika Afi ingin mengajak Nindi jalan-jalan sore di akhir pekan. Rencana itu langsung Afi batalkan karena Lena jatuh dari ayunan. Padahal, Lena tidak sendirian. Ada keluarga yang lainnya merawat gadis kecil itu. Tapi, Afi malah tidak bisa fokus dengan tujuannya gara-gara mendengar kabar si keponakan terluka.
Jadi Nindi terlalu sulit sebenarnya. Dia harus mengalah di saat yang tidak tepat. Saat itu, dia pikir, jika dia berkorban maka semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata, tidak. Semua yang buruk akan tetap terjadi. Sungguh menyedihkan.
*
"Bagaimana? Apa Lena baik-baik saja?"
"Om papa. Lena sedikit terluka."
"Om papa ada di sini, Nak. Jangan takut."
Nyatanya, kepala anak itu hanya tergores sedikit saja. Entah bagaimana ceritanya, kepala Lena malah tergores pecahan kaca sedikit. Itu hanya luka kecil, tapi mereka semua heboh bukan kepalang.
Hal kecil yang tidak seharusnya menimbulkan kehebohan. Tapi sayangnya, malah langsung menciptakan kepanikan yang sangat besar buat keluarga Afi. Sungguh, Desi paling pintar dalam menciptakan suasana.
Sementara Afi sibuk merawat keponakan tercinta, Anindia malah sibuk membantu ayahnya merawat tanaman. Ayah Nindi punya usaha tanaman hias kecil-kecilan. Lalu Nindi sangat suka merawat tanaman-tanaman tersebut.
"Ayah, aku punya penemuan baru untuk menciptakan tanaman dengan dua jenis dalam satu pot."
"Benarkah? Ayah ingin melihat hasil penemuan itu secepatnya, Nin."
"Lah ... butuh waktu dong, Yah. Masa iya harus jadi dalam waktu dekat?"
"Wah ... kalau gitu, aku akan sabar menunggu," ucap Sadan. Yang diajak bicara Roslan, yang menjawab dengan bahagia malah Sadan Huda.
"Ah, nak Sadan masih belum pulang ternyata."
"He ... belum, Pak. Masih betah."
"Ah, tapi jangan bilang kalau pak Ros gak ingin melihat aku di sini lagi. Kalau gitu, aku ... tetap gak akan pulang. Masih akan menunggu sebentar lagi," ucap Sadan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Ayah Nindi langsung tertawa lepas. Sedang Nindi hanya bisa tersenyum kecil. Manusia satu ini memang cukup unik. Dia bisa bikin bahagia dengan sikap konyolnya yang mungkin dianggap menjadi kelebihan dari dirinya.
Tiba-tiba, ponsel milik Sadan berdering. Obrolan itu langsung teralihkan. Enggan, Sadan menjawab panggilan dari seseorang yang sedang menghubungi dirinya saat ini.
"Iya .... "
"Halo, Huda. Kamu di mana?"
"Di .... "
"Jangan bilang kamu di kantor. Karena barusan, mama sudah menerima panggilan dari kantor yang mengatakan bahwa kamu tidak masuk kerja hari ini."
Hembusan napas berat langsung terdengar.
"Mama. Aku di, rumah pak Roslan. Kan, aku sudah bilang kalau hari ini aku libur ke kantornya."
"Kamu libur? Papa kamu bisa naik tensi gara-gara ulah kamu, Uda. Tolonglah bersikap seperti manusia dewasa pada umumnya. Jangan bertindak kek anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa, Huda. Tolong sadar diri."
Sadan hanya terdiam. Ocehan sang mama sudah bukan hal yang asing lagi buat telinga Sadan. Karena hampir setiap hari, dia akan menerima ocehan itu.
Dia yang tidak tertarik dalam bidang perkantoran. Tidak tertarik untuk menjalani bisnis keluarga membuatnya sering menerima ocehan dari kedua orang tuanya.
Dia tidak suka, tapi sayangnya, dia adalah anak satu-satunya dalam keluarga. Dia adalah pewaris tunggal yang menjadi harapan satu-satunya untuk meneruskan bisnis keluarga yang beberapa generasi telah berjalan dengan sangat lancar.
"Sadan."
"Iya, Ma. Aku akan ke kantor nanti."
"Nanti? Kapan?"
"Setengah jam lagi."
"Baiklah. Jangan buat papa kamu menghubungi mama lagi. Jika papa marah, tanaman mu bisa jadi korbannya."
"Aku mengerti," ucap Sadan melemah.
Panggilan itupun berakhir. Si ceria yang biasanya selalu memperlihatkan tingkah lucu, kini tiba-tiba murung. Hati Nindi tidak bisa tetap mengabaikan apa yang matanya lihat. Nindi pun langsung beranjak meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan untuk menghampiri Sadan.
"Kenapa? Ada masalah dengan pekerjaan?"
"Hm. Tidak. Aku kan tidak bekerja."
"Masa sih?"
"Lho, kok gak percaya?"
"Lah, aku gak bilang kalau aku gak percaya. Hanya bilang, masa sih. Udah, gitu aja."
"Eh .... Jatuhnya akan sama saja itu, nona."
"Beda dong, beda."
"Masa iya, beda?"
"Ya jelas beda. Gak ngeja dari tulisannya?"
"Eh ... gitu kamu ya sama aku."
Merekapun terus berjawab kata hingga memakan waktu beberapa saat lamanya. Lalu, setelah berjawab kata selesai, Sadan pun kembali terbawa suasana. Bibirnya perlahan menceritakan kisah hidupnya yang seharusnya tidak ia ceritakan pada Nindi yang belum lama dia kenali.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.