“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Bukan Tentang Gairah
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Linda mengenali siluetnya. Adam turun, membawa payung, dan berlari kecil menyeberang menghampirinya.
“Maaf kalau membuatmu menunggu lama, aku sempat terjebak macet di persimpangan jalan,” katanya sambil membuka payung dan menutupi tubuh Linda. “Kamu basah kuyup.”
Linda tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Aku udah biasa,” ujarnya.
Adam tak banyak bicara. Dia langsung memberikan jasnya pada Linda, lalu menggenggam tangan wanita itu dan mengajaknya masuk ke mobil.
Di dalam mobil, Linda diam. Tangannya dingin, tapi hatinya terasa hangat. Sikap Adam yang sederhana, selalu berhasil membuat jiwanya luluh.
Tak lama kemudian, mobil yang disetir oleh sopir itu melaju menerobos hujan yang masih mengguyur. Mobil itu berhenti di sebuah tempat yang Linda tunjuk.
Mereka makan siang di sebuah restoran kecil yang sederhana. Linda memilih duduk di pojok, dekat jendela. Hujan masih turun, tapi tak lagi deras. Adam memesan makanan, lalu duduk di hadapannya.
“Kenapa kamu nggak hubungi aku dari awal kalau kamu kehujanan?” tanya Adam sambil menyodorkan teh hangat.
Linda menatap cangkir itu, lalu menjawab pelan, “Kamu enggak penasaran kenapa aku ada di sana?” Kepalanya terangkat, menatap Adam yang terlihat tenang. Pria itu menatapnya tanpa emosi. Dia memang pantas disebut sebagai sosok pemimpin perusahaan yang sempurna, sikapnya sangat bijak dan dewasa dalam menghadapi situasi apa pun. “Aku baru saja menemui laki-laki yang pernah aku suka.” Bahkan setelah istrinya berkata seperti itu, Adam masih menunjukkan ketenangan.
Dia tidak bertanya siapa. Dia hanya mengangguk, lalu berkata, “Kalau kamu mau cerita, aku akan mendengarnya. Tapi kalau kamu belum siap untuk cerita, aku tidak akan memaksamu untuk bercerita, aku akan menunggu.”
Linda menatap Adam. Ekspresinya sampai detik ini masih terlihat tenang, tidak menuntut, tidak mendesak. Hanya ada sebuah ketulusan dan kehangatan yang membuat Linda malah merasa bersalah.
“Sebelum akhirnya kita dipaksa untuk menikah, aku pernah berharap bisa hidup bahagia sama seseorang,” ucap Linda, memberanikan diri untuk menceritakan masa lalunya. “Tapi sekarang harapan itu sudah musnah. Walaupun dia datang untuk memperbaiki semuanya, ternyata perasaanku sudah tidak sama lagi. Rasa itu sudah hilang. Mungkin karena aku sudah terlanjur kecewa atau... karena sesuatu yang lain.” Linda menatap Adam lekat, matanya seperti memberi kode bahwa mungkin saja dialah yang membuat perasaan cintanya pada Zaka hilang. Bisa jadi, kini Adam yang mulai singgah di hatinya.
“Entahlah. Aku tidak mengerti kenapa perasaanku berubah begitu cepat. Biasanya saat bertemu dia, hatiku selalu antusias, tapi tadi... rasanya benar-benar hambar. Aku tidak merasakan apa pun,” lanjutnya.
Adam tidak langsung menjawab. Dia menunggu, memberi ruang bagi istrinya untuk menceritakan segala kegundahan hatinya selama ini.
Linda menghela napas pelan, sebelum kemudian kembali melanjutkan, “Dulu aku pikir cinta itu harus membuat jantung berdebar. Harus penuh gairah, dan romantis. Tapi sekarang aku sadar, yang aku butuhkan bukan itu.”
Adam mengernyit. “Lalu apa yang kamu butuhkan?” tanyanya, dengan suara yang mengalun lembut.
Senyum Linda terukir tipis, dia menatap Adam dengan serius, seolah kata-kata yang akan dia ucapkan tertuju pada laki-laki di hadapannya itu.
“Aku butuh tempat pulang. Tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri, menjadi anak kecil yang selalu merasa dilindungi dan dimanja, tanpa aku memintanya, tanpa aku harus berjuang keras untuk dicintai ataupun mendapatkan perhatian. Dan semua itu aku dapatkan dari kamu, Mas.”
Adam menatap Linda lama. “Kalau kamu merasa seperti itu bersamaku, aku bersyukur.”
Linda menunduk. Ada sesuatu yang mengalir pelan di dadanya. Bukan cinta yang meledak, tapi rasa nyaman yang tumbuh perlahan.
*
Setelah makan, mereka berjalan keluar. Hujan sudah reda, tapi langit Jakarta masih kelabu, udara pun masih terasa dingin.
Di mobil, Linda bersandar di kursi. Dia menatap ke luar jendela, lalu berkata pelan, “Mas, aku nggak tahu kapan aku bisa benar-benar mencintaimu. Tapi aku yakin satu hal... aku ingin belajar. Bukan hanya tentang bagaimana mencintaimu, tapi juga bagaimana menjadi istri yang baik untukmu.”
Adam menoleh, bersamaan dengan Linda yang juga menoleh padanya. Mereka saling bertatapan, bertukar rasa dalam keheningan.
“Dari awal kita menikah, aku pernah bilang sama kamu, aku nggak akan memaksa kamu untuk mencintaiku. Tapi sekarang, aku cuma minta satu hal sama kamu, tolong jangan tutup pintunya. Biarkan aku berusaha mengetuknya, agar aku bisa masuk.”
Linda tersenyum. “Pintunya sekarang enggak akan pernah aku tutup. Walaupun aku belum tahu cara membukanya lebar-lebar.”
Adam mengangguk. “Kita jalani hubungan ini pelan-pelan saja.”
Mobil melaju pelan di jalanan yang basah. Di dalamnya, dua orang duduk diam, tapi tidak lagi asing. Mereka tidak bicara banyak, tapi keheningan itu terasa hangat.
Linda kembali menatap ke luar. Hujan sudah benar-benar berhenti. Di kaca jendela, sisa-sisa air masih menempel, tapi tak lagi memburamkan pandangan.
Di dalam dirinya, luka itu belum sepenuhnya sembuh. Tapi untuk pertama kalinya, dia tidak merasa sendirian.
***
Zaka masih duduk di kursi kafe yang kini mulai sepi. Hujan di luar sudah reda, tapi ia tak bergeming. Cangkir kopinya sudah dingin, sama seperti harapan yang baru saja dipadamkan oleh Linda.
Dia menatap kursi kosong di hadapannya. Bekas duduk Linda masih terasa hangat, tapi kepergiannya meninggalkan ruang yang dingin dan sunyi. Di dalam dirinya, ada suara yang terus berulang. ‘Sudah terlambat.’
Zaka menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam cangkir. Tangannya gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena penyesalan yang tak bisa dia buang. Dia ingin menangis, tapi air matanya seperti menolak keluar. Mungkin karena dia tahu, tangisan tak akan mengubah apa pun.
Beberapa menit terdiam, Zaka akhirnya berjalan keluar dari kafe, membiarkan udara dingin menyentuh kulitnya. Jaketnya terbuka, tubuhnya kedinginan, tapi dia tidak peduli. Dia berjalan tanpa arah, menyusuri trotoar Jakarta yang basah, seperti orang yang kehilangan kompas hidupnya.
Di benaknya, wajah Linda terus muncul. Bukan wajah yang tersenyum, tapi wajah yang tegas, dingin, dan penuh rasa kecewa.
Zaka berhenti di halte kosong. Dia duduk di bangku besi yang dingin, menatap jalanan yang ramai tapi terasa sunyi. Dia membuka ponselnya, menatap kontak Linda. Jari-jarinya sempat ingin mengetik sesuatu, tapi dia mengurungkannya. Dia tahu, tidak ada kata-kata lagi yang bisa memperbaiki semuanya.
Lalu dia membuka galeri. Foto-foto lama muncul. Foto Linda tersenyum di taman, foto ketika menghadiri reuni bersama saat masih menyembunyikan perasaan satu sama lain. Dan foto terakhir adalah foto yang Zaka ambil secara diam-diam, yaitu foto saat Linda hadir di pernikahan Rere, dia berdiri di sudut, mengenakan gaun sederhana. Senyumnya terlihat manis, sebelum akhirnya senyum itu berubah menjadi luka saat dia dipaksa menjadi pengantin untuk menggantikan Rere.
Zaka menatap foto itu lama. Dia ingat hari itu. Dia ingat janji yang dia ucapkan. Dia ingat harapan yang dia berikan. Dan dia ingat bagaimana akhirnya dia menghancurkan perasaan Linda.
Ponsel Zaka bergetar saat dia masih sibuk menatap foto Linda. Ketika memeriksanya, ternyata itu pesan dari Rere.
‘Kembali sekarang, Zaka. Kita perlu bicara. Aku tahu kamu ketemu Linda.’
Zaka menatap layar ponselnya lama, lalu mengetik balasan singkat.
‘Jangan khawatir. Aku akan pulang.’
Zaka tahu, kembali ke Yogyakarta sama dengan bunuh diri. Tapi itu satu-satunya jalan yang tersisa. Dia harus menghadapi kenyataan, bahwa darah dagingnya akan lahir dari perempuan yang tidak dia cintai, keluarga Rere juga telah menuntut tanggung jawab.
Dia teringat kata-kata Linda. ‘Jangan jadi pengecut, jadilah laki-laki yang bertanggung jawab.’
Kata-kata itu menusuk, tapi juga menyadarkan. Selama ini dia lari. Dari Linda, dari Rere, dari dirinya sendiri. Dia pikir cinta bisa menunggu, bisa ditunda. Tapi ternyata cinta bukan benda yang bisa disimpan di laci dan dibuka saat dia siap.
Satu hal yang Zaka sesali. Dia kehilangan Linda bukan karena takdir, tapi karena terlalu pengecut, sejak dulu dia selalu takut untuk mengutarakan isi hatinya, bahkan tidak berani memperjuangkan Linda sedikit pun. Sekarang, Zaka harus menerima kenyataan ini.
“Bodoh. Andai saja dulu aku memperjuangkannya,” gumam Zaka, menyesal.